Mengukur tingkat kemiskinan dalam masyarakat biasanya dengan dua cara yaitu ekonomi mikro dan ekonomi makro. Pemerintah sering kali menggunakan ukuran statistik untuk membuat laporan tentang kemiskinan.
Dengan menggunakan ukuran itu, sering laporannya baik. Ekonomi di Indonesia sedang tidak mengalami permasalahan. Angka itu juga menutupi data kemiskinan yang ada di Indonesia. Apalagi kemiskinan yang ada di lingkungan urban khususnya Jakarta.
Saya tidak hendak menyalahkan ukuran dari BPS. Tentu mereka sudah bekerja sesuai dengan keahliannya. Melakukan survei untuk memetakan dan menghitung tingkat kemiskinan di Indonesia. Yang menjadi masalah adalah dalam menerbitkan laporan negara sering kali tidak jujur.
Laporan angka kemiskinan yang tertulis sering kali berbeda dengan realitas yang terjadi di masyarakat. laporan angka kemiskinan seakan jauh berbeda angkanya dengan jumlah yang ada dalam masyarakat. kejujuran angka kemiskinan menjadi harga yang sangat mahal.
Saya tinggal di daerah Jakarta Selatan. Setiap hari Jumat jalan keliling beberapa ruas jalan. Betapa kaget, setiap hari Jum'at itu banyak peminta-minta di beberapa ruas jalan. Saya tidak mengerti apa yang melatar belakangi mereka keluar hari jumat.
Setelah beberapa kali saya selidiki. Para pengemis tersebut berkumpul di beberapa rumah. Menurut penuturan beberapa pengemis, sang punya rumah memberikan sedekah setiap hari Jumat. Jadilah, setiap jumat para pengemis itu datang ke rumah. Dengan harapan mendapatkan amplop yang jumlahnya kadang tidak lebih dari dua puluh ribu rupiah.
Poin saya adalah bukan pada pengemis tersebut. Meskipun saya menarik nafas panjang melihat kondisi sosial tersebut. Sebab, hampir semua pengemis itu adalah wanita dan anak-anak. Mereka dengan wajah lusuh dan pakaian kumal terpaksa menjadi pengemis.
Pengemis yang berkeliaran di hari Jumat tersebut merupakan bukti. Masih banyak orang miskin di Indonesia. Jumlah yang saya temui hanya di beberapa sudut gang kecil Jakarta. Pada sudut jalan lain seluruh wajah ibu kota sering kita jumpai realitas kemiskinan yang sama.
Wajah masyarakat kita masih banyak yang dikatakan miskin secara ekonomi. Jika menggunakan kasus ini tentu berbeda dengan catatan BPS atau laporan Menteri Sosial. Masalahnya, pemangaku kepentingan hanya melihat dari hitungan mesin. Kemudian membuat generalisasi bahwa kemiskinan di Indonesia sudah berkurang.
Realitas sosial di lapangan justru memberikan bukti berbeda. Kondisi ini harusnya menjadi catatan bagi pemerintahan. Jangan-jangan nanti pengemis di datangi saat kampanye. Mereka dijanjikan kesejahteraan hidup layak dari segi sandang, pangan, dan papan.
Tetapi, setelah pemilu selesai, kondisi pengemis itu tidak berubah. Mereka tetap miskin dan terpaksa menjadi pengemis. Para politikus tadi menikmati kursi empuk, makanan enak, dan ruang dingin ber-AC.