Pernyataan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Din Syamsuddin mengenai khilafah menuai polemik. Adalah Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia - Selandia Baru yang juga dosen tetap di Monash University Australia, Dr. Nadirsyah Hosen yang mengkritik Din karena mengatakan bahwa kalimat "khilafah" termaktub dalam Al-Quran.Â
Menurut Gus Nadir, begitu sapaan Nadirsyah Hosen, hanya kalimat "khalifah" yang berarti pemimpin lah yang tercatat dalam mushaf. Sedangkan istilah "khilafah" sebagai format dalam pemerintahah tak dijumpai secara tekstual di dalam kitabullah.
Tanggapan lain datang dari Dosen Filsafat Universitas Indonesia, Donny Gahral Adian. Donny menanggapi himbauan Din kepada masyarakat agar tak mempertentangkan khilafah dengan Pancasila. Karena menurutnya hal itu identik dengan mempertentangkan negara Islam dengan negara Pancasila yang sejatinya sudah tak perlu dibahas lagi sejak lama.Â
Menurut Donny, pembicaraan mengenai konsep khilafah yang telah bertahun-tahun lamanya digaungkan di Indonesia oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) adalah pembicaraan mengenai ideologi politik, bukan keyakinan. Sehingga mempertentangkannya dengan Pancasila yang juga merupakan ideologi dianggap sudah tepat. Â
Menanggapi kritikan Gus Nadir, Din Syamsuddin mengatakan bahwa secara substantif khilafah juga terkandung dalam Al-Quran karena kalimat "khilafah" merupakan derivatip dari "khalifah" yang tercatat di dalamnya.
Hal itu dituliskannya dalam sebuah ulasan panjang lebar yang diberi judul "Khalifah, Khilafah Ala Generalisasi Pilpres".
Terlepas dari semua perselisihan pendapat yang tengah terjadi, di manakah sebenarnya Prof. Din Syamsuddin menempatkan diri?, mendukung eksistensi HTI kah atau menolaknya?
Pada Agustus 2007, Din menghadiri Muktamar HTI yang digelar di Gelora Bung Karno (GBK) Senayan Jakarta bersama dengan beberapa tokoh lainnya seperti Amien Rais dan Aa Gym. Acara yang mengetengahkan tema "Saatnya Khilafah Memimpin Dunia" itu kabarnya dihadiri oleh 90 ribuan simpatisan HTI.
Namun apakah kehadirannya itu dapat dijadikan dalil sebagai dukungan terhadap perjuangan HTI?
Dikutip dari laman Suara Muhammadiyah, mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden itu mengatakan,"Jika konsep khilafah Hizbut Tahrir dimaksud sebagai lembaga politik-kekuasaan, maka itu bukan merupakan kesepakatan jumhur ulama. Pendirian khilafah sebagai lembaga politik-kekuasaan pada era modern adalah tidak valid dan realistik, karena negara-negara Muslim sudah terbentuk sebagai negara-bangsa (nation-state) dalam bentuk/sistem pemerintahan yang beragam."
Di lain kesempatan, saat menghadiri peluncuran buku karya Jimly Ashshiddiqie di Universitas Muhammadiyah Jakarta pada Agustus 2017, Din mengatakan bahwa ada kesalahan dalam konsep khilafah ala HTI. Dia berpendapat bahwa makna khilafah lebih kepada kesadaran manusia dalam mengolah bumi.
Dia juga menuturkan akan pentingnya memahami konsep keislaman sesuai dengan budaya sendiri sehingga dapat menghindarkan diri dari kesalahan dalam memahami konsep khilafah.
"Nation state adalah sesuatu yang absah", demikian pungkasnya.
Terakhir dalam ulasannya yang diberi judul "Khalifah, Khilafah ala Generalisasi Pilpres" seperti yang telah disebutkan di atas, Din menyebut bahwa dirinya tidak sepakat dengan khilafah modern ala Rasyid Ridha (al-khilafat al-udzma), Abul Kalam Azad maupun Taqiyuddin al-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir.
Jadi dalam batas definisi politik kekuasaan, jelas bahwa Din Syamsuddin tak sependapat dengan Hizbut Tahrir. Dan tentu pendapatnya itupun selaras dengan paradigma organisasi yang pernah dipimpinnya, Muhammadiyah, dalam memandang Indonesia dan Pancasila. Ulasan panjang lebarnya bisa dibaca pada materi yang disampaikan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar 2015 lalu. Materi setebal 21 halaman itu diberi judul "Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi wa Syahadah".
Namun masih ada yang dikhawatirkan dari pendapat Prof. Din tentang himbauan untuk tak mempertentangkan khilafah dan negara Pancasila itu. Yakni kecenderungan orang awam dan para politisi yang tak punya pengetahuan tentang khilafah yang menganggap bahwa keberadaan organisasi penyeru khilafah boleh-boleh saja hidup di Indonesia.Â
Lalu dengan naifnya membela HTI yang tak terlihat sebagai gerakan yang merongrong kedaulatan negara dengan cara membandingkannya dengan gerakan komunis yang jelas-jelas pernah melakukan upaya kudeta.
Dan itu tengah masif terjadi di media sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H