Mohon tunggu...
Hartono Rakiman
Hartono Rakiman Mohon Tunggu... Konsultan - Freelance consultant pada bidang pemberdayaan masyarakat, komunikasi, dan advokasi

Menjaga keseimbangan hidup antara bekerja, keluarga, sosial dan spiritual. Travel writer: "Mabuk Dolar di Kapal Pesiar."

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Jangan Percaya Sepenuhnya Pada Data

23 Agustus 2016   19:29 Diperbarui: 23 Agustus 2016   19:35 5
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Benjamin Disraeli (1804–1881), mengatakan: "There are  three kinds of lies: lies, damned lies, and statistics. Soal heboh kenaikan harga rokok yang berasal dari hasil penelitian Pusat Kajian Ekonomi dan  Kebijakan   Kesehatan ,  Fakultas   Kesehatan   Masyarakat   Universitas   Indonesia, tak harus langsung kita percayai begitu saja.

Hari-hari terakhir ini masyarakat dibuat heboh dengan  harga rokok yang kabarnya akan dinaikkan menjadi Rp 50 ribu per bungkus. Pangkal  kehebohan bermula dari hasil penelitian Pusat Kajian Ekonomi dan  Kebijakan   Kesehatan ,  Fakultas   Kesehatan   Masyarakat   Universitas   Indonesia, yang dilakukan pada  Desember  2015-Januari  2016. Hasil penelitian menyajikan data  ada 72  persen  dari  1.000  orang  responden  menyatakan  akan  berhenti  merokok  kalau  harga  rokok  dinaikkan  menjadi  Rp  50  ribu  per  bungkus. 

Alhasil, muncul pro dan kontra. Padahal pemerintah belum sedikitpun mengambil kebijakan yang punya dampak besar terhadap industri rokok, termasuk kehidupan para petani tembakau.

Kasus ini membuka kesadaran bahwa kekuatan data sanggup mengguncang opini masyarakat, termasuk perubahan kebijakan pemerintah yang punya dampak besar bagi kehidupan masyarakat. Apalagi jika data itu dikeluarkan oleh lembaga riset yang kredibel seperti Universitas Indonesia. Tapi, betulkah demikian?

Dalam kasus yang serupa, saya baru saja menemukan spanduk yang terbentang di jembatan penyebarangan jalan Matraman, Jakarta (23/8/2016). Spanduk itu berisi paparan data bahwa Rawamangun- Sudirman dapat ditempuh dalam waktu hanya 35 menit saja (terjadi antara pukul 5-9 pagi). Spanduk ini dikeluarkan oleh perusahan bus Transjakarta. Hal menarik dari spanduk  ini adalah, bahwa masyarakat ingin diyakinkan bahwa bepergian dengan bus Transjakarta akan lebih cepat daripada menggunakan mobil pribadi,  yang berdampak pada kemacetan di  jalan. Ini adalah contoh himbauan yang berbasis data.

Namun data punya sisi gelap, seperti pernah dipopulerkan oleh Mark Twain, meminjam istilah dari PM Inggris abad 19, Benjamin Disraeli (1804–1881): "There are  three kinds of lies: lies, damned lies, and statistics. Bahwa ada tiga kebohongan di dunia: kebohongan, kebohongan yang terkutuk, dan statistik.  Siapa bisa menjamin bahwa angka statistik tidak direkayasa untuk sebuah kepentingan? Kasus survei atau polling pemilihan presiden atau kepala daerah dapat dijadikan contoh yang baik. Hasil polling dapat diubah-ubah sesuai pesanan untuk pemenangan salah satu calon presiden atau kepala daerah. Contoh lain yang cukup terkenal adalah tentang isu pemanasan global yang digaungkan oleh Al Gore, yang mengatakan ada tren kenaikan suhu bumi sejak 1992 hingga 1998. Belakangan baru diketahui bahwa data yang diangkat ke permukaan soal pemanasan global hanyalah bohong belaka. Buktinya sejak tahun 1998, suhu rata-rata global terus menurun, dari  43 derajad  F, tahun 1999 menjadi 28 derajad F. Sementara, di tahun 2000, suhu rata-rata bumi sampai pada 20 derajad F.

Fakta di atas menunjukkan bahwa data yang disajikan bisa dipilih untuk menguatkan argumen yang sudah dibangun sebelumnya. Sebaliknya, menghilangkan data penting untuk  memperlemah argumen yang tidak dikehendaki.

Hasil akhir dari pertarungan data ini adalah: siapa yang paling kuat membombardir data. Kita sebagai korban, penerima data, akan gelagapan dengan limpahan data yang setiap hari kita terima.

Hartono Rakiman/ Pemerhati komunikasi  di ruang publik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun