Dalam beberapa pengantar bukunya, saat Cak Nun ditanya, "Kenapa menulis?" Maka dia menjawab "Saya menulis sebab tidak mengerti apa-apa".
Saat ditanya, "Kenapa saya ingin tetap menulis?" Jawaban saya sama seperti jawaban Cak Nun, "Saya menulis sebab tidak mengerti apa-apa"
Saya ingin menulis yang bukan hanya memberikan informasi. Tetapi menulis untuk menggedor-menggedor nurani orang lain. Saya ingin mengajak orang lain memberikan makna tentang hidup ini. Menggunakan termin Prie G S dalam buku "Catatan Lelaki Penggoda". Saya juga ingin seperti dia "Menggoda hati orang lain agar menangisi tentang kehidupan."
Dalam setiap jalan hidup kita, banyak kisah yang bisa dituliskan. Menuturkan hikmah perjalanan kehidupan untuk bersama-sama direnungi. Saat saudara sebangsa kita sudah lebih senang caki maki untuk menghancurkan.Â
Menulis adalah mengumpulkan kepingan-kepingan kebangsaan yang berserakan. Mengumpulkan serpihan Kebhinekaan kita yang justru saling menghancurkan.Â
Saya ingin tetap menulis, meskipun kelak saya sudah mati. Sebab saya mengerti, Â menulis adalah cara mengetuk perasaan orang lain. Meskipun tak selamanya, tulisan itu berhasil masuk dalam ruang-ruang hati mereka. Saya ingin tetap menulis agar suatu saat orang lain juga mau menulis.Â
Menulis untuk mengajak orang lain berbagi kebahagiaan.Â
Saat membaca buku-buku Hamka, sepertinya Hamka hadir di depan saya. Terkadang saya tertawa. Terkadang saya menangis. Hamka meskipun telah mati, dia masih bercerita tentang falsafasah hidup. Dia masih mengajarkan kisah cinta lewat "Tenggelamnya Kapal Van der Wijck".
Hamka memberikan sebuah nasihat. Penjara adalah tempat yang paling nyaman bagi penulis. Di penjara tempat dia dibuang, justru Karya Besarnya Tafsir Al-Azhar selesai dituliskan.Â
"Tidak ada satu orangpun yang bisa membunuh pikiranmu. Meskipun tubuhmu dibuang dalam penjara di pulau yang tak berpenghuni", Hamka seolah-olah menggedor kejumudan pikiran dan hati saya.
Saat membaca buku-buku Pram, seakan sosoknya hadir di hadapan saya. Pram bercerita tentang pahit, getir, dan sakitnya penjara di Pulau Buru. Tapi Pram mengajarkan pada saya:
"Jangan pernah takut penjara. Tubuh bisa dipenjara, tetapi pikiranmu tidak akan pernah bisa dipenjara oleh siapapun. Kecuali oleh dirimu sendiri"
Saat Membaca buku-buku Cak Nun, terkadang saya tertawa sendiri bagaikan orang gila. Sering saya terbawa emosi, mendengar tuturan dari Cak Nun. Sudah lama pemimpin negeri ini membunuh keadilan bagi rakyatnya sendiri. Cak Nun mengajak saya untuk merenung, bahwa negeri ini belum memiliki pemimpin yang menjadikan rakyat sejahtera.
Saat membaca tulisan Prie G S dalam buku "Waras Di Jaman Edan", saya sering meneteskan air mata. Lewat tulisannya, Prie G S memberikan nasihat, bahwa anak-anak dan istri adalah tempat kembali pulang. Rumah adalah tempat untuk merajut semangat yang hilang.
Lewat Prie G S "Waras di Jaman Edan" saya jadi mengerti bahwa kita sebagai manusia kita selalu melakukan salah terhadap diri sendiri dan bahkan pada anak dan istri.
Saya ingin menulis seperti mereka. Menulis untuk membangkitkan semangat hidup orang lain. Menulis yang menginspirasi orang lain, mungkin seperti itu. Menulis agar seolah-olah saya hidup di hadapan orang lain. Meskipun kelak saya sudah mati, tubuh telah kembali ke dalam tanah.
Saya ingin menulis untuk agama, keluarga, dan bangsa saya. Menggedor-gedor perasaan orang lain, agar mau berbagi. Hidup ini tidak akan indah tanpa adanya orang lain. Tulisan ini inipun tidak akan ada maknanya tanpa kehadiran orang lain.
Mari menulis untuk menggedor-gedor nurani orang lain.
Bangka 3 A, Jakarta Selatan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H