Wahabi adalah sebuah istilah dalam khazanah per-mazhab-an yang bersifat definitif sekaligus distortif.Â
Bersifat definitif karena sebutan itu faktanya dan diakui secara luas tertuju kepada para penganut ajaran Syekh Muhammad bin Abdul Wahab al-Najdi yang muncul pada abad ke-18 Masehi dan kini menjadi "mazhab resmi" Kerajaan Saudi. Distortif karena kini muncul pembelaan yang menjauhi fakta karena  mengatakan sebutan itu bukan untuk kaum yang kini menyebut dirinya Salafi.Â
Wahabi/Salafi dan Paradigma Anti Bid'ah
Pembelaan terhadap Wahabi atau Salafi bukan hanya datang dari kelompok itu sendiri. Pembelaan itu datang dari rasa simpati karena menilai Wahabi sebagai gerakan yang berupaya mengembalikan kemurnian Islam tapi justru dituding sebagai masalah oleh orang-orang Islam sendiri.Â
Kemiripan paradigma gerakan Wahabi kerap menjadikan golongan lain sebagai tertuduh. Sebutlah Muhammadiyah yang kerap dituding memiliki gen Wahabisme karena pandangannya mengenai bid'ah, khurafat dan tahayul.
Tokoh Muhammadiyah, Prof. Yunahar Ilyas menyebut bahwa ide-ide Muhammmad bin Abdul Wahab khususnya dalam bidang akidah memang memberikan pengaruh kepada pendiri persyarikatah Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan. Kendati Muhammadiyah tidaklah berafiliasi mazhab kepada Wahabiyah*. Selain Muhammad bin Abdul Wahab, pemikir Islam modern seperti Muhammad Abduh yang asal Mesir dan pengarang kitab al-Manar, Rasyid Ridha pun disebutnya sebagai inspirator lain bagi Kiai Dahlan.
Namun pengaruh Wahabiyah tak selamanya terlihat dari praktek peribadatan warga Muhammadiyah saat ini. Sedikit contoh perbedaan keduanya diantaranya dalam penentuan awal Syawwal dimana Muhammadiyah menggunakan dengan metode hisab sedangkan Wahabi dengan ru'yatul hilal.Â
Rakaat Tarawih pun berbeda, Muhammadiyah menganut 8 raka'at (+3 witir) sedangkan Wahabi justru sama dengan orang-orang NU yang 20 rakaat (+3 witir). Lalu dalam menentukan hukum perayaan Maulid, Majlis Tarjih Muhammadiyah menyatakan kebolehan atasnya,berbeda dengan para ulama Wahabi yang menghukuminya sebagai bid'ah.
Polemik Kekinian Tentang Sebutan "Wahabi"
Mubarok Ba' Muallim, pimpinan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Ali bin Abi Thalib, Surabaya angkat bicara mengenai tuduhan Wahabi. Pria lulusan Gontor itu mengatakan bahwa julukan Wahabi diciptakan oleh Inggris yang ditujukan kepada pemeluk Islam yang hendak kembali kepada tuntunan Rasulullah*.
Hal yang kurang lebih sama dinyatakan seorang dai lulusan Universitas Madinah, Saudi, Khalid Basalamah. Menurutnya, Wahabi adalah sebutan yang diciptakan oleh Syiah yang berupaya menjauhkan umat Islam dari pemahaman ahlussunnah wa al-jamaah.Â
Baik STAI Ali bin Abi Thalib maupun Khalid Basalamah sebelumnya pernah bermasalah dengan masyarakat muslim sekitarnya. Lembaga pimpinan Ba' Mualim pada 2015 lalu pernah berkasus dengan warga karena mengharamkan Maulid Nabi yang sudah menjadi tradisi di kalangan umat Islam. Sedangkan Khalid pernah mengalami penolakan dari GP Ansor pada 2017 saat hendak berceramah di Sidoarjo*.Â
Meski berbeda mengenai muasalnya, pernyataan Ba' Mualim dan Khalid memiliki persamaan yakni menyandarkan asal muasal penyebutan Wahabi kepada golongan di luar umat Islam yang notabene distempel negatif. Hal itu secara psikologis akan menimbulkan counter kepada para penyemat istilah Wahabi bahkan oleh awam yang tak memiliki pengetahuan mengenai sejarah golongan itu sekalipun. Dan biasanya, mereka pun akan menstempel penyebut Wahabi sebagai Syiah, pemecah belah umat, liberal, sekuler dan sejenisnya.
Wahabi, Pengikut Muhammad bin Abdul Wahab bukan Yang Lain
Komentar lugas datang dari dai asal Riau, Ustadz Abdul Somad. Lulusan Universitas Al-Azhar Mesir itu mengatakan bahwa Wahabi yang tak lain adalah Salafi itu sebagai pengikut Syekh Muhammad bin Abdul Wahab. Mereka berganti sebutan menjadi Salafi karena imej "Wahabi" yang kadung buruk.Â
Sementara itu da'i muda Nahdlatul Ulama lulusan Ponpes Sidogiri yang telah menghasilkan beberapa buku sanggahan terhadap Wahabi, Muhammad Idrus Ramli, menyatakan bahwa julukan Wahabi justru berasal dari ulama Wahabi sendiri. Disebutkannya, sebuah kitab karangan ulama Wahabi dengan jelas menyebut nama Wahabi sebagai identitas mereka. Berjudul al-Hadiyah Al-Saniyyah wa al-Tuhfah al-Wahhabiyah al-Najdiyah, kitab itu diterbitkan oleh penerbitan milik Rasyid Ridha di Mesir*.
Pendapat yang sama --Wahabi adalah pengikut Muhammad bin Abdul Wahab-- pun datang dari dai Muhammadiyah yang dikenal luas melalui gerakan 212, Bachtiar Nasir. Sebagaimana yang dituliskannya di sebuah artikel di Republika*. Bahkan mantan panglima Laskar Jihad, Ja'far Umar Thalib pun secara terang benderang menyandarkan sebutan Wahabi kepada Syekh Muhammad bin Abdul Wahab. Pernyataannya itu tertulis dalam situs Voa-Islam*.
Merujuk pada beberapa fakta di atas, seyogyanya sanggahan terhadap penisbatan sebutan Wahabi tak perlu lagi diperpanjang. Para pengikut Wahabi dan simpatisannya tak perlu lagi sungkan mengaku dirinya sebagai Wahabi dan para penyebut Wahabi pun tak perlu goyah mengenai subyek yang tengah dibicarakannya.
Termasuk saat ada pihak yang menukil dialog yang menyebutkan sebuah kitab karya Imam Lakhmi yang memuat nama Wahabi sehingga mustahil jika Wahabi ditujukan kepada pengikut Muhammad bin Abdul Wahab yang hidup berabad-abad setelah Imam Lakhmi (abad ke-3 Hijriyah).
Perkara lain seperti yang disampaikan oleh Khalid Basalamah bahwa julukan itu untuk menjauhkan umat Islam dari ajaran ahlussunnah pun dapat diperdebatkan. Karena banyak kalangan justru melihat bahwa pengikut Wahabi-lah yang menyempal dari al-sawadul a'dham, umat Islam ahlussunnah wal jamaah yang mayoritas meskipun Wahabi getol mengumandangkan jargon 'Kembali kepada kemurnian Islam', 'Kembali kepada al-Quran dan al-sunnah' dan sejenisnya.
Lalu mengenai tudingan 'ahli bid'ah' yang kerap dilayangkan para pengikut Wahabi kepada para praktisi Maulid, tahlil & yasinan misalnya, maka hal itu pun dapat didiskusikan secara ilmiah dengan segenap dalil-dalilnya.
_____
Sumber : klik pada tanda *
Baca juga artikel lainnya :
- Din Syamsuddin: "Pancasila Harga Mati" Pun Radikal
- Pengusiran Haddad Alwi, Tuduhan Syiah dan Salafisme
- Kasus Habib Jafar Shodiq: Yang Hilang dari Mimbar Keagamaan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H