Pernahkah kita merasa jenuh dan tidak bergairah sama sekali saat mendengar pemilihan kepala daerah? Apakah perasaan skeptis kerapkali muncul saat mendengar politisi mengeluarkan rayuan-rayuan mautnya saat kampanye? Atau pernahkah bertanya kapankah kiranya kita bisa memiliki pemimpin yang mengakomodir segala kebutuhan masyarakat, sehingga mampu menciptakan sebuah perubahan.Â
Essay ini hadir sebagai respon terhadap agenda pemilihan bupati Sumbawa yang akan diselenggarakan tahun 2020 ini. Tepatnya saya akan menjabarkan kriteria pemimpin yang cocok untuk dipilih menjelang Pilkada Sumbawa mendatang, sehingga kita bisa memilih pemimpin berlandaskan faktor gagasan cemerlangnya bukan uangnya ataupun janji-janji palsunya.
Beberapa bulan terakhir, beberapa calon terlihat mulai aktif melakukan political branding melalui media social maupun forum-forum masyarakat, tentunya dengan ciri khas masing-masing. Untuk petahana, senjata yang paling ampuh dipakai yaitu mengkampanyekan program-program yang selama ini dianggap sukses menurut versinya baik melalui data-data statistik maupun non statistik.Â
Sebagian lainnya ada yang menonjolkan sisi-sisi religiusitas dengan menggadang-menggadang Sumbawa menjadi daerah  makmur berbasis agama. Selain itu, ada juga calon yang mengangkat isu-isu populis misalnya menyangkut pertanian. Beberapa fokus-fokus isu dari calon bupati di atas akan menjadi pijakan awal untuk menganalisis beberapa hal-hal yang masih kurang dan masih belum menyentuh akar permasalahan.
Di bagian akhir tulisan, saya akan menggunakan empat kriteria dari Friedmann (2000) tentang the good city, yang tentunya mesti diusung sebagai sebuah gagasan oleh setiap calon pemimpin. Namun sebelum memasang kriteria tersebut, ada baiknya kita kupas tuntas permasalahan apa sebenarnya yang dihadapi oleh Sumbawa. Hal tersebut akan memudahkan kita untuk menganalisis apakah sebenarnya program-program yang diusung oleh para calon sudah menyentuh akar permasalahan atau belum.
Berkaca dari beberapa agenda pesta demorasi procedural sebelumnya, pilkada di Sumbawa tidak lebih dari sekedar kompetisi antar-elit. Saya tidak melihat ada terobosan-terobosan baru yang diusung demi kemajuan Sumbawa, sehingga roda pemerintahan hanya nampak seperti pergantian dari satu rezim ke rezim lainnya. Selain itu model-model politik yang dimainkan relatif sama, yaitu membawa isu-isu primordialisme dan berlagak populis saat masa kampanye.Â
Kita jarang sekali melihat adanya adu gagasan mengenai bagaimana mengatasi permasalahan di Sumbawa atau menjadikan Sumbawa menjadi daerah yang mampu bersaing dengan daerah lainnya di Indonesia maupun di tingkat Internasional. Berdasarkan fenomena di atas, tentunya pada agenda pemilihan kali ini, kita tidak boleh kecolongan dalam memilih pemimpin daerah. Jangan sampai yang terpilih nanti tak lebih dari pesuruh partai, pengusaha ataupun aristocrat yang rakus akan kuasa dan harta.
Dalam tulisan ini, saya mengamati setidaknya ada tiga permasalahan utama yang menimbulkan rantai kemiskinan di Sumbawa, yang seharusnya menjadi perhatian para calon.Â
Pertama, reformasi birokrasi hampir tidak pernah menjadi pusat perhatian serius. Padahal jika dicermati, birokrasi kita masih jauh system meritokrasi (pemerintahan yang diisi oleh orang-orang kompeten).Â
Bukan hal tabu lagi istilah "orang dalam" menjadi prsayarat utama jika ingin bergabung di birokrasi atau mendapatkan pelayanan secara mudah. Kompetensi bukan menjadi tolak ukur utama dalam perekrutan.Â
Jika hal itu terus menerus berlanjut, maka yang menjadi korban tentunya masyarakat kecil yang tak punya kenalan maupun kuasa. Lebih naasnya, bentuk pemerintahan akan berbentuk sistem dinasti yang hanya dikendalikan oleh segelintir keluarga maupun kelompok.