Mohon tunggu...
Muhith Harahap
Muhith Harahap Mohon Tunggu... -

belajar terus pantang mundur

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pembatasan Bbm Bersubsidi (seri-1)

2 Februari 2011   01:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:58 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembatasan BBM Bersubsidi Sama Dengan Menaikkan Harga BBM

Awal tahun 2011 ini masyarakat disuguhkan kebijakan tidak populis yang dikeluarkan pleh pemerintah, yaitu kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) nonsubsidi. BBM nonsubsidi (pertamax) mengalami kenaikan menjadi Rp.7.500 lalu Rp. 7.850, bahkan pernah menembus Rp.8.000,-per liter.

Selain kenaikan BBM nonsubsidi tersebut, seperti telah jamak diketahui, pemerintah juga berencana akan melaksanakan pembatasan pemakaian BBM bersubsidi mulai Maret 2011. Konon mobil-mobil keluaran 2005 ke atas tak boleh menggunakan Premium bersubsidi lagi. Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi adalah beberapa kota yang dijadikan Pilot Project kebijakan pemerintah ini. Kenapa kebijakan ini yang dipilih pemerintah?

Kebijakan pembatasan pemakaian BBM bersubsidi sejatinya adalah nama lain dari kenaikan BBM, hanya saja kebijakan yang paling mutakhir ini dikemas dengan kemasan baru agar penolakan masyarakat tidak terjadi seperti waktu-waktu yang lalu ketika BBM merangsek naik dari Rp 150/liter pada 1980 menjadi Rp 1450/liter tahun 2001 dan menjadi Rp 2400/liter tahun 2005. Perbedaannya adalah ketika tahun 1980, 2001, dan 2005 pemerintah mengurangi subsidi BBM di APBN dengan menaikkan minyak tanah, bensin, dan solar sekaligus. Sedangkan tahun 2010 pengurangan subsidi BBM di APBN dilakukan dengan melakukan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi. Inti dari dua kebijakan ini adalah subsidi BBM yang diambil dari APBN dikurangi dan masyarakat tanpa pilihan harus memberli BBM yang semakin mahal.

Meski pemerintah berdalih bahwa pengurangan subsidi BBM ini adalah untuk mengurangi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tetapi kebijakan pengurangan subsidi BBM ini lebih tepat disebut sebagai pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam memberikan kesempatan warga negara untuk memperoleh BBM yang notabene adalah salah satu kekayaan alam yang harus dipergunakan untuk kesejahteraan warga negara (amanat Pasal 33 UUD 1945). Alih-alih untuk menikmati BBM dengan subsidi, pemerintah justru tidak memberi kesempatan kepada masyarakat Indonesia untuk memanfaatkan bensin, solar, maupun pertamax sebagai penopang ekonomi keluarga. Minyak tanah yang bebas diperjualbelikan tidak berlaku untuk BBM jenis bensin, solar, maupun pertamax.

Karena masyarakat tidak bebas melakukan jual beli bensin, solar, maupun pertamax seperti jual beli minyak tanah, akhirnya banyak masyarakat menentukan jalannya sendiri menjadi pengecer tanpa izin meski harus menanggung risiko ditangkap polisi.

Pengurangan subsidi BBM ini sesungguhnya sangat mirip dengan kebijakan pengurangan subsidi pemerintah di sektor lain, seperti pendidikan, kesehatan, perbankan, dan sektor lainnya. Dengan dalih ingin mengurangi beban APBN, pemerintah mengatur lembaga pendidikan sedemikian rupa sehingga lembaga yang awalnya berprinsip nirlaba, berubah menjadi lembaga semi profit. Hal ini yang menjadi penyebab mengapa biaya kuliah di Perguruan TInggi Negeri (PTN) selalu bertambah mahal. Meski UUD 1945 menyebutkan pendidikan adalah hak warga negara, namun banyak pemuda usia kampus yang tidak melanjutkan pendidikan karena tidak mampu membayar biaya kuliah. Mereka juga tidak mampu menuntut haknya karena mahalnya biaya pendidikan ini diatur sedemikian rupa. Dengan mengurangi intervensi atau tanggung jawab, negara seperti tak peduli lagi terhadap nasib warga negara yang tidak mampu.

Indonesia adalah salah satu anggota dari Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) atau Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak Bumi dari Desember 1962 sampai Mei 2008. Namun demikian dalam kurun waktu 1962-2008 sampai sekarang masyarakat Indonesia justru membeli BBM lebih mahal dibanding negara lain yang juga merupakan anggota OPEC. Tahun 2010 Venezuela menjual BBM seharga Rp 460/liter, Saudi Arabia Rp 1.104/liter, Nigeria Rp 920/liter, Iran Rp 828/liter, dan Mesir Rp 2.300/liter sedangkan Indonesia menjual BBM seharga Rp 4500/liter. Bahkan The World Factbook mencatat bahwa Ekuador dan gabon masih lebih tinggi produk domestik brutonya (PDB) dibanding Indonesia. Indonesia, Ekuador, dan Gabon adalah negara-negara yang keluar dari OPEC.

Konon alasan pemerintah terhadap produksi minyak yang semakin menurun ini adalah karena gangguan berupa angin dan ombak besar, sumur yang sudah tua, dan pipa yang bocor. Padahal, faktor utama anjloknya produksi minyak yang menyebabkan pengurangan subsidi BBM adalah disebabkan karena pemerintah yang salah kelola (Kurtubi, Kompas 22/12/2010).

Sebelum menaikkan harga BBM pemerintah seharusnya melaporkan ke publik, bahwa pemerintah sudah melakukan berbagai upaya agar produksi minyak bisa memenuhi kebutuhan. Termasuk didalamnya pemerintah melaporkan pemeliharaan sumur-sumur minyak yang sudah ada tapi lama dibiarkan, atau dengan melakukan eksplorasi sumur minyak baru. Bahkan pemerintah bisa saja membuat kajian terhadap regulasi yang ada. Andai semua cara sudah dilakukan, tanyalah kesiapan masyarakat terhadap kebijakan yang akan diambil.

Karena tugas pemerintah sejatinya adalah untuk mensejahterkan masyarakat, maka masyarakat jangan hanya dijadikan sebagai korban atas salah kelola sumber daya alam yang ada.

* Penulis adalah Koordinator Serikat Anak Negeri (SAN) Kalimantan Selatan dan Alumni Pascasarjana UNDIP

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun