PEWARIS PERGURUAN AWAN
Pemahamanku menjadi lebih jelas berkali-kali lipat setelah mendengar penjelasan kakek tua dan sekaligus melihat demonstrasi "menyatukan" dua batu di telapak tangan kanannya. Sekat-sekat pengetahuan yang dahulu samar dan bahkan tertutup kini sudah mulai terang benderang. Pada tahap tertentu aku bisa melakukan apa yang diajarkan oleh ayah. Bahkan bisa kulakukan dengan penilaian sangat baik. Namun pada satu titik aku merasa ada hal-hal yang masih samar dan belum terbuka dengan jelas. Samarnya pengetahuan ini membuatku menjadi terhenti dan belum bisa masuk pada tahap-tahap lanjutan keilmuan yang diajari ayah kepadaku.
Ketika aku bertanya kepada ayah mengenai kendala-kendala ini, ayah hanya mengatakan kalau semua kendala ini akan terbuka dengan sendirinya ketika aku melakukan pengembaraan keilmuan. Bertemu dengan banyak orang, diajari banyak orang, dan mau belajar pada banyak orang. Bahkan lebih lanjut ayahku mengatakan agar belajarlah tidak hanya pada orang melainkan juga pada alam, pada angin, pada air, pada api, pada kayu, pohon, daun, dan lain sebagainya. Ketika mendengar itu, memoriku teringat pada penjelasan salah satu sahabatku dulu yang menguasai silat Minang bahwa "alam terkembang menjadi guru". Dalam khasanah Jawa, alam terbagi menjadi dua yakni alam kecil atau "jagad alit" dan alam besar atau "jagad gedhe". Meski terpisah jarak, antara Jawa dan Minang memiliki kesamaan mendasar pada filosofi apa dan bagaimana seseorang belajar dari "guru". Hal ini membuatku menjadi sangat bersemangat.
Tanpa sadar aku memejamkan mata. Mengatur napas, lalu memulai menjalankan pemahaman baruku mengenai "penyatuan dua batu". Mendadak titik pusat getaran di bawah pusarku menghangat, lalu perlahan dadaku menghangat, dan kemudian kepalaku menghangat, hingga seluruh tubuhku menghangat. Masing-masing dengan rasa hangat yang khas. Seakan ada "tungku" yang sedang aktif di beberapa bagian tubuhku. Rasa seperti ini akan sulit dipahami bagi yang tidak melatihnya. Seringkali dianggap tidak dipercaya dan merupakan psikologi efek saja. Dianggap bukan sesuatu yang nyata. Padahal, ketika latihannya dilakukan dengan rutin dan sungguh-sungguh maka hal itu tidaklah demikian adanya.
Aku semakin tenggelam pada rasa ini dan berusaha mengenali bahwa setiap bagian "tungku" yang kurasakan adalah "batu" yang berbeda yang harus bisa "kusatukan" dengan cara yang khas. Cara itulah yang sebenarnya diajarkan secara turun temurun sebagai sebuah metode tradisional yang khas atau yang mungkin bisa didapat dengan pengembaraan keilmuan. Perlahan aku mulai mengerti. Pada suatu titik puncak rasa, naluriku berkata bahwa kini saatnya "menyatukan" dan "melebur" semua "tungku" tersebut menjadi satu dan menghasilkan jenis tenaga baru.
Perlahan aku membuka mata.
Luar biasa. Semua yang kulihat didepanku menjadi begitu jelas. Tidak, bahkan sangat jelas. Tidak hanya itu, seluruh rasa yang ada di tubuhku juga mengembang sedemikian rupa. Ujung-ujung rambut yang ada di seluruh permukaan tubuhku seolah bisa kurasakan. Hembusan angin yang menyentuh kulitku menjadi sedemikian terasa.
Tanpa sadar aku menengokkan kepalaku ke arah kiri. Telingaku tiba-tiba menjadi sangat peka. Aku bahkan bisa mendengar hembusan napas halus Aji, gerakkan tulang dadanya ketika napasnya keluar dan masuk paru-paru. Suara langkah kaki Dewi beserta dua orang laki-laki yang menyertainya terdengar seakan begitu dekat. Daun-daun yang terkena angin, daun-daun yang jatuh, yang terinjak, bahkan hingga suara hembusan angin diatas padepokan ini juga bisa kurasakan. Tarikan napas Aji dan gurunya juga bisa kubedakan dengan jelas.
Aku pejamkam mata sekali lagi. Kufokuskan untuk mendengarkan napas Dewi dan dua orang laki-laki yang menyertainya. Ya, semakin jelas dan bisa kubedakan. Aku bahkan bisa memperkirakan jarak dan lokasi Dewi yang sambil berjalan ia selalu berjalan dengan irama kaki yang tidak menentu karena riangnya. Kaki kanan, kaki kiri, kaki kanan, kaki kiri.
Aku paham betul, menjelaskan rasa seperti ini kepada orang umum kebanyakan tidaklah mudah. Dan yang tidak merasakannya tidak akan bisa mengerti. Ini benar-benar sebuah pengalaman subyektif yang akan berbeda antara satu subyek dengan subyek yang lain.
Perlahan aku kembali membuka mata. "Tungku" itu masih begitu terasa saling terhubung. Masing-masing dengan rasa yang berbeda. Tanpa sadar aku memandang kedua mata kakek tua didepanku yang merupakan guru padepokan ini. Seakan mengerti maksudku, kakek tua itu tersenyum sambil mengangguk.
"Silahkan...", ucap kakek tua itu singkat.
Tanpa menunggu lagi, aku segera "memuntahkan" tenaga baru yang dihasilkan dari "tungku-tungku" ini. Kuarahkan pada kedua telapak kakiku. Dengan sekali sentakan, aku langsung melompat tinggi.
HEAAH!!!
Aku langsung melenting tinggi. Rasanya tak percaya saat kulihat tubuh kakek tua dan Aji yang menjadi semakin kecil. Aku yang baru pertama kali merasakan hal ini menjadi sangat gembira. Namun disinilah bahayanya.
Aku belum bisa mengontrol tenagaku!
Ditengah kekhawatiranku, tiba-tiba aku melihat sekelebatan bayangan dari bawah menuju ke arahku dengan cepat. Hanya dalam hitungan detik pundak kananku sudah dipegang. Saat aku melihat, ternyata kakek tua itu yang menyusulku. Tangannya yang menyentuh pundakku terasa mengalirkan seberkas hawa hangat yang kemudian melingkupi seluruh tubuhku. Dengan dipandu oleh kakek tua itu, aku turun dengan cepat mengikutinya. Kami berdua menjejakkan kaki secara hampir bersamaan. Keringat dinginku mengucur.
"Itu sudah pencapaian yang bagus sekali!", ucap kakek tua itu dengan perasaan senang.
Tiba-tiba aku mendengar suara tepuk tangan.
"Hebat! Hebat sekali kau tua bangka! Sudah tua bau tanah begini masih punya simpanan murid yang hebat! Tidak sia-sia aku datang jauh-jauh kemari untuk menyambangimu tua bangka! Hahaha...", ucap laki-laki besar yang kuperkirakan usianya sekitar lima puluh atau enam puluh tahunan dengan sangat lantang. Tapi dari caranya memanggil kakek tua itu nampak begitu akrab dan kakek tua itu tidak tersinggung dipanggil "tua bangka".
"Hai anak muda! Dari caramu melompat barusan aku melihat jenis tenaga yang berbeda pada dirimu. Tapi tenagamu belum stabil. Si tau bangka bau tanah ini nampaknya belum mengajarkan apa-apa kepadamu ya?", tanya laki-laki bertubuh besar itu kepadaku.
Aku tidak berani menjawab. Aku kembali melihat kedua mata kakek tua itu untuk meminta izin. Dijawab singkat dengan anggukan kakek tua itu kepadaku.
Aku membungkuk memberikan penghormatan.
"Paman Guru, maafkan atas kelancanganku. Aku hanya belajar sedikit dan mencerna sedikit...", jawabku singkat.
"Hahahaha... Kau panggil aku Paman Guru! Bagus! Bagus! Aku suka sekali! Tua bangka bau tanah, lihat, lihat, dia sudah jadi muridku begitu memanggilku Paman Guru bahkan sebelum ia jadi muridmu! Hahaha", ucap laki-laki bertubuh besar itu sambil tertawa riang. Tingkahnya sangat lucu dan aneh menurutku. Tapi aku tahu bahwa ia bukanlah orang sembarangan. Sementara kakek tua didepanku hanya tersenyum saja.
"Anak muda! Kau tahu siapa aku ini?", tanya laki-laki tua bertubuh besar itu kepadaku.
Aku membungkuk hormat.
"Maafkan aku Paman Guru, aku tidak tahu", jawabku berterus terang.
"Aku adalah Ki Jamas, pewaris Perguruan Awan. Dan ini adalah muridku, Danang. Hari ini aku datang menemui si tua bangka ini untuk mengadu ilmu. Aku ingin tahu, ilmu siapa yang lebih hebat! Tapi bukan aku yang akan saling beradu ilmu. Aku sudah bosan! Bosan sekali! Tua bangka bau tanah itu ilmunya tidak ada habis-habisnya! Yang nanti meneruskan adalah muridku dengan murid si tua bangka itu! Aku ingin tahu siapa yang lebih hebat!", ucap laki-laki bertubuh besar yang bernama Ki Jamas.
"Sahabatku Ki Jamas. Mari kita duduk-duduk dulu minum teh. Dewi tolong ambilkan bangku panjang disana.", ucap kakek tua itu kepada Dewi. Tanpa menunggu lebih lama lagi Dewi langsung berjalan menuju salah satu bangku panjang yang ada di dekat kami.
"Tua bangka bau tanah! Kau tidak perlu repot-repot menyuruh murid cantikmu itu. Biar kulakukan sendiri...", ucap Ki Jamas dengan lantang.
Tangannya seketika dijulurkan ke arah bangku panjang itu, telapaknya terbuka lalu sekejap dibentuk seperti cakar. Terdengar suara bangku yang tertarik kearah Ki Jamas. Ya, bangku itu tertarik mengikuti arah tangan Ki Jamas.
Aku yang sudah kenyang dengan melihat kemampuan-kemampuan luar biasa di padepokan ini merasa tidak terlalu kaget dengan pertunjukan kemampuan seperti itu. Meski demikian tetap saja hal itu membuatku tercekat karena kemampuan-kemampuan yang umumnya hanya menjadi buah bibir saja kini kusaksikan sendiri di depan mata. Kemampuan menarik benda dari jarak jauh dengan sangat mudahnya dilakukan oleh Ki Jamas. Jika Ki Jamas yang terlihat asal-asalan saja bisa melakukan penarikan obyek dari jarak jauh, tentulah bisa dibayangkan bagaimana kemampuan kakek tua yang dipanggilnya dengan sebutan "tua bangka" itu.
Setelah bangku panjang itu berada dekat dengan Ki Jamas, lalu ia dan muridnya langsung duduk.
"Tua bangka bau tanah, kau tidak boleh ikut campur karena aku telah memutuskan bahwa Danang akan mengadu ilmu dengan anak muda ini! Aku tidak peduli ia muridmu atau bukan. Karena ia ada disini dan memakai baju padepokanmu, maka kuanggap ia adalah muridmu. Tentunya setelah menjadi muridku Hahahaha...", lanjut Ki Jamas sambil tertawa lepas.
Aku hampir saja tertawa karena tingkahnya sangat aneh. Sebentar-sebentar bilang aku muridnya, lalu disebut aku juga murid kakek tua itu. Namun begitu mendengar ia akan mengadu muridnya denganku, membuatku tercekat menelan ludah.
(bersambung)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI