Istri saya pernah bilang ketika lagi asyik ngobrol diantara makan malam pake lauk ikan asin, sambal sama pete. “mas, korupsi itu sebenarnya 40% kesalahan terletak pada pelaku korupsi.” “nah yang 60% ditanggung siapa kesalahannya?” “yang 30% karena permintaan masyarakat, yang 20% karena desakan keluarga sedangkan sisanya karena system. System ini sama persis dengan kesempatan. System dibuat untuk menciptakan kesempatan agar korupsi jadi mulus.” Saya hanya manggut-manggut demi mendengar omelan istri ini. Tak disangka sekarang istriku telah menjadi ahli survey yang handal. Memprediksi sebab musabab korupsi dengan tepat dan akurat. “memangnya yang sudah kamu survey kalangan siapa saja yang?” imbuh ku. “ini bukan masalah survey mensurvey, namun begitulah kenyataannya. Ada pepatah bilang dibalik laki-laki yang hebat pasti ada wanita luar biasa. Begitu pun sebaliknya, dibelakang laki-laki korupsi pasti ada wanita yang memberinya tekanan untuk korupsi.” [caption id="attachment_79327" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi/Admin (shutterstock)"][/caption] Saya tertawa lepas mendengar penuturan lugu istri saya ini, tanpa sadar ikan asin yang dimulut pingin lompat dan menolak untuk ditelan. Padahal perut sudah keroncongan dan berontak pingin segera diisi. Masyarakat Indonesia khususnya sudah terbiasa dengan budaya kalau sulit kenapa dipermudah bagi pejabatnya dan budaya kalau ada dana kenapa cari yang sulit bagi masyarakatnya. Kedua budaya ini seperti botol ketemu tutup, ‘mathuk tur gathuk’. Kecocokan budaya inilah yang membuat praktek korupsi begitu suburnya. Membuat kisi-kisi kehidupan yang ‘mblaur’ apakah disebut korupsi ataukah hanya memudahkan urusan yang sulit dan menyulitkan urusan yang mudah. Rakyat tak mengenal istilah birokrasi sehingga apapun yang dikatakan birokrat dianggap aturan baku yang wajib diikuti apapun resikonya, meneketehek masalah masalah korupsi. Jadi sadar ataupun tanpa sadar masyarakat sendirilah yang meminta praktek korupsi itu tetap eksis, mereka hanya tahu bahwa apabila berhubungan dengan pemerintah harus mudah urusannya. Biaya operasional korupsi pun dimasukkan dalam anggaran biaya usahanya. Pejabat yang menjadi pelaksana system pun tak berusaha tahu dengan aturan system yang ada. Bisa jadi juklak aturan yang pegang hanya atasan sedangkan pelaksana lapangan hanyalah pelaku perintah yang tak tahu menahu tentang sebuah praktek korupsi sedang berlangsung atau tidak. Maka kenapa budaya dalam masyarakat ini sudah turun temurun dan harus dihentikan. Apabila system bisa dirubah maka budaya sangat sulit dirubah, self minded tentang anti korupsi belum tertanam dalam budaya masyarakat. Merubah budaya tidaklah serta merta merubah sebuah tatanan berkehidupan, namun lebih kepada merubah pemahaman tiap individu akan dampak dan kerugian yang ditimbulkan dari praktek korupsi ini. Selain materi, dampak korupsi akan mempengaruhi tingkat disiplin, moralitas kejujuran, sopan santun dan tanggung jawab. Kehidupan tidak akan sesuai dengan tatanan norma yang dikehendaki dalam bermasyarakat apabila nilai –nilai korupsi terlebih dahulu tertanam dalam akar sebuah budaya. Tidak pula kemudian kesalahan mutlak ditimpakan pada masyarakat, karena sebenarnya kebanyakan masyarakat pun belum faham betul apa itu korupsi, mereka hanya mengikuti system/aturan yang turun temurun telah dijalankan oleh orang-orang terdahulu mereka. Upaya yang sangat signifikan ketika pemerintah membuat sebuah hari dalam setahun untuk dijadikan tonggak dalam mengingat, meresapi dan memperhatikan makna anti korupsi dalam kehidupan sehari-hari. Satu hari yang akan membuat setiap orang malu akan apa yang dikerjakannya apabila menyerempet rambu-rambu korupsi. Saya kebetulan memiliki profesi sebagai ‘abdi negara’ yang sangat rentan akan praktek korupsi ini, walau instansi yang saya tempati sudah memberlakukan program modernisasi namun praktek-praktek korupsi masih saja saya temui. Namun saya kagum akan perubahan secara fundamental yang tertanam dicara berpikir, sikap maupun mentalitas para abdi Negara yang sudah mengecap kode etik sebagi pelayan Negara ini. Saya ingat sekali sebuah dialog rekan saya dengan putrinya ketika kami satu mobil, “yah, sejak ayah cerita tentag ‘perubahan’ dikantor. Yakin ayah sudah berubah?” Tanya putrinya. “sepanjang yang ayah bisa, ayah berusaha semaksimal mungkin tuk tetap pada jalur perubahan ini sayang.” Si ayah menimpali putrinya dengan nada lembut dan sambil mengajaknya berdiskusi. “kalau gitu ayah dapet kecupan..” dan adegan berikutnya biarlah kedua generasi itu yang menikmati suasana keharmonisan keluarga tersebut. Sampai dikantor si ayah, yang juga rekan satu ruangan menepuk pundak saya sambil menitipkan pesan. “dek, tolong bila hari ini saya korupsi ingatkan saya!” Saya mengernyitkan dahi demi mendengar isi pesan yang diucapkan langsung kepada saya tersebut. “apalagi yang harus saya ingatkan bang? Bukankah abang malah yang menjadi pelopor perubahan di sini?” ucapku sambil melontarkan nada heran plus Tanya besar. “ingatkan aku kalau aku masih korupsi waktu, ingatkan aku kalau aku masih korupsi kertas, ingatkan juga kalau aku lalai akan target pekerjaan yang kita canangkan berdua.” Demi mendengar ucapan itu saya merasa beliau sedang menyindir saya, atau bahkan menyindir para abdi Negara di kantor ini, atau diinstansi ini. Atau bahkan seluruh abdi Negara yang ada di Negara ini. Bila harus mendifinisikan korupsi sesuai dengan apa yang tertulis di laman om Wiki, maka hal remeh temeh diatas tidaklah masuk dalam definisi korupsi, karena om wiki mendefiniskan korupsi sebagai kejahatan birokrasi untuk kepentingan pribadi yang lebih menitik beratkan pada birokrasi politik. Namun dalam hal efektifitas dan produktifitas pembelajaran rekan saya diatas akan pembentukan mental antikorupsi sangatlah membuka pemahaman saya akan definisi korupsi secara luas. Jadi kemana-mana ini mbahas korupsinya, kembali ke laptop! Maaf om tukul jargonnya tak pakai, nanti tidak ditarik royalty kan? Korupsi tetaplah korupsi apapun bentuk dan topengnya. Namun satu kecenderungan yang sering saya jumpai ketika para pelaku korupsi semakin meraja lela biasanya dimulai dari gaya hidup yang serba wah. Atau lebih tepatnya tuntutan hidup yang harus terlihat seperti kaum jetzet. Hal ini ditutupi dengan kalimat yang lebih lunak yaitu demi sebuah prestise. Bagi sebagian orang prestise adalah harga mati dalam hal menampakkan sebuah image. Prestise lebih diidentikkan dengan penampilan yang terlihat elegan dan fashionable, saya definisikan sebagai lebih diidentikkan karena tidak semua orang itu elegan atau fashionable. Sebagian malah memaksakan untuk terlihat wah demi sebuah prestise. Membohongi publik dengan penampilan tetapi dalamnya hanyalah kosong. Namun yang saya dapat dari kebanyakan orang yang berplat “K” memang benar-benar kosong. Karena prestise dan kewibawaan tidak bsia dibuat-buat. Prestise atau kewibawaan akan terpancar dengan sendirinya dari hati yang bersih tidak dibuat-buat. Tak jarang pula dijumpai bila seorang suami memiliki kecenderungan korupsi itu dimulai gaya belanja gila-gilaan yang dimiliki si istri yang kemudian menurun ke anak. Contoh saja Ratu Perancis Marie Antoinette dimasa pemerintahan Louis XVI yang terkenal dengan gaya glamornya menghabiskan uang rakyat dan mengakhiri gaya hidupnya diatas Guillotine. Dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa korupsi sekecil apapun bisa terbentuk dari jaringan komunitas terkecil yaitu sebuah keluarga. Keluarga yang dibentuk dengan mentalitas seorang pencuri dengan sendirinya akan melahirkan koruptor-koruptor baru dimasa yang akan datang. Sayangnya lagi pembentukan mentalitas-mentalitas seperti ini tak disadari oleh para pendidik dikalangan keluarga. Berkurangnya penanaman nilai kejujuran, merosotnya pembentukan jiwa tanggung jawab, melalaikan makna disiplin dalam keluarga ditambah berkurangnya porsi pembentukan jiwa spiritual menambah berat distorsi-distorsi dalam pembentukan mental anak-anak ini. Keluarga merupakan ujung tombak berdirinya sebuah generasi pembaharu dimana didalam keluarga calon-calon pemimpin ditempa, dimana para pengasuh bangsa tidak lama lagi akan bermekaran. Keluarga adalah sumber lahirnya sebuah tradisi dan peradaban bagi berdirinya sebuah bangsa yang terbebas dari korupsi. Dinegara ini kita semua disibukkan dengan pemberantasan korupsi, tapi Negara ini juga sedang lupa bahwa korupsi baru akan terus bermunculan dalam bentuk-bentuk yang tak bisa diprediksi apabila tidak segera membangun pondasi pencegahannya. Yang dimulai dari keluarga. Dari komunitas terkecil sebuah Negara, Keluarga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H