Kau terlahir dari kecamuk rasa
Terlahir dari gelisah, peduli, serapah amarah, tumpah semua rasa
Entah berapa banyak energi terlepas saat menulis, menggores, merupamu
Dan ketika rasa tertuang, ku baca ulang, ku tatap seksama
Sayangku berkata: “Ya! kau adalah anakku, puisi-puisiku!”
-----
Aku mendengar bisikmu
“Bu, sampai kapan ku di sini?”
“Sampai kapan ku terbaring, kaku terbujur dalam lembar-lembar kertas ini?”
“Bu, kapan ku kan berdiri, menyapa dunia, bersenandung, terus berlari?”
-----
Maafkan Ibu, menghadirkan panggung tidaklah mudah
“Tapi aku adalah seorang Ibu, anakku”. “Percayalah!”
Ibu kan terus cari panggung untukmu!
Mementaskanmu, melepaskan deritamu!
Kelak kita akan tampil
Kita kan sapa hati-hati yang hampa!
Semua akan mendengar lirih gumam kita
Gumam tanya tentang kebingungan dunia!
Semua kan larut
Senandungkan mesra cinta!
Telunjuk kan berpunya daya, kita akan berteriak
Tuding amarah pada lawan di ujung jauh barisan!
Kita kan merunduk dan tertunduk
Benamkan pikiran dalam renung hati! Suarakan detak dalam hening!
-----
Pada saat itu, saat kita berdiri, saat terang lampu menerpa
Kata demi kata luruh, bait demi bait terjatuh
Kau pun terlepas, meruang, terbang, pergi entah kemana
Muncul kecamuk rasa yang baru!
***
__________
Puisi ini masuk dalam Kumpulan Puisi BUDAYA DAN SASTRA
Tulisan, Puisi, dan/ Sajak dalam tema lain: BIJAK KEHIDUPAN | CINTA DAN PENDIDIKAN | EKONOMI | HUKUM | ANTI KEKERASAN | KESEHATAN | LINGKUNGAN ALAM | MUSIM | POLITIK | URBAN |
sumber ilustrasi foto |
Nb: jika dari pembaca ada yang punya informasi atau mungkin tergabung dalam komunitas pembacaan puisi maka saya akan sangat lega, berbahagia, dan terbantu bila diberitahu. Nuwun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H