Waktu datang dan waktu pergi begitu saja.
Dengan salam dan pamit yang tak terucap oleh lisannya.
Yang menyisakan sebuah kenangan dan cerita.
Yang tersimpan dalam benak dada.
Acap kali ku pegang dan ku halangi jalannya waktu.
Namun sayang Sang Maha tak memberi ku kesempatan.
Baik kesempatan kembali jauh ke belakang.
Ataupun kesempatan melompat maju ke depan.
Apakah Bendera putih sudah terkibar olehku?
Tidak, sekali lagi tidak.
Layaknya Gatotkaca yang terjun kedalam kurukhsetra.
Melibas semua semua pasukan Kurawa yang ada didepannya.
Dan kini kujalani waktuku dengan penuh kebanggan.
Sebagaimana kebanggaan para Dewa kahyangan terhadap Gatotkaca.
Bersamaku kugenggam harapan dan impian akan sebuah kemenangan.
Namun sayang, takdir mengatakan bahwa Gatotkaca harus mati dalam medan perang Kurukhsetra.
Seorang pahlawan kebaganggan para Dewa pun tak mampu berkutik dihadapan takdir.
Dan kini bersamaku menancap puluhan anak panah pada punggung dan dada.
Darah pun mulai membasahi tanah sebagai pertanda bahwa aku harus menyatu pada pelukan Ibu Pertiwi.
Kugapai pelukan Ibu Pertiwi......
Serdadu angin semesta pun mulai mengelilingiku.
Menyampaikan pesan Sang Pencipta padaku.
Pesan singkat yang berkata "Jangan Pernah Menyerah dari Rahmat-Ku".
Sebuah pesan singkat yang berbisik mesra secara lembut nan perlahan merasuk kedalam sukma.
Membasahi sukma yang telah kering akan terik panasnya keputusaan.
Menghidupkan kembali lilin api harapan yang telah padam.
Harapan akan sebuah kemenangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H