Anak muda saat ini lebih menyukai hal-hal yang sifatnya budaya populer. Mereka tidak lagi tertarik untuk masuk pada gelanggang politik. Mereka hidup pada ruang budaya yang terbilang aman. Politik bagi mereka bukan sebuah arena yang menarik untuk diperjuangkan. Sangat berbahaya jika ini terjadi sebab sulit menemukan generasi muda yang akan melakukan esfatet pada tubuh partai politik.
Munculnya Gibran ini, merupakan perlawanan terhadap dominasi kaum tua. Hanya saja, secara kebetulan Gibran adalah anak Jokowi. Mudah sekali mengganggap pencalonan Gibran ini merupakan praktik neo oligarki. Telah disinggung di atas, banyak jejak digital mengatakan bahwa Gibran tidak pernah tertarik untuk masuk pada gelanggang perebutan kekuasaan.
Orang-orang lama yang telah lama berada di tubuh PDIP tentu saja gerah dengan kehadiran Gibran. Meskipun jika ditanya mereka sangat legowo dengan keputusan partai untuk mengusung Gibran. Keputusan partai mengusung Gibran adalah harga mati yang sudah tidak dapat ditawar lagi.
Gibran merupakan antitesis atau perlawanan terhadap kaum tua. Meskipun pada prosesnya pencalonannya terlalu cepat dan terkesan dipaksakan, yang kemudian memunculkan isu adanya praktik oligarki. Alih-alih terlalu gerah dengan kemunculan Gibran, setiap partai politik seharusnya instropkesi diri. Mereka harus berani memunculkan anak muda sebagai tandingan Gibran.
Gibran sebagai anak muda, seharusnya dilawan dengan kehadiran anak muda lain. Kalau hanya dilawan dengan debat kusir di ruang media, tidak akan menimbulkan dampak apapun. Silakan berdebat sampai keringat dingin, Gibran akan tetap akan maju sebagai calon walikota Solo. Kalau hanya dilawan dengan tukang jahit dan ketua RW dari kaum tua, sama saja artinya Gibran melawan kotak kosong.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H