Ibu terbunuh dalam histeria amuk massa
Meski tak tahu nama, namun rupa pembunuh lekat teringat
Ayah disalahkan, dan merasa bersalah atas kepergian Ibu
Ayah terus tenggelam dalam duka
Â
Kami semua berlari, meninggalkan sejauh mungkin masa lalu
Masa lalu adalah neraka
Kami terus berlari, meninggalkan jilatan pedih masa lalu
Masa lalu adalah hantu yang memburu
Â
Aku tak peduli siapa benar siapa salah
Yang jelas aku, kakakku, dan adikku menderita karenanya
Tanggung derita atas hal yang tidak terpahami
Terusir mengusung nganga luka
Sembunyikan diri, siksa hening dalam pikuk keramaian
-----
Aku hidup sebagai manusia tersisa
Manusia yang tumbuh dengan dendam terbawa
Tapi apalah arti hidup ini, hidupku kini?
Ibu lama tiada, terbenam getir sejarah
Ayah tiada dalam nista lumuran cap bersalah, salah tanpa pengadilan untuknya, untuk mereka
Apalah bahagia kini jika dekap lara terus mengiringi?
Â
Memaafkan itu berat, loncat perih luka terinjak, ingin berontak!
Pantik pedih terus mengusik, memanggil semayam dendam
Ronta amarah ingin terlontar, ingin membuta, bebas dari jerat peduli Â
Lepas mencari, mencari rupa-rupa itu, rupa manusia keji
Luka mencari ‘saudara’nya, luka memanggil luka yang lain!
Nafas ingin memaafkan, namun tiap hela adalah ulur, ulur anak rantai pembalasan terencana!
-----
Dua puluh tahun berlalu
Semua itu adalah tempa, kenangan itu adalah pahatan, menjadikan diriku kini
Aku adalah amarah dalam gairah, bibit bengis
Bengis yang tertawa jika mereka merasa derita serupa! Haha!
-----
Dua puluh tahun berlalu
Kadang diselanya, ada jeda ku berfikir
Berfikir yang kan terjadi dan berubah jika ku buang semua hina, membalas mereka semua!
Apakah lantas nafsu terpuaskan? Bagaimanakah anak-anak mereka kelak? Apalagi yang akan terjadi?
-----
Hati adalah misteri, tak terukur
Namun hati nyata adanya, luas meruang, teraba oleh jiwa
Hati selamanya mengenali, membalas tulus tawa anak-anak
Â
Aku kini berpunya anak
Tak ingin anakku mengalami derita serupa denganku
-----
Ku mulai muak, ingin membuang semua gelisah amarah ini
Tiada nafsu untuk membahas terlebih membalas
Tak ingin anak mereka mengarak dendam berulang
Â
Lapang maaf perlahan menjadikanku utuh kembali sebagai manusia berbudi
Bukan maaf atas salah ayah atau ulah mereka, aku tidak lagi peduli semua itu
Namun maaf pada diri sendiri, maaf untuk rintang jalan kenyataan
Maaf pembuka hati menerima jalan cerita yang terjadi
Biarlah segala kelam cerita terbakar matiku, berganti taburan abu kedamaian
            ***
Puisi fiksi yang terinspirasi sekaligus keprihatinan atas kasus pembakaran rumah aanggota/pengikut GAFATAR. Puisi berpasangan; satu tentang Dendam Anak Korban Pembakaran, dan satu lagi (ini) tentang dampak psikis pada korban yang mengalaminya. Dua puisi tsb berpesan bagi Bangsa ini untuk mengutamakan jalan dialog, musyarawah, tanpa kekerasan. Kekerasan hanya akan menghadirkan luka dan rantai kekerasan yang lain.
_______________
Puisi ini termasuk dalam Kumpulan Puisi ANTI KEKERASAN
Kumpulan tulisan, puisi, sajak tema lain: BIJAK KEHIDUPAN |Â BUDAYA DAN SASTRAÂ | CINTA DAN PENDIDIKAN Â | EKONOMI Â | HUKUM Â |Â KESEHATANÂ | LINGKUNGAN ALAM Â | MUSIMÂ | POLITIK Â | URBAN Â |
sumber ilustrasi foto & foto |
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H