Mohon tunggu...
Tri Muhammad Hani
Tri Muhammad Hani Mohon Tunggu... -

Sekedar menulis pemikiran yang terkadang aneh, nyeleneh dan melawan arus...Serta selalu menjaga liarnya pikiran

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Menagih Komitmen Penyedia Obat Dalam Layanan Program JKN

14 Mei 2015   10:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:03 2238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sesungguhnya pemerintah telah menjamin ketersediaan obat dalam program JKN dengan mengeluarkan ketentuan seperti tercantum dalam PMK Nomor 28 Tahun 2014 tentang Manlak JKN bahwa dalam hal faskes mengalami kendala ketersediaan obat sebagaimana yang tercantum pada e-katalog maka dapat menghubungi Direktorat Bina Obat Publik dengan alamat email: e_katalog@kemkes.go.id atau 081281753081 dan (021)5214872. Namun ternyata persoalan tidak selesai sampai disini. Seringkali ditemui kesulitan dalam proses pengaduan dan pelaporan kepada Direktorat Bina Obat Publik Kemenkes RI melalui berbagai alamat dan nomer kontak diatas.

PABRIK OBAT DAN DISTRIBUTOR OBAT

DalamPMK Nomor 1799 Tahun 2010 Tentang Industri Farmasi Pasal 1 Angka 3 juncto PMK Nomor 63 Tahun 2014 Pasal 1 Angka 7 disebutkan bahwa Industri Farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin dari Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat. Indonesia memilik banyak sekali perusahaan Industri Farmasi, baik itu yang merupakan BUMN seperti Kimia Farma, Indofarma dan Biofarma atau sektor swasta yang sebagian juga dikuasai oleh Penanaman Modal Asing (PMA). Dalam keseharian seringkali industri farmasi ini secara sederhana kita sebut dengan "pabrik obat".

Sementara pengertian tentang "distributor obat" terdapat dalamPMK Nomor 1148 Tahun 2011 Tentang Pedagang Besar Farmasi Pasal 1 Angka 1 juncto PMK Nomor 63 Tahun 2014 Pasal 1 Angka 8 yang mendefinisikan bahwa Pedagang Besar Farmasi, yang selanjutnya disingkat PBF adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran obat dan/atau bahan obat dalam jumlah besar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam praktik sehari-hari, PBF ini sering disebut dengan DISTRIBUTOR OBAT. Begitu banyak PBF yang ada di Indonesia saat ini dan salah satu PBF yang merupakan BUMN yaitu PT. Rajawali Nusindo (RNI) telah secara tegas menyatakan komitmen penuh mendukung pemerintah menjalankan program JKN khususnya yang menjadi ranah tanggungjawabnya yaitu pengadaan, penyimpanan dan penyaluran obat-obatan dari Industri Farmasi kepada fasilitas kesehatan pemerintah dan swasta. Terdapat pula beberapa PBF dengan status badan hukum BUMN yang merupakan anak perusahaan Industri Farmasi BUMN seperti PT. Indofarma Global Mandiri (IGM) yang merupakan anak perusahaan PT. Indofarma dengan sektor usaha khusus sebagai distributor obat atau PBF.

PERMASALAHAN

Persoalan pertama adalah PBF atau distributor obat tidak mau menyediakan obat dengan harga e-katalog kepada faskes swasta dan apotek jejaring BPJS karena kebijakan perusahaan. Kenapa demikian ? Ada kabar yang menyatakan bahwa PBF mulai hati-hati dan cukup ketat dalam penjualan obat kepada faskes swasta dan apotek jejaring BPJS setelah sempat didapati kasus di sebuah faskes swasta yang membeli obat dengan harga e-katalog namun kemudian dijual dengan harga reguler (sesuai tarif RS) kepada pasien non peserta BPJS. Pertanyaan menariknya adalah, benarkah hanya terjadi di faskes swasta? Apakah tidak mungkin hal ini juga terjadi faskes milik pemerintah yang nota bene sampai dengan saat ini BELUM semua penduduk menjadi peserta BPJS Kesehatan sehingga masih terdapat ruang untuk penyalahgunaan dengan menjual obat dengan harga RS kepada pasien umum?

Permasalahan kedua adalah penyediaan obat oleh PBF yang sudah ditunjuk untuk obat-obatan dengan harga e-katalog sangat lambat dan terkesan tidak mau melayani dengan komitmen tinggi. PBF cenderung mengutamakan distribusi obat-obatan berdasarkan pemesanan dengan harga reguler dibanding permintaan obat-obatan dengan harga e-katalog. Alasan paling logis terkait hal ini tentu saja tentang besarnya profit margin PBF tersebut yang mungkin memang sangat kecil sekali untuk obat-obatan yang harganya sudah dipangkas dalam e-katalog. Seperti kita pahami bahwa harga obat-obatan e-katalog memang jauh berada dibawah harga obat non e-katalog karena adanya pemangkasan secara signifikans biaya produksi dan biaya jalur distribusi.

Masalah yang lebih ke hulu adalah terkait ketersediaan obat-obatan yang masuk dalam e-katalog di industri farmasi seringkali minim atau malah kosong. Mungkin PBF sangat komitmen untuk melayani pemesanan obat e-katalog, namun seringkali jawaban PBF adalah "kosong pabrik". Nah jika persoalan ini benar adanya, maka dapat kita simpulkan bahwa masalah bukan terletak pada proses penyimpanan dan pendistribusian akan tetapi persoalan terletak kepada komitmen Industri Farmasi untuk memproduksi obat-obatan e-katalog. Setiap Industri Farmasi memiliki beberapa PBF yang bekerjasama dalam proses storage (Penyimpanan) dan distribusi. Ada PBF yang sudah ditunjuk sebagai distributor obat-obatan e-katalog dan ada juga PBF yang tidak ditunjuk sebagai distributor e-katalog. Mungkinkah ada kecenderungan Industri Farmasi lebih mengutamakan melayanai permintaan PBF yang tidak ditunjuk sebagai distributor obat e-katalog ? Sangat mungkin dan secara perhitungan profit oriented tentu saja kembali kita harus berfikir bahwasanya ada upaya dari Industri Farmasi untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan laba perusahaan dengan tetap mengutamakan pelayanan obat-obatan non e-katalog dengan "mengesampingkan" permintaan obat-obatan dengan harga e-katalog.

Saya pernah punya pengalaman ketika ditunjuk sebagai penanggungjawab pengadaan obat-obatan e-katalog pada Tahun 2014. Kesulitan yang dihadapi adalah ketersediaan obat-obatan e-katalog di PBF karena "kosong pabrik". Obat-obatan yang ready stock di PBF atau masih di Industri Farmasi lebih banyak didistribusikan untuk permintaan dengan harga non e-katalog. Sehingga ketika ada permintaan obat dengan harga e-katalog, maka barulah Industri Farmasi tersebut memulai proses produksinya yang tentu memakan waktu. Pengalaman pahitnya adalah dari sejak bulan Juni 2014 sudah dipesan, namun PBF baru sanggup melayani paling cepat akhir Desember 2014 sehingga akhirnya diputuskan untuk membatalkan proses pembelian tersebut. Sungguh persoalan ini sangat menyedihkan ketika melihat kenyataan di lapangan bahwa setiap hari ada jutaan nyawa yang hidup dan keselamatannya sangat tergantung kepada obat-obatan tersebut.

Memang kembali harus diakui bahwa lemahnya pengawasan terhadap faskes menjadi salah satu faktor penyebab utama persoalan ini. Sangat sulit memang mengawasi faskes dalam pelayanan obat-obatan kepada pasien dengan membedakan pasien BPJS dan bukan peserta BPJS. Siapa yang mampu menjamin bahwasanya semua obat yang dibeli dengan harga e-katalog HANYA akan diberikan kepada pasien peserta BPJS ? Siapa yang dapat memastikan bahwa obat-obatan yang dibeli oleh faskes (pemerintah dan swasta) TIDAK dijual kepada pasien bukan peserta BPJS dengan tarif RS ? Ditekankan disini bahwa peluang moral hazzard ini tidak hanya terjadi di faskes swasta, namun faskes pemerintah pun tetap memiliki kemungkinan yang sama sampai Universal Health Coverage (UHC) di Indonesia dapat tercapai. Dan lagi-lagi menurut saya adalah peran Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS) yang belum berjalan optimal dan maksimal seperti dalam tulisan saya terdahulu tentang BPRS (Kompasianan Tanggal 14 April 2015).

KESIMPULAN

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun