PRASANGKA
Aku dan Aji sudah masuk ke dalam gerbang pendopo bagian belakang. Ruangan ini cukup luas. Suasananya lebih asri dan sangat tenang. Terdapat beberapa pohon yang sangat terawat. Tidak jauh dari pohon yang paling ujung ada kolam kecil dan agak panjang. Lebarnya kuperkirakan dua telapak kaki dan panjangnya sekitar lima meter. Ada beberapa bangku panjang yang diletakkan rapi. Ada satu bangku yang terbuat dari kayu didekat kami.
"Kisanak, silahkan duduk", ucap Aji sambil mempersilahkanku untuk duduk pada bangku kayu didekatnya.
"Terima kasih", jawabku singkat.
Aku duduk dan diikuti dengan Aji.
"Kisanak, sambil menunggu Guru untuk hadir disini, bolehkah aku bertanya?", tanya Aji sopan.
"Tentu saja. Silahkan...", jawabku.
"Darimana Kisanak mendapatkan pemahaman mengenai Raja Sampun ini? Sebab ilmu ini termasuk langka dan tidak sembarangan orang untuk menyebutkannya apalagi melakukannya...", tanya Aji.
Aku terdiam sejenak. Pikiranku menerawang pada beberapa tahun silam. Aku menghela napas ringan lalu tersenyum.
"Kau tak akan percaya apa yang kukatakan...", jawabku.
"Coba saja...", ucap Aji berusaha meyakinkanku.
"Baiklah. Aku mendapatkan pemahaman ini dari kisah ayahku. Ayah pernah berkisah mengenai penasehat raja yang dapat mewujudkan apapun yang diinginkan oleh rajanya dalam hal pembuatan sesuatu wujud atau pelaksanaan suatu kejadian. Ayahku adalah tipe orang yang tidak pernah berhenti berpikir dan memikirkan.Â
Baginya, pengetahuan itu sangatlah menantang. Raja Sampun, merupakan konsepsi dasar penciptaan. Pemahaman akan ilmu ini memerlukan pemahaman akan detail benda. Dari terluar hingga terdalam. Dari yang terlihat hingga yang tidak terlihat. Dari kulit hingga inti. Dari ada hingga tiada. Lalu membalik prosesnya. Dari terdalam hingga terluar. Dari yang tidak terlihat menjadi terlihat. Dari inti hingga kulit. Dari tiada hingga menjadi ada.", jawabku.
"Lanjutkan...", pinta Aji.
"Suatu saat dalam episode hidup, aku mengalami suatu kejadian yang membuatku memahami ilmu ini.", ucapku melanjutkan.
Aku memandang langit, lalu menghirup napas.
"Ketika dulu aku pernah tinggal di sebuah rumah di sekitar Jakarta Selatan, rumahku kedatangan seekor ibu kucing dan tiga anaknya. Semua kucing liar.", lanjutku.
Aku melihat Aji mengerenyitkan dahi.
"Kucing?", tanya Aji penasaran.
"Iya, benar. Kucing. Kucing itu entah bagaimana menjadi suka dengan halaman samping rumahku. Pernah kucoba beberapa kali kupindahkan anak-anak kucing itu, namun sang induk kembali membawa kucing itu ke halaman samping rumahku. Itu kulakukan hingga lima kali, dan lima kali pula sang induk kucing membawa anak-anaknya kembali ke tempatku. Akhirnya aku menyerah. Kubiarkan kucing-kucing itu tinggal di halaman samping rumahku. Kusiapkan rumah untuk mereka berupa kardus bekas Aqua yang kulapisi dalamnya dengan kain hangat. Dan mereka akhirnya tinggal disitu.", ucapku.
Aji terlihat mengangguk.
"Suatu hari, ketika aku sedang dalam perjalanan, aku dikabari oleh tetanggaku bahwa kucing yang paling kecil terlindas sebuah motor sehingga menyebabkan kaki depannya patah. Aku langsung kaget saat itu, dan bergegas pulang. Setelah sampai kulihat anak kucing yang paling kecil yang berwarna putih kombinasi hitam itu tergeletak lunglai di dekat rumah kardus yang kusiapkan. Sang induk terlihat gelisah dan bersuara pilu seakan meminta pertolongan.
Saat itu aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Yang kulihat adalah kaki depan sebelah kanan kucing kecil itu bengkok. Patahannya terlihat sangat jelas. Yang terlintas di benakku saat itu hanyalah Raja Sampun. Itu saja. Lalu perlahan aku angkat kucing kecil itu ke atas rumah kardusnya dan aku duduk didepannya.Â
Aku meraba dengan tangan kananku kaki kecil yang patah itu. Ia terlihat sangat kesakitan dan berusaha menggigitku. Mungkin itu naluri alamiah. Aku ingat ajaran ayahku, bahwa dalam menangani masalah kesehatan mestilah dengan perasaan cinta dan sayang. Lalu kuelus perlahan kepala kucing kecil itu sambil kuniatkan bahwa aku ingin menolongnya. Setelah itu aku meraba kembali kaki kecil yang patah tersebut. Terdengar ia meringis kesakitan namun tidak menggigitku seperti tadi. Mungkin ia bisa merasakan bahwa yang kulakukan adalah untuk membantunya.
Ketika kucing kecil itu sudah tidak mulai berontak, aku mencoba meluruskan kaki yang bengkok itu dengan kedua tanganku. Terdengar bunyi krek pada saat kuluruskan. Kucing kecil itu bersuara lebih keras. Sementara sang induk terlihat mondar-mandir makin gelisah. Setelah tulang depan kaki kucing itu berhasil kuluruskan, kepala kucing itu terlihat lunglai. Mungkin ia menahan rasa sakit yang amat sangat ketika kuluruskan tulangnya yang patah. Saat itulah aku mulai mencoba untuk menggunakan Raja Sampun untuk pertama kalinya.", ucapku menjelaskan.
"Bagus sekali. Lanjutkan Kisanak...", ucap Aji.
"Raja Sampun yang kupahami, pada dasarnya terjadi dan pasti terjadi hanya dan hanya jika Allah mengizinkan. Maka saat itu yang pertama kulakukan adalah memejamkan mata, menundukkan kepalaku, sekaligus menundukkan hati ini dengan cara merendahkan diriku dihadapan Allah bahwa aku ini adalah makhluk yang lemah. Kuletakkan ego di titik terendah yang aku bisa. Tiada daya dan upaya melainkan semua terjadi atas izinNya semata.
Saat itu, aku merasa seperti tenggelam di dasar yang gelap. Sangat gelap. Tidak ada kucing. Tidak ada kaki yang patah. Tidak ada induk kucing. Ada aku namun serasa tidak ada aku. Pada kondisi tersebut aku mulai membentuk niat. Niat untuk menggunakan Raja Sampun atas izinNya. Lalu niat itu kunaikkan ke permukaan kesadaranku dan kuarahkan pada tulang kaki kucing kecil yang patah itu. Setelah itu kurasakan. Napasku kuatur halus dan lembut. Kujaga agar tidak terjadi lonjakan energi.
Sambungan tulang kaki kucing kecil itu bisa kurasakan benar. Perlahan aku mulai menerapkan kaidah penyusunan materi seperti yang pernah kupelajari dari ayah. Bahwa suatu benda dapat dilihat dari dualisme sifat. Karakter fisik yang terlihat oleh mata, ketika diselami hingga ke dalam hanya menjadi berkas-berkas energi dan gelombang. Ketika berkas-berkas energi dan gelombang ini diselami hingga lebih dalam lagi maka ia tak lebih dari ruang kosong nan hampa.
 Lalu dari kehampaan inilah semua tercipta. Aku mesti bisa mengenali elemen pembentuk materi yang kemudian kubuat dan kususun dari ruang hampa ini hingga berturut-turut menjadi nyata. Energiku, yang pada semua ruang hampa tubuhku yang sudah pernah kuolah melalui latihan, kugunakan untuk mengenali semua unsur dan elemen pembentuk tulang. Lalu dengan penuh keyakinan agar yang kulakukan ini bisa terjadi, aku mulai membentuk ikhtiar.
Ketika kaidah ini kukerahkan, aku merasa telapak tanganku seperti dialiri oleh banyak sekali serabut-serabut halus. Serabut-serabus halus ini sangat terasa berjalan menuju sambungan tulang kaki kucing yang patah tersebut. Makin lama terasa makin banyak. Lalu perlahan ia merekatkan tulang yang patah tadi. Menyambungkan dengan cara yang entah aku tidak mengerti detailnya. Namun saat itu begitu terasa di kedua telapak tanganku. Dan ketika serabut-serabut energi itu mulai banyak mengaliri urat-urat lenganku, rasanya seperti disayat-sayat.
Saat melakukan itu, akupun sudah tidak peduli dengan lingkungan sekitar. Niatku hanya satu, bahwa aku ingin membantu kucing kecil ini dengan cara menyambungkan kembali tulang kaki depannya yang patah. Selesai melakukan, aku berucap syukur kepada Allah, dan menyerahkan segala urusan kepadaNya. Semoga Allah ridho dan berkenan membantuku untuk memperbaiki tulang kucing kecil yang patah ini.", jawabku.
"Apakah berhasil?", tanya Aji.
"Pada saat itu aku tidak tahu apakah ini berhasil atau tidak. Namun ketika kubuka kembali mataku, aku melihat kucing kecil itu sudah tidak merasa kesakitan seperti tadi. Dan kaki depan yang patah dengan posisi bengkok sudah terlihat lurus. Kucing kecil itu kini tertidur dengan kaki depannya lurus, tidak bengkok lagi. Keringatku bercucuran membanjiri bajuku. Mengerahkan kaidah Raja Sampun ini sungguh sangat menguras tenaga. Aku bergegas masuk rumah dan mengambil air minum. Rasanya sangat haus dan sangat lapar.", jawabku.
Aku menarik napas perlahan.
