Mohon tunggu...
Mas Gagah
Mas Gagah Mohon Tunggu... Dosen - (Lelaki Penunggu Subuh)

Anak Buruh Tani "Ngelmu Sampai Mati"

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengarang, Kewajiban Siapa Sih?

24 Januari 2019   14:22 Diperbarui: 24 Januari 2019   14:25 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya paham, tidak mudah untuk mengajak anak mencintai membaca. Mengharapkan dari pendidikan di sekolah atau kampus, sepertinya juga sulit. Pendidikan di sekolah atau kampus sering kali hanya mengajarkan menjawab soalan hafalan. Bukan soalan yang sifatnya kritis atau analitis, misalnya di tingkat universitas.

Ada sekolah atau universitas yang memang tidak menganjurkan muridnya untuk membaca buku. Tidak ada tata tertib atau kode etik yang mewajibkan murid harus membaca buku. Jika ada, biasanya hanya pada pelajaran Bahasa Indonesia.

Mitos yang muncul kemudian, pada pelajaran Bahasa Indonesia itulah murid diajarkan untuk bisa mengarang bebas. Meskipun kita paham, jam pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah yang diberikan tidak mencukupi.

Saya sendiri masih ingat betul, pelajaran mengarang hanya diberikan saat sekolah dasar. Pelajaran mengarang tersebut saya dapatkan saat kelas 1-4 sekolah dasar. Setiap ada THB (test hasil belajar) bahasa Indonesia, ada namanya ujian mengarang. Waktu itu saya dan teman-teman harus menulis karangan bebas dengan huruf bersambung.

Pada saat masuk di SMP atau SMK, sudah tidak lagi saya dapatkan pelajaran mengarang. Pelajaran Bahasa Indonesia hanya bersifat teoritis. Apalagi pelajaran selain Bahasa Indonesia, gurunya tidak menganjurkan kami untuk menulis.

Pelajaran mengarang sudah tidak dianggap penting lagi. Tidak juga ada kewajiban membaca buku sampai saya lulus SMK. Jikapun ada, hanyalah bersifat anjuran dari guru karena akan ada ulangan harian.

Bahasa Indonesia akhirnya didaulat bisa menghasilkan manusia yang bisa membaca dan mengarang. Mata pelajaran lain kemudian merasa tidak harus bertanggung jawab dalam hal itu. Pokoknya, mengarang itu menjadi hak milik mata kuliah bahasa Indonesia yang lain tidak usahlah.

Pada tingkat universitas, program studi yang diberikan tanggung jawab untuk menghasilkan manusia mengarang adalah jurusan sastra. Kalau sudah kuliah jurusan sastra, kita anggap mahasiswa itu pandai mengarang. Misalnya mengarang cerpen, puisi, atau novel. Kuliah jurusan sastra inilah yang diberikan label penghasil manusia yang jago menulis sastra atau yang sejenisnya.

Progam studi lain yang bukan sastra pada akhirnya tidak mewajibkan mahasiswa untuk mengarang. Mungkin agak aneh jika kita mendengar mahasiswa jurusan Teknik Kimia menulis puisi. Kita mungkin juga merasa lucu jika melihat mahasiswa jurusan politik menulis cerpen atau novel.

Kelucuan itu muncul, selama ini kita mendewakan pelajaran Bahasa Indonesia atau jurusan sastra sebagai satu-satunya jalan untuk menghasilkan manusia yang pandai pengarang. Mata kuliah lain atau jurusan lain di universitas tidak merasa memiliki kewajiban menghasilkan manusia yang pandai mengarang.

Dengan kondisi di atas, hasilnya indeks pembangunan manusia Indonesia sangat rendah yaitu nomor 133 dari 188 negara. Kemampuan membaca manusia Indonesia juga rendah yaitu nomor 60 dari 61 negara.

Wallahu a'lam bi shawab

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun