[caption caption="Kendaraan tak bergerak selepas gerbang tol Ciawi arah Cisarua - Puncak."][/caption]Menjadi cerita buat siapa? Yaaa.. buat siapa saja lah. Buat yang lagi kena macet, atau siapa saja yang gak kena macet sekali pun. Menjadi cerita buat saya, buat tetangga, buat teman, buat Anda, buat pak sopir, buat pedagang asongan, buat pedagang warung, buat penjaga toilet, buat warga (yang jalan kampungnya menjadi jalur aternatif), buat petugas tol, buat wartawan, buat fotografer, buat pak polisi lau lintas, buat pak pegawai lalu lintas angkutan jalan, atau menjadi cerita buat pak menteri perhubungan. Paling pasti sih menjadi cerita buat pak dirjen perhubungan darat (hubdar). Semua tentu tahu itu *senyum. Bahkan, cerita pak dirjen hubdar malah kini menjadi cerita kita, hehehe.
Lihat saja di halaman media sosial Anda. Keluarga, teman, atau media berita yang Anda ikuti punya cerita tentang perjalanan liburan di tengah kemacetan. Ada yang terjebak macet setelah lebih dari 5 jam perjalanan, bahkan ada yang baru keluar rumah sekalipun sudah bercerita tentang kemacetan yang dialaminya. Mungkin juga malah ada yang pindah tujuan atau malah putar balik untuk pulang, menunda perjalanan esok hari.
Kemacetan yang terjadi pada libur kali ini dirasakan ribuan warga, terutama di Pulau Jawa. Menurut saya sih kemacetan yang luar biasa ini bahkan melebihi kemacetan yang terjadi setiap tahun di Hari Raya Idul Fitri. Saya katakan demikian karena kemacetan kali ini lokasinya ada di mana-mana. Sementara itu, saat Idul Fitri lokasi kemacetan (hanya) ada di beberapa titik (ruas) jalan yang sudah dapat diprediksi. Pihak yang berwenang pun saat Idul Fitri mampu melakukan rekayasa jalur dan arus lalu lintas guna mengantisipasi terjadinya kemacetan. Selain itu, pihak yang berwenang pun sudah dapat memperkirakan waktu perjalanan warga (yang tidak serentak tentunya). *Halah... sok tau heheh.....
Kembali ke... cerita. Kemacetan liburan di mana-mana yang bikin heboh (di mana-mana juga) ini tentu membuat saya punya cerita tersendiri. Tak liburan ke luar kota, saya mending ‘lemburan’ di pabrik (maklum buruh heheh...) mudah-mudahan uang lemburannya bisa buat liburan tahun baru. Aamiin. *senyum lagi.
Pagi sambil berangkat ke tempat kerja sengaja saya melintasi jalanan yang berimpitan dengan jalan Tol Jagorawi ruas gerbang tol Ciawi – Gadog. Tak cuma kali ini saja saya lakukan, tetapi hampir tiap minggu saya melakukannya. Tak punya tujuan muluk-muluk melakukannya. Cuma pengen moto-moto kondisi di jalan tol di akhir pekan. Kirim ke media sosial.
Mungkin saja bisa menjadi informasi yang bermanfaat bagi pengguna jalan. Itu saja moto-motonya pakai kamera smartphone yang tak terlalu smart juga, heheh.... Nah, sepanjang jalur itu saya mendapatkan lokasi yang pas untuk moto, yaitu gerbang tol Ciawi, rest area Ciawi, cabang pemisahan arah Ciawi – Puncak, simpang gadog, dan perempatan Ciawi.
Hari Kamis (24/12) tak ada cerita serius yang saya dapatkan selain foto-foto macetnya Tol Jagorawi sejak menjelang gerbang tol hingga simpang Gadog.
[caption caption="Antrean kendaraan di pintu gerbang tol Ciawi."]
Hari Jum’at (25/12) menyempatkan ngobrol dengan penjual kopi yang sedang rehat karena jalur ke arah Puncak sedang dibuka satu arah. Obrolan yang ringan-ringan saja, seputar nama, asal, dan pendapatan yang diperolehnya. Tak penting membahas kewajiban pejabat atau pemerintah atas terjadinya kemacetan. Kenapa? Ya, saya yakin aja penjual seperti mereka tentu menganggap berkah tersendiri jika jalur Puncak terjadi kemacetan.
Mamang yang satu ini ternyata asalnya dari Wonogiri. Saya percaya saja karena sepanjang ngobrol mamang tahu wilayah Wonogiri (menyebutkan beberapa kecamatan yang ada di Wonogiri dan kebetulan saya sedikit tahu). Menikah dengan warga sekitar Ciawi dan sudah tinggal di situ lebih dari sepuluh tahun. Mamang berjualan barang-barang dengan berkeliling desa jika tak sedang berjualan kopi saat macet di jalur Puncak.
[caption caption="Rehat sejenak sembari menunggu jalur Puncak ditutup kembali."]