Mohon tunggu...
Mas Id
Mas Id Mohon Tunggu... Penulis - Kretekus Teater

Penulis lakon

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Karaoke, Karuan Suara Situ Oke?

29 Januari 2021   03:42 Diperbarui: 29 Januari 2021   04:05 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tahun-tahun belakangan ini, tumbuh menjamur bisnis tempat makan dan nongkrong yang memfasilitasi pengunjungnya dengan panggung musik yang demokratis. Siapa saja boleh menyumbang---atau mungkin tepatnya, membuang suaranya untuk bernyanyi. Dan spiker telah tersedia dengan sentaosa untuk meluberkan hasil tarikan suaranya hingga tampias di banyak telinga. Dua di antaranya adalah telinga kanan dan kiri saya. Karena dua di antara fasilitas tersebut beroperasi di dekat rumah saya. Tidak setiap malam, cuma hampir tiap malam.

Saya tidak sedang mengeluh, dan marah ketika menulis catatan ini, Keluh kesah dan umpatan saya sudah habis di tahun kemarin. Bahkan bisa dikatakan, untuk saat ini hampir saja saya sudah terbiasa atawa bisa berdamai dengan keadaan. Seperti warga yang lain, barangkali. 

Tapi justru di titik mendekati sudah, saya hentikan laju pasrah. Saya tak mau jika nalar lantas menganggap perkara tersebut sebagai wajar dan benar. Maka sebelum terlambat, perkara ini perlu saya catat. 

Siapa tahu, kelak di sebuah hari baik; ada seorang kuasa yang kuasanya melebihi sosok yang membekingi tempat-tempat tersebut, membaca lalu tergerak hatinya untuk membereskan perkara polusi suara, yang notabene kurang diperhitungkan di negeri ini. Tapi saya kira peluangnya tak sampai 1%.

Karena fenomena ini sebenarnya adalah perkara kebudayaan, tak bisa hanya mengandalkan pihak berwenang. Jadi kalaupun nanti hukum dapat tegak, apabila kesadaran masyarakat umum mengenai empan-papan, tahu batasan dan tahu diri tak tumbuh, hanya akan menjeda masalah sementara. Fenomena dan kecenderungan yang sama polutifnya akan kembali muncul dengan bentuk-bentuk baru. 

Maka dari itu, tulisan ini saya maksudkan sebagai upaya kebudayaan, untuk turut mencicil kesadaran bersama.

Karaoke bukanlah produk baru di masyarakat kita. Pun termasuk bisnis yang memfasilitasi. Dan setahu saya memang menguntungkan. Sebab, hampir semua orang suka bernyanyi tapi hanya sedikit yang akhirnya berhasil jadi penyanyi. Orang memang cenderung suka mendengar suaranya sendiri, dan memang ada perasaan nikmat ketika mendapat kesempatan suara kita terlantang dan didengar banyak orang. Konon ini merupakan satu kemewahan khusus yang memberkahi eksistensi seorang pekerja seni, dalam kasus ini, adalah penyanyi.

"Tetapi tuan-puan harap jangan dilupa, bahwa untuk sampai pada tahap itu, mereka itu berlatih. Baik latihan rutin sehari-hari, atau persiapan khusus untuk sebuah pertunjukan."

Tentu saja, ada faktor bakat di sebaliknya. Tetapi kata bakat selalu disertai dengan kecintaan. Makanya sering kita dengar istilah bakat dan kecintaan. Jadi jangan hanya bakat saja yang dilihat, di situ ada pula setia, mengenali, mempelajari, berjuang, merawat, dsb, bidang tersebut. Makanya, yang kemudian disajikan kepada publik disebut sebagi karya seni. Dan bukan sekedar pelampiasan diri.

Seperti misal, Iwan Fals yang notabene asal teriak saja sudah enak, selalu tetap rutin berlatih baik sendiri maupun dengan bandnya.

"Tuan-Puan, jangan lantas mengira maksud saya adalah mengatakan; bahwa yang berhak bernyanyi hanyalah penyanyi. Bukan. Ini bukan larangan bernyanyi. Tetapi adalah ajakan untuk tidak buta rasa."

Maksud saya, kaidah dasar bernyanyi adalah tepat nada dan irama. Jangan cuma menjiwai. Kalau sumbang dan tak karuan tarikan suaranya, jadinya jiwa situ terlampiaskan, tapi jiwa orang lain jadi korban. Ini seringkali terjadi dan menimpa telinga. Si penampil sudah merasa ngesoul sampai merem-merem, tapi musik ke-antah suara yang nyanyi ke-berantah. Jadilah semacam pertunjukan entah. Semoga, saya dan tuan-puan sekalian tidak termasuk kaum tersebut.

Itu sah-sah saja, kalau pihak penyedia fasilitas masih menerapkan asas tempat karaoke konvesional. Di mana, lampiasan-lampiasan suara pelanggan diredam oleh ruangan privat yang disewakan. Jadi di situ pengunjung, asal membayar, silakan kalau mau bernyanyi, mabuk, atau bermesraan di ruang yang telah didesain kedap lingkungan tersebut. Dan saya rasa tempat-tempat tongkrongan yang menyediakan karaoke, hendaknya juga menerapkan asas tersebut. Agar limbah industri tidak memperkosa telinga tetangga. Kalau spesifikasi ramah lingkungan tersebut sudah disepakati, silakan bermerdeka ria. Negara saja untuk memproklamirkan kemerdekaan harus jelas wilayahnya.

Itu idealnya. Pada praktiknya, sementara ini beberapa telinga masih harus banyak berharap pada angin agar tak menerbangkan polusi suara kepadanya.

Telinga adalah indera yang peka dan sengsara. Ia tak bisa mengatup layaknya mata. Jahat sekali jika kepadanya Tuan-Puan menerapkan keyakinan sebaris lirik lagu Slank, "kalau sumbang janganlah didengarkan.." secara harafiah dan mentah.

Karena telinga tidak bisa untuk tidak mendengarkan selama ia berdomisili di frekuensi kesumbangan. Telinga masih bisa menolerir jika itu terjadi di hari-hari khusus, seperti hajatan atau perayaan. Tapi kalau rutin sehari-hari semacam industri, besar mungkin dapat berdampak permanen terhadap kesehatan. Sudah ada penelitiannya. Dan kesialannya bakal berusia panjang dan lintas generasi apabila kesadaran yang berkenaan polusi suara ini tidak tertanam dalam kebudayaan kita.

Pemahaman agar kembali berakar kepada kebudayaan perlu pendidikan. Dan sebenarnya kebudayaan ideal kita sebenarnya sudah memiliki norma preventif untuk hal semacam ini. Tapi perubahan zaman di mana ekonomi di atas segala-galanya, menjadikan industri melulu menjadi penentu laju dan bentuk kebudayaan. Seakan menjadi yang paling benar dan diutamakan. Akibatnya, banyak watak dan karakter baik yang luntur. Apa yang diurai di atas adalah salah satunya. Jika kecenderungan tersebut terus dilanjutkan, yang terjadi adalah proses pendangkalan kesadaran lintas generasi dengan kira-kira urutan semacam ini.

1. Sebenarnya tahu kalau keliru tapi karena tidak dimasalahkan jadi tidak merasa bersalah.

2. Lalu tidak merasa keliru lagi, karena yang lain pun keliru.

3. Lalu sudah tidak tahu lagi bahwa itu adalah kekeliruan. Merasa bahwa itu adalah kewajaran.

4. Akhirnya kewajaran diyakini sebagai kebenaran.

Sebenarnya, jauh-jauh hari Ki Hadjar Dewantara sudah mewanti-wanti pentingnya pendidikan seni dan budaya. Bukan mengkhusus untuk berprofesi menjadi seniman atau budayawan. Tetapi adalah dimaksudkan untuk menghaluskan budi; di mana di situ ada empati, simpati, kepekaan, dan segala hal baik untuk mencegah perbuatan semacam menebar polusi suara.

Pendidikan seni, baik itu seni suara, tari, rupa, maupun sandiwara, akan mendidik irama, raga, dan rasa sebuah generasi agar harmonis baik ke dalam dirinya maupun kepada lingkungan sekitarnya.

Oiya. Saya kutipkan pendapat teman ketika menanggapi perkara ini. Karena saya rasa penting sekaligus lucu. Ia seniman karawitan, dan segenerasi dengan saya. "Dulu," katanya, "di zaman kita kecil, seringkali kita didorong dan dimotivasi dengan perkataan, ayo kalian harus percaya diri. Tapi untuk generasi sekarang nampaknya motivasi semacam itu sudah tidak diperlukan dan harus diganti dengan kalimat; ayo sadar diri, mawas diri, tahu proporsi."

Pendeknya, silakan bernyanyi tapi... (bersambung ke kesadaran masing-masing)


Sukoharjo, 29 Januari 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun