Mohon tunggu...
Mas Gagah
Mas Gagah Mohon Tunggu... Dosen - (Lelaki Penunggu Subuh)

Anak Buruh Tani "Ngelmu Sampai Mati"

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menagih Janji Pemerintah untuk Perbaikan Kesejahteraan Guru Honorer

17 Oktober 2018   19:54 Diperbarui: 17 Oktober 2018   20:05 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: viva.co.id

Saya ingin menulis lagi tentang kondisi pendidikan di Indonesia. Hal yang saya ingin tuliskan adalah tentang guru yang dikatakan jauh sejahtera. Hari-hari ini jika ada guru honorer yang mogok, mereka yang disalahkan. Pemerintah malahan memberikan ancaman bagi guru yang mogok akan diberikan sanksi.  

Ridwan Hasan Saputra dalam tulisan yang berjudul "Suprarasional, Solusi Guru Mogok" mengawali tulisan dengan menjelaskan bahwa ribuan guru mogok di Indramayu Jawa Barat. Para guru honorer ini mulai mogok mengajar mulai tanggal 15 Oktober 2018. Mogok mengajar ini sebagai bentuk protes terhadapa kebijakan pemerintah yang tidak kunjung memberikan kesejahteraan pada mereka. (Koran Republika, 17 Oktober 2018).

Kondisi seperti ini sepertinya selalu terulang dalam konteks pendidikan di Indonesia. Guru honorer selalu saja mendapatkan perlakuan tidak adil. Jika mereka menuntut kesejahteraan dan mogok mengajar, pemerintah malahan menghukumi mereka. Guru honorer ini kemudian diancam akan dipecat pula.

Membaca kondisi guru honorer di Indonesia seperti ini, rasa-rasanya saya ingin marah. Tetapi saya tidak tau akan marah pada siapa. Pun jika saya marah pada pemerintah, belum tentu kemarahan tersebut akan menyelesaikan masalah.

Sebagai seorang pendidik, saya sendiri merasa pemerintah memang belum menghargai kesejahteraan guru maupun dosen. Seorang pendidik harus melaksanakan kewajiban mencerdaskan bangsa di tengah-tengah keterbatasan. Nasib seorang pendidik tak ubahnya seperti intelektual yang menjadi budak pendidikan di negerinya sendiri.

Misal yang terjadi di Tangerang, selain ketidakjelasan nasibnya yang terkatung-katung. Jumlah guru tenaga honorer saat ini malahan dikurangi jam belajarnya. Jika dirata-ratakan, honornya hanya sampai pada angka Rp 800 ribu per bulan. (http://wartakota.tribunnews.com)

Bahkan ada seorang guru honorer yang ingin membeli sepatu saja tidak bisa. Sebagai contoh adalah Sumiyati sudah 20 tahun mengabdikan diri sebagai guru honorer di pemerintah, namun nasibnya sampai sekarang masih memprihatinkan. Honor yang diterima sebagai guru berkisar Rp 300.000-Rp 500.000. (http://www.tribunnews.com)

Kondisi guru honorer yang mogok ini seperti pepatah "Sudah jatuh tertimpa tangga pula". Tuntutan kesejahteraan mereka justru berbuah pahit. Sepertinya tidak ada yang bisa membela tuntutan mereka. Dengan beban kerja yang sama dengan guru PNS, Apakah mereka secara kompetensi mengajar tidak seperti guru PNS? Jika itu permasalahannya, apa ukuran yang bisa dipakai untuk menghitung?

Jika masalahnya ada kompetensi guru honorer yang di bawah guru PNS, solusinya pemerintah harus memberikan peningkatan pendidikan. Pemerintah harus memberikan anggaran agar para guru honorer ini mau meningkatkan kompetensi pendidikannya. Misalnya pemerintah memberikan beasiswa melanjutkan pendidikan S2 atau S3 bagi guru honorer. Bisa juga dengan usaha lain yang masih dalam usaha meningkatkan kompetensi keilmuan guru honorer.

Maka, wajar jika pendidikan di Indonesia saat ini masih carut marut. Sedangkan kesejahteraan seorang guru saja terabaikan. Negara kita masih tidak berpihak pada kehidupan layak bagi guru. Permasalahan ini sungguh menjadi catatan buram pendidikan Indonesia.

Ridwan Hasan Saputra dalam kesimpulan tulisannya menjelaskan agar selesai masalah guru honorer ini. Pemerintah harus memberikan penghargaan atas kerja keras dan pengabdian para guru honorer selama ini. Solusi yang mungkin dapat diterapkan adalah memenuhi keinginan para guru honorer untuk mendapatkan hak-hak kesejahteraan. Tetapi dengan catatan harus ada pengawasan dan evaluasi yang tepat dari pemerintah atas pelaksanaan kebijakan tersebut. (Koran Republika, 17 Oktober 2018).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun