Mohon tunggu...
Hartono Rakiman
Hartono Rakiman Mohon Tunggu... Konsultan - Freelance consultant pada bidang pemberdayaan masyarakat, komunikasi, dan advokasi

Menjaga keseimbangan hidup antara bekerja, keluarga, sosial dan spiritual. Travel writer: "Mabuk Dolar di Kapal Pesiar."

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Luka: Tentang Sebuah Hal

27 April 2014   12:50 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:08 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_333502" align="aligncenter" width="601" caption="Seorang pengunjung menatap salah satu lukisan dengan tema "Luka" karya Haris Purnomo][/caption]

Ada 13 lukisan potret “tokoh” yang dipajang di Galeri Salihara pada pembukaan pameran seni malam itu, 26 April 2014, bersama instalasi seni ratusan patung manusia berbalut kain kasa dalam posisi sujud, dan 1 seni instalasi video. Pameran seni karya Haris Purnomo ini akan digelar sampai11 Mei 2014.

Dari 13 lukisan potret “tokoh,” paling tidak ada 5 “tokoh” yang dikenal luas oleh masyarakat, seperti Hoegeng, Gus Dur, Munir, dan Soekarno. Selebihnya adalah “tokoh” dalam pengertian personal yang hanya dikenal oleh Haris Purnomo.

Haris Purnomo mengakui, sebenarnya lukisan potret itu bukantentang tokoh atau orang yang dikenal luas. Baginya itu adalah tentang sebuah hal dengan H besar. Sosok Hoegeng, Gus Dur, Munir, dan Soekarno yang dikenal luas oleh publik menyimpan energi kehidupan luas biasa yang mampu menginspirasi manusia. Ikon energi (power) dituangkan Haris Purnomo dalam tato naga yang ada di setiap wajah yang dia lukis dengan teknik hiperrrealisme tingkat tinggi, melebihi citra fotografi beresolusi tinggi (high resolution).

Gaya dan teknik lukisan Haris Purnomo dapat dikelompokkan dengan gaya dan teknik lukisan Dede Eri Supria yang mengusung seni Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia, sebuah gerakan yang mencoba melawan universalisme seni pada jaman Orde Baru yang sangat cerewet mengontrol seni. Bahwa seni harus berkepribadian Indonesia, tanpa secara jelas mendefiniskan kepripadian macam apa. Maka , Haris Purnomo yang keluaran ISI Jogja kemudian bersama beberapa seniman lainnya bergabung dalam kelompok PIPA (Kepribadian Apa).

Asikin Hasan, kurator pameran Luka, dalam pengantarnya menyatakan, “lukisan-lukisan Haris Purnomo telah selesai dengan teknik dan ketrampilan yang tinggi. Efek cemerlang cat minyak dan akurasi bentuk yang dikontrol oleh kecanggihan mata kamera, memungkinkan lukisan-lukisan tersebut melampaui realitas sesungguhnya. Menjadi hiperrealitas sebagaimana potret para pesohor dalam produk iklan. Pencitraan, hiperrealitas termasuk rupa rajah naga.”

Di antara ketiga belas lukisan itu terselip 1 lukisan imajiner “tokoh” Umar Bakrie yang pernah dinyanyikan oleh Iwan Fals. Potret seorang lelaki berkopiah robek bagian tenganya, dengan wajah tersenyum penuh energi.

Pada ujung barisan potret “tokoh” itu, ada “tokoh” yang secara luar biasa menginspirasi Haris Purnomo secara pribadi. Dia adalah Kasim Arifin. Tak banyak orang mengenal “tokoh”ini. Bagi Haris Purnomo, dia adalah pelaku seni instalasi yang sesungguhnya, yang terwakili dari lakon kehidupan yang dia jalani selama 16 tahun di Waimatal. Kasim Arifin adalah mahasiswa IPB yang waktu itu KKN di Waimatal dan memutuskan menetap di sana untuk mengabdikan hidupnya bagi para petani. Ijasah sarjana baginya tak lagi penting, hingga sang rektor IPB memanggilnya pulang untuk menjadi pengajar di almamaternya. Tapi Kasim Arifin memutuskan lain.

[caption id="attachment_333504" align="aligncenter" width="545" caption="Haris Purnomo, sang pelukis, dengan sosok yang menginspirasinya: Kasim Arifin. Fotografi: Hartono Rakiman"]

13985524671716487458
13985524671716487458
[/caption]

Di tengah ruangan galeri, ada teror yang menggedor imajinasi, berupa seni instalasi ratusan patung manusia berbalut kain kasa putih dalam posisi sujud, dengan wajah terbenam di bumi dan kepala menyala. Jumlah mereka yang banyak sempat menghadirkan teror bagi pengunjung. Siapa mereka? Apa maknanya? Rahardi Ramelan yang sempat memberikan kata sambutan dan sekaligus membuka pameran seni ini mengartikan seni instalasi ini sebagia manusia-manusia Indonesia yang sudah merasa malu dengan deretan luka yang disandangnya, sehinggga tak lagi sanggup memperlihatkan wajah. Potret buram wajah bangsa Indonesia yang bopeng-bopeng oleh berbagai peristiwa memalukan selama ini.

Setiap pengunjung boleh saja menginterpretasikan secara berbeda tentang makna seni instalasi itu. Bisa saja itu adalah sebagai gambaran upaya terakhir manusia untuk kembali ke bumi, menatap ibu pertiwi, sumber inspirasi bagi makna kehidupan ketika berbagai peristiwa melintas di depan kita. Tataplah kembali wajahmu, benamkan wajahmu di hamparan ibu petiwi, bukan menatap ke langit kosong.

Dalam jagad seni modern, sebentuk teror indrawi semacam itu sangat penting untuk hadir dalam sebuah pameran seni. Orang perlu digedor imajinasinya, menyelami peristiwa yang melintas dan terekam dalam memori setiap orang yang menyaksikan. Dan sekali lagi, maknanya bisa berbeda-beda dari setiap orang yang menyaksikannya. Teror kecil lainnya berupa video yang menggambarkan sosok manusia tua yang diplester kepalanya dengan berbagai peristiwa di Indonesia hingga taka da ruang lagi di wajahnya yang terisi. Semuanya adalah luka yang mengangga: pembunuhan Munir, penghilangan Wiji Thukul, hingga kasus Hambalang.

Seni instalasi manusia sujud itu mengingatkan seni insintalasi yang pernah dibuat Haris Purnomo dalam pameran internasional sebelumnya berupa bayi dalam gedongan yang digantung mirip kepompong. Seni instalasi itu mengiringi pameran lukisan bayi bertato yang menghebohkan dunia.

Lukisian bayi bertato karya Haris Purnomo telah beredar di kalangan kolektor seni internasional dan terpajang di balai lelang internasional.

Bagi yang belum mengenal Haris Purnomo, dia adalah sedikit dari pelukis yang justru dikenal luas di dunia internasional daripada di negeri sendiri. Kini dia memutuskan untuk pulang kampung setelah lama malang melintang di dunia internasional dan menetap di daerah Cibubur sejak 2012, mendirikan Roemah 9A, yang dia dedikasikan sebagai wadah seni yang menampung berbagai aliran: tari, musik, lukis, dan seni lainnya.

Hartono Rakiman, penikmat seni, tinggal di Desa Bojongkulur, Bogor.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun