Mohon tunggu...
Muhammad Nur Hayid
Muhammad Nur Hayid Mohon Tunggu... -

ingin mengabdi untuk kemaslahatan, menjadi sinar bagi gelapnya kehidupan akhir zaman, seperti kanjeng nabi muhammad khoirul kholqi walbasyar.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

4. Terlelap di Bawah Mesin Jahit

16 September 2012   10:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:23 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah keputusan bapak diambil di dapur kami pagi itu, beberapa persiapan pun mulai kami lakukan. Sebab untuk bisa masuk ke MAPK itu tidak mudah dan harus bersaing dengan ratusan siwa terbaik lainnya se Jawa Timur dan wilayah timur. Pihak sekolah kami menunjuk tim pengantar yang juga beberapa guru kami karena dari sekolah kami ada 3 siswa yang memenuhi kualifikasi ikut tes. Ketiga siswa ini berencana mengadu nasib masuk MAPK yang tes dan ujiannya dipusatkan di Kantor Wilayah Departemen AgamaJawa Timur, Surabaya. Ketiga siswa itu adalah aku sendiri, dan dua temenku yang sekarang menjadi kandidat kepala sekolah di MI Nurul Islam, sekolahku dulu yang bernamaMuhammad Syamsul. Satu lagi temenku putri yang sekarang sudah nyaman menjadi ibu rumah tangga yang bernama Faizah. Dia ingin mencoba MAPK Putri Malang yang khusus menampung siswi-siswi putri dalam naungan MAN3 Malang. Kami bertiga adalah lulusan terbaik sekolah kami yang juga masuk daftar siswa terbaik di Kabupaten Lumajanguntuk nilai pelajaran agama.

Setelah proses pendaftaran dibantu pihak sekolah, kami akhirnya lolos verifikasi administrasi dan diminta ikut tes tulis dan wawancara di kantor Depag Wilayah Jatim, Jalan Ketintang Raya, Surabaya. Dua hari sebelum tes dilakukan kami sepakat untuk berangkat dengan harapan kami bisa memiliki waktu longgar untuk belajar dan mempersiapkan diri. Sebelumnya aku sudah pernah ke Surabaya saat diajak oleh keluargaku ikut berziarah ke makam para wali-wali Allah, misalnya Makam Sunan Ampel, Makam Sunan Bonang, Makam Maulana Malik Ibrahim, Makam Sunan Giri, dan makam para wali di daerah Madura seperti ke Makam Syekhona Kholil Bangkalan dan wali-wali Allah lainnya di sekitaran Surabaya seperti Gresik, Tuban, Lamongan dan Pasuruan. Saat diajak keluargaku berziarah, aku baru berumur sekitar 5 tahunan.

Kedatanganku yang kedua ke Surabaya terkait dengan wisata setelah lulusan di MI sekolahku dulu. Dalam memoriku saat itu, aku mengingat Surabaya terkait dengan kebun binatang, kota metropolitan, kota yang keren dan cerita soal sejarah serangan 10 Nopember dan kemudian dijadikan sebagai hari pahlawan nasional, serta cerita soal resolusi jihadnya Mbah Hasyim Asyari sebagai tonggak perlawanan rakyat kepada penjajah. Selain itu, Surabaya yang merupakan ibukota provinsi Jawa Timur juga merupakan kota idaman bagi orang kampung untuk melakukan urbanisasi. Sebab Surabaya menjadi simbul kota baru yang modern dan dan kota industry yang menjanjikan banyak lapangan pekerjaan.

Kami yang ditemani guru kami Kiai Fadil yang saat itu mengampu mata pelajaran bahasa arab dan Cak Karim (guru MI kami), Langsung dibawa ke rumah saudara beliau di Surabaya. Saat itu kami belum terpikir menginap di hotel seperti sekarang ini, karena memang membayangkan betapa mahalnya hotel jika kami menginap di sana. Alasan lain tentu kami juga tak punya banyak biaya untuk dihambur-hamburkan menginap di hotel. Akhirnya kami dibawa ke tempat persinggahan semalam di sebuah tempat usaha mesin jahit milik saudara Cak Karim. Atas nama ngirit yang dibalut silaturahim sekaligus, malam itu kami istrahat di ruang usaha mesin jahit yang ditinggal pekerjanya di malam hari. Beberapa kain jahitan yang belum jadi pun masih terlihat di cantelan baju dan hanger.

Dalam kesempatan yang sempit namun sangat mengesankan itu, Kiai Fadil sempat mengajari kami untuk persiapan tes membaca kitab dan hapalan Alqur’an. Aku ingat betul beberapa teknik wawancara dengan bahasa arab dan membaca kitab Fathul Qorib diajarkan malam itu sebelum kami menghadapi tes sesunguhnya pada pagi harinya. Pilihan yayasan yang menunjuk Kiai Fadil ini aku kira memang tepat karena beliau pernah lama tinggal di Arab Saudi. Kami bertiga pun berusaha untuk menyiapkan diri sebaik-baiknya agar tak malu karena gagal ujian saat kembali ke desa, dan agar juga bisa membaa nama harum MTs kami yang baru merintis itu. “Ayo coba baca kitab Fathul Qorib ini, kan sudah biasa di pelajari di Wali Songo to? Kata Kiai Fadlan saat itu kepada kami yang memang lulusan PP Wali Songo sebelah rumah kami. Dan aku pun membacanya secara bergantian saat itu dengan Arif tentang kitabussolat. Dan setelah itu, aku melalar hapalan kuz amma yang sudah aku siapkan sejak dari kelas 2 Tsanawiyah itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun