Mohon tunggu...
Hartono Rakiman
Hartono Rakiman Mohon Tunggu... Konsultan - Freelance consultant pada bidang pemberdayaan masyarakat, komunikasi, dan advokasi

Menjaga keseimbangan hidup antara bekerja, keluarga, sosial dan spiritual. Travel writer: "Mabuk Dolar di Kapal Pesiar."

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Perkawinan Antara Buku dan Film

23 Maret 2015   09:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:44 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagian besar penulis novel punya mimpi suatu saat novelnya akan diangkat ke layar lebar. Mimpi itu tidak salah. Tapi, mimpi itu menjadi salah ketika saat menulis novel sesorang penulis sudah membayangkan bak penulis skenario filem. Padahal antara buku dan filem punya karakter yang berbeda, sekaligus punya penggemar yang tak selalu sama. Penerbit Agromedia dalam menyambut ulang tahunnya yang ke 14, memulai dengan acara Sunday Meeting, “Adaptasi Buku ke Film: Kolaborasi Dunia Penerbitan dan Dunia Film” yang bertempat di toko buku Gramedia Matraman, pada tanggal 22 Maret 2015. Acara ini menghadirkan 3 nara sumber, yaitu Adhitya Mulya (penulis novel), Haqi Achmad (penulis skenario), dan Yoen K (produser Maxima).

Sebagai produser filem, Yoen K secara tangkas membuka rahasia startegi pasar dunia perfileman. Ceruk pasar yang menggiurkan dunia perfileman adalah kelompok umur 19-25 dan berjenis kelamin perempuan. Dari sisi bisnis, sebuah buku akan mudah untuk diangkat ke layar lebar jika buku itu laris, dan mengalami cetak ulang. Namun sebagai produser, Yoen K tak perlu membaca seluruh buku itu hingga tuntas, dia hanya perlu 1-2 halaman saja yang berisi inti sari buku itu. Dari sana dia bisa mencari tahu sisi menarik sebuah buku apabila diangkat ke layar lebar. Perjodohan sebuah buku dengan filem bisa melalui dua cara, prosuder mencari buku, atau seorang penulis menawarkan bukunya untuk dibuatkan filemnya. Tapi, buru-buru Yoen K mengingatkan kepada para penulis novel untuk tidak coba-coba menulis novel seolah-olah sedang membuat skrip filem. Karena, cara bercerita dalam buku dan filem sungguh berbeda. Itulah sebabnya, tak jarang sebuah buku akan menjadi berbeda ketika diadaptasi dalam sebuah filem. Di sinilah peran penulis sekenario, sutradara dan terakhir produser yang akan menentukan segalanya.

Dari sisi penulisan naskah scenario, Haqi Achmad membuka kartu bahwa tak semua buku bisa dibuat filem, bahkan untuk sebuah buku bagus sekalipun. Haqi menganggap posisi penulis sekenario seperti jembatan antara penulis buku dengan produser, meskipun gambaran peran tersebut tak sesederhana yang kita bayangkan. Di antara posisi itu masih ada sutradara yang juga ikut berperan dalam mewarnai adaptasi buku ke dalam sebuah filem. Kita kemudian bisa dengan mudah membuat dikotomi antara penulis buku di satu sisi, berhadapan dengan industri filem di sisi yang lain. Seandainya kedua pihak kemudian berjodoh, maka perjodohan keduanya semestinya menghasilkan keuntungan bagi kedua belah pihak, bukan merugikan salah satu pihak. Di situ ada kompromi. Perlu duduk bersama untuk menentukan bagaimana sebuah buku diadaptasi ke dalam sebuah filem. Bagian mana saja yang harus dipotong, bagian mana yang bisa diganti, atau bagian mana yang harus mendapat porsi yang paling penting.

Bagaimana posisi penulis buku? Adhitya Mulya, sang novelis “Hari Sabtu Bersama Ayah” justru memberi peringatan dini kepada para penulis yang lain untuk segera menyadari kenyataan bahwa karakter buku dan filem itu berbeda. Prinsipnya perhatikan soal ekspektasi. Daya tahan seseorang membaca buku itu bisa panjang, alias bisa berhari-hari, dengan berbagai interupsi. Sebaliknya, daya tahan seseorang dalam menonton filem itu tak bisa lebih dari 90 menit. Perbedaan itu mengharuskan seorang penulis novel menyadari bahwa pasti akan banyak pemotongan di sana-sini. Artinya pula, akan ada bgian yang tak harus sama dengan yang ada di filem. Dan hal itu sah adanya. Yang penting adalah pesan yang ingin disampaikan tidak hilang. Diskusi soal buku menjadi filem ini semakin seru ketika dikaitkan dengan soal hak cipta, hak adaptasi, posisi tawar, atau soal trend filem. Salah satu penanya mempertanyakan peran produser filem yang tak memperhatikam ceruk pasar penonton anak-anak yang saat ini seolah diabaikan. Yoen K mengingatkan bahwa produser harus realistis, meskipun tak juga menjual indealismenya demi pasar. Secara kalkulasi bisnis, filem anak-anak adalah yang paling beresiko. Keputusan menonton filem anak-anak bisa datang dari anak-anak dan orang tua. Tapi sekali orang tua melarang, maka kesempatan menonton filem anak-anak akan hilang, padahal slot waktu menonton untuk anak-anak biasanya hanya tersedia pada hari sabtu dan minggu. Berbeda dengan filem remaja yang bisa panjang kesempatan nontonnya. Dan remaja punya kebebesaan untuk menentukan kapan dan di mana untuk menonton filem. Akan lebih seru lagi kalau nonton filemnya bersama teman-teman satu gank. Itulah pasar yang sesungguhnya!

Masih ada banyak lagi pembahasan seru soal buku dan filem ini, tapi pesan paling penting adalah jika ingin menjadi penulis buku yang baik, tetaplah menulis buku secara jujur. Kalaupun buku itu kemudian dibuat filemnya, anggaplah bahwa itu adalah bonus terindah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun