Mohon tunggu...
Rifki Sanahdi
Rifki Sanahdi Mohon Tunggu... Freelancer - Nama lengkap

Saya suka menulis puisi dan juga essay-essay pendek

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Iklim Pendidikan yang Baik Harus Jadi Prioritas Pendidikan, Begini Pengalaman Saya di Australia

4 Maret 2020   10:45 Diperbarui: 4 Maret 2020   19:31 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertama, waktu untuk penjelasan materi yang begitu singkat menyulitkan suasana interaktif dalam kelas. Dosen lebih banyak menjelaskan dari awal hingga akhir sesi dan saya pribadi tentunya mempunyai beberapa penjelasan yang perlu dijelaskan lagi. 

Padahal, seharusnya untuk setiap materi bisa dibagi ke dalam dua sesi untuk menambah waktu diskusi dan klarifikasi. Kedua, jumlah mahasiswa yang mengikuti workshop terlalu banyak, sehingga membutuhkan ruang kelas yang besar dan juga menyulitkan dosen untuk melempar diskusi karena tidak semua mahasiswa mendapatkan jatah bicara dikarenakan singkatnya waktu. Namun orientasi singkat tersebut setidaknya bisa menjadi pondasi dasar mahasiswa untuk mengikuti kegiatan belajar di kelas.

Tanggl 22 Juli 2019 menjadi kelas perdana di semester pertama di jurusan Master of Development Practice. Tentunya ada rasa deg-degan. Akhirnya, setelah sekian lama bertarung menaklukkan susahnya bahasa Inggris, saya berhadapan langsung dengan penutur aslinya.

Lebih menantangnya lagi, bahasa akademik sedikit berbeda dengan bahasa sehari-hari, sehingga saya harus bekerja lebih keras lagi untuk mengikuti alur belajar di kelas. 

Di winter semester, saya mengambil empat mata kuliah wajib yaitu Politic of Indigenous people, communication and social movement, Foundation of International Relation, dan Gender and Global Political Development. Di antara keempat mata kuliah tersebut, dua mata kuliah terlihat sedikit familiar dan sisanya benar-benar baru. 

Tentunya mata kuliah yang terlihat familiar seperti Gender dan juga politic of indigenous people bisa saya ikuti dengan sedikit gampang jika dibandingkan dengan mata kuliah foundation of IR dan Communication and Social Movement.

Sejak beberapa tahun belakangan, kehidupan akademik di Indonesia, khususnya Jogja dipenuhi dengan diskursus tentang gender dan perlawanan politik masyarakat adat terhadap globalisasi di beberapa daerah baik di Indonesia maupun dunia secara umum.

Terkait dua kursus yang sedikit menantang untuk saya, foundation of International Relation benar-benar terlihat bukan seperti foundation. Mata kuliah Hubungan international tidak semudah yang saya bayangkan sebelumnya.

Terdapat beberapa teori dasar yang harus saya ketahui seperti liberalisme, neoliberalisme, realisme, neorealisme, feminisme, konstruktifisme dan Marxisme. Teori-teori tersebut menjadi menantang karena kita didorong untuk melihat bagaimana mereka bekerja di tantanan global. 

Permasalahannya adalah, selama ini saya lebih fokus melihat fenomena politik dalam skala mikro yaitu seputar perpolitikan di Indonesia. Selama satu semester, saya harus berjuang memahami konsep keamanan global, perang dingin, perang dagang , hukum internasional, organisasi internasional, terorisme dan perubahan iklim.

Namun harus diakui bahwa materi-materi di mata kuliah fondasi hubungan internasional tersebut sangat berguna bagi mata-mata kuliah lainnya di depan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun