Tentang Politik Citra
Bagaimana membangun sumber daya manusia Indonesia?
Pertanyaan di atas sampai sekarang belum juga terjawab. Padahal sudah lebih dari 70 tahun Indonesia merdeka. Sudah berganti-ganti kepemimpinan negara, kondisinya tidak banyak berubah. Malahan kondisinya semakin menurun.
Satu sisi kita menikmati kemajuan era informasi. Dunia telah mencapai titik luar yang biasa mengenai limpahan informasi. Indonesia juga ikut masuk pada wilayah informasi. Hidup kita berada di tengah-tengah banjir informasi.
Akan tetapi, dengan banyak limpahan informasi, belum menjadikan bangsa kita bisa mandiri sejarah ekonomi dan politik. Bangsa kita seakan belum menghasilkan sumberdaya manusia yang sehebat BJ Habibie. Lebih jauh lagi, sumber daya manusia kita masih jauh kalah dengan Malaysia. Padahal, negeri Jiran dulu mendatangkan guru dari Indonesia untuk mengajar di sana.
Apa yang salah dengan pengelolaan sumber daya manusia Indonesia?
Sejak dulu, setiap pergantian kekuasaan, yang diurus adalah pembangunan gedung atau infrastruktur. Kita belum pernah mendengar pemimpin yang lebih mengutamakan pembangunan sumber daya manusia. Ide dan pemikiran manusia di negeri ini tidaklah penting dibandingkan dengan bangunan phisik. Padahal, tanpa pembangunan sumber daya manusia, pembangunan gedung tidak akan bermanfaat apa-apa.
Maka, gagasan politik kita hari ini nampak remeh temeh. Partai politik atau timsesnya berdebat pada hal-hal yang remeh temeh. Mereka berdebat bukan melihat pada visi, misi, dan gagasan. Inilah potret hasil pendidikan kita selama ini.
Paradoks yang terjadi hari ini, kontestasi politik kebangsaan kita saling serang tanpa menggunakan argumentasi ilmiah. Hal-hal yang diperdebatkan tidak seakan tidak ada manfaatnya untuk kepentingan bangsa ini. Dari soal sontoloyo hingga kampret dan cebong, itulah identitas politik kita hari ini.
Saya sendiri merasa jengah dan dongkol, jika melihat para capres hanya pencitraan. Para calon pemimpin seperti ini, yang suka citra saja, kelak akan menghancurkan bangsa ini. Dia adalah orang yang tidak bisa membangun bangsa, tetapi dikonstruksi citranya agar terlihat menawan di hati masyarakat.
"Ini berarti politik pencitraan bukan tanpa masalah. Masalahnya adalah pencitraan yang pada mulanya hanyalah “alat” menyampaikan pesan dalam komunikasi politik, dalam kenyataannya, pencitraan justru menjadi “pesan” itu sendiri. Dengan politik pencitraan, masyarakat akan sulit membedakaan antara kebenaran dan kebohongan, kenyataan yang murni dengan kenyataan sebagai hasil rekayasa." (https://voxntt.com)
Bangsa ini butuh pemimpin yang siap mati untuk bangsanya. Bukan pemimpin negara yang suka pamer citra. Sekali lagi, bangsa ini tidak butuh orang seperti itu. Bangsa ini membutuhkan seorang pemimpin yang bisa membayar hutang yang nilaianya 4 ribu trilyun Rupiah. Negara membutuhkan pemimpin yang siap mengganyang negara bangsa lain yang ingin menyongsong kedaulatan Indonesia.
Saya tidak peduli, apakah dia Prabowo atau Jokowi. Jika dia tidak mampu menyejahterakan rakyat Indonesia, tak pantas dipilih sebagai presiden. Capres yang tidak mampu menegakkan keadilan di negeri ini, tak layak dipilih. Saya tidak peduli, apakah dia Prabowo atau Jokowi.
Jika pemimpin yang dipilih kelak hanya yang senang melakukan selfie pencitraan, maka tunggu sajalah kehancuran bangsa ini.
Salam Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H