"Dua jam setelah itu, aku kembali ke halaman samping untuk melihat bagaimana kondisi kucing kecil itu. Ia kini sudah bisa bangun dan berdiri, namun jalannya masing pincang. Meski demikian, kaki depan sebelah kanannya sudah lurus dan sudah bisa ia pergunakan meski nampaknya masih sakit. Sepertinya aku harus mengobatinya dua atau tiga kali lagi.", lanjutku.
"Lalu setelah itu apakah Kisanak melanjutkan mengobati kaki kucing itu?", tanya Aji.
Aku mengangguk.
"Iya. Aku melanjutkan dua kali lagi pada hari itu dan dua kali lagi pada keesokan harinya. Tepat di hari ketiga kucing kecil itu kini sudah bisa berjalan kembali secara normal meskipun masih terlihat agak lemah. Setelah empat hari aku melihat kucing kecil itu sudah bisa berlarian kesana kemari bersama yang lain. Aku banyak-banyak berucap syukur kepada Allah atas pertolonganNya memudahkan jalanku ini.", jawabku.
Aji kemudian mengangguk-angguk.
"Kisanak, boleh aku bertanya sekali lagi...", tanya Aji.
"Silahkan...", jawabku singkat.
"Bagaimana cara Kisanak membentuk keyakinan saat itu?", tanya Aji langsung pada pokok pembicaraan.
Aku tersenyum. Ini adalah jenis pertanyaan yang dulu juga pernah kutanyakan pada diriku sendiri. Kemudian, melalui pengembaraan diri melalui banyak hal akhirnya aku mulai menemukan jawabannya.
"Keyakinanku dibentuk dengan cara membentuk prasangka baik kepada Allah bahwa Allah akan mengabulkan niatku. Aku menggunakan pemahaman bahwa Allah itu bagaimana prasangka hambaNya. Maka demikianlah aku meyakini...", jawabku dengan mantap.
"Lalu bagaimana Kisanak melakukan ikhtiar?", tanya Aji berikutnya.
"Aku memulai dari pemahaman bahwa Allah tidak akan mengubah nasib seseorang kecuali orang itu mengubah apa-apa yang ada pada jiwa mereka sendiri. Aku memulainya dari jiwaku, memantapkan diri untuk memulai dari jiwaku. Aku percaya, jika aku membereskan kondisi pada jiwaku maka Allah akan membereskan yang lainnya. Barulah setelah itu berturut-turut menggunakan potensi akal pikiran yang kumiliki hingga pada raga.
Jiwa, yang didalamnya ada potensi rasa. Akal pikiran, yang didalamnya ada potensi imajinasi. Semuanya bersifat abstrak. Rasa kugunakan untuk mengenali, sedangkan imajinasi kugunakan untuk membentuk wujud. Keduanya lalu kuikat menjadi suatu keyakinan. Dan keyakinan ini lalu dikuatkan dengan prasangka. Untuk mengenali penghubung antara materi dan non materi, maka disanalah nanti posisi energi berada. Aku mesti mengenali energi tubuhku sendiri. Sebab nanti itulah yang akan kujadikan penghubung antara membentuk ketiadaan untuk menjadi ada. Semua unsur yang terlibat adalah unsur-unsur yang ada di dalam ini yang berada pada semua ciptaanNya.
Kita jadi bisa memahami bagaimana benda yang ada bisa menjadi tiada. Dan bisa juga memahami bagaimana yang tiada bisa menjadi ada.", jawabku menjelaskan.
Aku melihat Aji kembali mengangguk-angguk.
"Maafkan aku. Aku tidak bermaksud mengguruimu...", ucapku terus terang.
"Oh tidak apa-apa. Aku senang dengan penjelasan Kisanak. Aku bisa merasakan banyak kebaikan disana.", jawab Aji sambil tersenyum.
"Melihat ranting yang sudah tersambung ini, nampaknya Raja Sampun milikmu lebih halus dibandingkan milikku. Ajari aku..", pintaku kepada Aji sambil kupandangi ranting kecil ditanganku ini.
Aku melihat Aji menggelengkan kepala.
"Tidak. Biar nanti Guru saja yang akan menentukan. Detail yang Kisanak ceritakan agak berbeda dengan kami disini. Namun tidak apa-apa. Tugasku disini hanya menemani dan menjelaskan yang aku mampu. Namun melihat kemampuan Kisanak yang kusaksikan sendiri, rasanya memang hanya Guru yang dapat menjelaskan secara lebih baik.", jawab Aji polos.
"Dulu, akupun sama seperti Kisanak. Banyak hal yang kuanggap mustahil. Namun setelah kupelajari ilmu silat ini dari Guru, aku mulai memahami banyak hal. Justru melalui pengetahuan silat inilah aku mulai bisa menerima kemustahilan sebagai sesuatu yang tidak lagi mustahil. Ia menjadi mustahil, atau dianggap tidak masuk akal kita sebenarnya semata-mata karena kita tidak memiliki pengetahuan terhadapnya. Ketika pengetahuan itu telah dibuka, maka kita bisa memahaminya lebih baik. Dan membuat kita lebih banyak bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikan oleh Allah.", lanjut Aji.
(bersambung)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI