Dia juga menuturkan akan pentingnya memahami konsep keislaman sesuai dengan budaya sendiri sehingga dapat menghindarkan diri dari kesalahan dalam memahami konsep khilafah.
"Nation state adalah sesuatu yang absah", demikian pungkasnya.
Terakhir dalam ulasannya yang diberi judul "Khalifah, Khilafah ala Generalisasi Pilpres" seperti yang telah disebutkan di atas, Din menyebut bahwa dirinya tidak sepakat dengan khilafah modern ala Rasyid Ridha (al-khilafat al-udzma), Abul Kalam Azad maupun Taqiyuddin al-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir.
Jadi dalam batas definisi politik kekuasaan, jelas bahwa Din Syamsuddin tak sependapat dengan Hizbut Tahrir. Dan tentu pendapatnya itupun selaras dengan paradigma organisasi yang pernah dipimpinnya, Muhammadiyah, dalam memandang Indonesia dan Pancasila. Ulasan panjang lebarnya bisa dibaca pada materi yang disampaikan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar 2015 lalu. Materi setebal 21 halaman itu diberi judul "Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi wa Syahadah".
Namun masih ada yang dikhawatirkan dari pendapat Prof. Din tentang himbauan untuk tak mempertentangkan khilafah dan negara Pancasila itu. Yakni kecenderungan orang awam dan para politisi yang tak punya pengetahuan tentang khilafah yang menganggap bahwa keberadaan organisasi penyeru khilafah boleh-boleh saja hidup di Indonesia.Â
Lalu dengan naifnya membela HTI yang tak terlihat sebagai gerakan yang merongrong kedaulatan negara dengan cara membandingkannya dengan gerakan komunis yang jelas-jelas pernah melakukan upaya kudeta.
Dan itu tengah masif terjadi di media sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H