Menulis Dengan Mesin Tik Manual
Saya pernah belajar mengetik menggunakan mesin ketik manual saat belajar di SMK. Tidak mudah menggunakan mesin ketik manual. Jika salah, harus mengulang mengetik dari awal. Membuang kertas yang tadi salah. Untungnya setelah itu, di hadapan ada saya ada komputer. Pada saat itu juga sudah mulai ada internet.
Jika mengingat mesin ketik itu, saya membayangkan bagaimana kerja keras orang dulu untuk menghasilkan tulisan. Membutuhkan mentalitas yang sabar dan tentu saja pantang menyerah. Itulah sekilas budaya menulis orang dahulu. Sarana dan prasarana yang terbatas, tidak menyurutkan usaha mereka untuk menulis.
Kisah lain adalah Buya Hamka yang menuliskan Tafsir Al Azhar waktu di penjara. Membayangkan saja saya tidak berani. Saya tidak tahu bagaimana perjuangan Hamka menghasilkan karya-karyanya. Semua tulisannya sampai sekarang tidak lekang oleh zaman.
Masih banyak tokoh-tokoh lain yang menjadi inspirasi. Keterbatasan sarana tidak membuat mereka pantang menyerah. Berbagai jenis buku sampai sekarang masih bisa kita baca. Pemikiran mereka melintasi jejak ruang sejarah. Potret budaya menulis yang produktif secara kualitas dan kuantitas itulah yang harus kita contoh saat ini.
Tubuh Bisa Dipenjara Tapi Pemikiran Tidak
Tubuh boleh di penjara, tetapi pemikiran tidak bisa di penjara, kata Prof Rocky Gerung saat berbicara di hadapan Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya.
Pemikiran Hamka dan Pram tidak terpenjara sampai sekarang. Saat tubuh dua tokoh ini telah menyatu dengan tanah. Pemikiran mereka selalu menginspirasi orang-orang di jaman millennial saat ini. Orang terdahulu selalu lebih hebat dibandingkan kita dalam menuliskan ide-ide pemikiran kita.
Saat ini kita hanya mampu mengembangkan teknologi informasi. Tetapi terkadang kita gagal menghasilkan pemikiran yang baru. Buku-buku yang dihasilkan masih jauh kualitasnya dibandingkan dengan karya-karya di jaman Hamka dan Pram.
Suatu pagi saya mencari bahan sebagai tambahan untuk referensi penelitian Tesis. Kaki saya menginjakkan pada perpustakaan Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sampai di dalam ruang perpustakaan, mata saya dimanjakan dengan berbagai karya ilmiah dari tahun 70-an.
Mata saya tertuju pada tesis dan disertasi yang telah dicetak sangat tebal. "Masyaallah, orang-orang dulu memang hebat dalam menghasilkan karya ilmiah" Batin saya dengan penuh kekaguman.
Sekarang kita bisa dengan mudah mendapatkan jurnal melalui perpustakaan online. Tidak perlu lagi harus jalan ke perpustakaan jauh. Hanya dengan hitungan detik, ribuan katalog buku atau jurnal sudah di hadapan kita. Semua kemudahan itu, justru membunuh kualitas pemikiran kita.
Gagal Memanfaatkan Limpahan Informasi
Karakter sesuatu yang instan, mungkin itulah yang membunuh keilmuan kita. Berbagai kemudahan sumber bacaan, kemudahan alat misal laptop, justru tidak membuat kita produktif menghasilkan tulisan sekelas Hamka dan Pram. Ketersediaan informasi yang melimpah justru membuat produktivitas tulisan kita secara kuantitas dan kualitas belum bisa melebihi buku-buku yang dituliskan oleh Hamka dan Pram.
Tulisan ini bukan hendak mengesampingkan hasil teknologi yang telah dibuat. Segala pencapaian teknologi informasi ini sesungguhnya juga memberikan berbagai kemudahan. Tetapi, segala kemudahan itu sejalan dengan karakter kelimuan kita.
Jangan sampai dengan kemudahan yang diberikan oleh teknologi, membuat kita menjadi malas. Kita harus menjadi masyarakat yang memiliki budaya etos kerja yang tinggi. Membaca, memahami, menganalisis, mensintesis, kemudian menuliskan hasil penelitian kita, itulah ciri peradaban yang telah dicontohkan oleh Hamka dan Pram.
Bangsa yang besar adalah jika masyarakatnya memiliki semangat kerja dan belajar yang tinggi. Tanpa kerja dan belajar dengan disiplin, bangsa kita masih akan tertinggal dengan bangsa lain. Kekayaan alam kita tidak dapat kita oleh sendiri. Yang kemudian diolah oleh bangsa lain dan merekalah yang menikmatinya.
Selamatkan keadaban budaya ketimuran Indonesia dengan terus membaca dan menulis.
Salam Indonesia.