Mohon tunggu...
Mas Gagah
Mas Gagah Mohon Tunggu... Dosen - (Lelaki Penunggu Subuh)

Anak Buruh Tani "Ngelmu Sampai Mati"

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pilpres dan Kejujuran Menulis

30 Maret 2019   11:33 Diperbarui: 30 Maret 2019   12:19 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada tulisan ini saya masih ingin membahas tentang budaya membaca dan menulis. Tema yang memang tak akan pernah habis dituliskan ulang. Membaca dan menulis merupakan kunci untuk membuka sebuah peradaban.

Ada kutipan yang menarik dari Novel 'Rindu' Karya Tere Liye. Pada sebuah halaman novel itu dituliskan bahwa satu paragraf yang dituliskan adalah sama dengan satu buku yang dibaca. Jika seseorang menulis 20 paragaraf maka paling tidak dia harus membaca minimal 20 buku.

Membaca nasihat Tere Liye ini, saya merenung sejenak. Menulis ternyata bukan hanya pekerjaan yang ringan. Ada tanggung jawab yang besar saat seseorang menulis. Pertanyaan yang perlu diajukan adalah 'apakah kita sudah jujur saat menulis?'

Yah, saat ini kita harus mempertanyakan tentang kejujuran menulis. Saat berbagai kemudahan informasi melimpah ruah. Kejujuran sepertinya menjadi barang yang sangat mahal. Setiap orang bisa menulis kapan saja dan di mana saja. Tanpa ada ruang redaksi, seorang bisa menjadi jurnalis. Sulit untuk mengukur apakah tulisan itu benar-benar objektif dan jujur.

Instrumen yang bisa digunakan untuk mengukur adalah penulis itu sendiri. Hanya dia sebagai penulis yang mengetahui apa yang ditulisnya. Kejujuran dipertaruhkan atas apa yang telah dia tuliskan. Pada hari-hari ini kita harus membangun kejujuran. Menulis dengan penuh kejujuran agar tidak hanya muncul caci maki. Kejujuran menulis itulah yang akan menghapus cemoohan kampret, cebong, dungu, otak dangkal, dan lain-lain.

Kejujuran itu bisa kita mulai dari sendiri. Misal, saat kita mau menulis di blog ini, sudahkah kita membaca. Atau kita asal menulis saja, tanpa mencari tahu dulu dari sumber lain. Lalu kita seenaknya saja menulis apa saja tentang orang lain. Kita menulis dengan gaya penuh emosi dan keperpihakan.

Misal kita pendukung Pak Jokowi atau Pak Prabowo, mau menulis untuk mendukungnya. Pertanyakan pada nurani sebelum menulis. Sudahkah membaca atau meriset sebelum mendukung sang paslon. Kita mendukung sang paslon berdasarkan apa dan dari mana sumbernya. Mungkinkah kita hanya mendukung paslon hanya dengan informasi berita-berita sampah di media sosial.

Berangkat dari kondisi di atas, maka kejujuran kita boleh digugat. Terkadang, kita menulis hanya berdasarkan emosi sesaat. Tak pernah berusaha mencoba meriset atau minimal membaca untuk mencari informasi yang benar. Kita hanya ikut-ikutan menulis untuk mendukung salah satu paslon, tetapi kita tak paham apa yang kita tuliskan.

Menjadi patologi tulisan, jika kita menulis tujuannya adalah emosi. Kita termakan oleh propaganda bohong dalam media sosial maupun media televisi. Jika ada kabar tentang orang lain, entah itu berita baik atau buruk, seharusnya kudu tabayyun (cek dan ricek). Setelah itu, dengan penuh semangat menulis dengan penuh kejujuran.

Tulisan yang ditulis dengan kebohongan, tidak ada manfaatnya. Percayalah, tulisan tanpa kejujuran tidak akan bermakna apa-apa bagi pembaca. Tulisan tanpa kejujuran tak akan pernah masuk dalam hati para pembaca. Kejujuran yang dicampakkan akan membuat negara ini semakin chaos (kacau).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun