Keluar kereta, aku tak lantas untuk keluar dari Stasiun. Aku masih duduk memandangi gerbong demi gerbong kereta yang telah membawaku dan juga kenangan dari Jakarta-Sidareja. Lengkingan peluit dari kondektur berbunyi. Alunan lagu keroncong kembali mengudara. Kereta perlahan bergerak. Berangkat. Aku masih saja memandanginya. Berharap dia juga begitu, dari balik keca hitam itu. Lama-lama kereta semakin cepat. Lalu lenyap.
Aku masih saja asik duduk di peron. Mencoba memutar peristiwa demi peristiwa dari kemarin hingga pagi ini. Waktu memang jahat. Tanpa mau kompromi segala terjadi. Baik yang suka, ataupun duka itu sendiri. Tapi begitulah waktu bekerja. Semua orang tentu ingin sekali saat-saat membahagiakan itu agar terus berjalan, waktu untuk senan-senang itu diperpanang, sebaliknya waktu kedukaan baiknya dikurangin atau hilang sama sekali. Tidak. Itu bukan kebijakan waktu. Kebijakan waktu itulah yang membuat hidup ini selalu penuh warna. Hari kemarin masih jalan berdua, asik ngobrol sana-sini, tiba-tiba pagi harinya sepi sunyi bersama diri sendiri.Â
Entah kapan lagi bisa berjumpa dengannya. Satu hal yang harus selalu disadari bersama adalah keniscayaan adanya perpisahan. Siapa yang bisa menjamin untuk terus bersama? Apalagi buat dua insan yang memang bukan siapa-siapa dengan kisah yang bagaimana. Memaknai tiap bersua adalah langkah bijaksana. Tidak lebih. Karena memang tidak ada yang pantas dilebihkan. Seberapapun dekatnya, asiknya, toh kami ini siapa dalam kisah yang seperti apa?Â
Perpisahan bukanlah akhir dari segalanya. Bisa jadi adalah awal untuk memulai. Seperti kata Tere Liye dalam novel Rindunya bahwa untuk apa bersedih dalam perpisahan jika didalamnya lebih banyak pertemuan? Untuk apa bersedih karena kehilangan jika didalamnya lebih banyak menemukan? Ah menghibur memang. Setidaknya selepas kehilanganya aku memang lebih banyak menemukan. Menemukan rasaku, misalnya.
-Tamat