Mohon tunggu...
Mas Gagah
Mas Gagah Mohon Tunggu... Dosen - (Lelaki Penunggu Subuh)

Anak Buruh Tani "Ngelmu Sampai Mati"

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

"Politik Wasathiyah" di Tengah Duka Palu dan Donggala

29 September 2018   13:07 Diperbarui: 29 September 2018   14:27 700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengapa Politik Washatiyah

Istilah Wasathiyah di sini saya ambil dari istilah Islam Wasathiyah. Istilah ini nampaknya sedang populer di Indonesia beberapa tahun ini. Seharusnya, istilah washatiyah tidak hanya digunakan untuk termin Islam. Tetapi harus ditempelkan juga pada seluruh bidang kehidupan di Indonesia. Khususnya bidang yang sedang memanas yaitu politik.

Politik washatiyah perlu, sebab dalam kontestasi pesta demokrasi Indonesia sepanjang sejarahnya. Setiap kejadian mudah ditunggangi oleh kepentingan politik praktis. Tidak hanya demo Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) SI yang kemarin dituduh ditunggangi oleh kepentingan politik. Tim Sukses setiap calon Presiden tentu sudah memasang mata. Setiap kejadian akan dipilih dan kemudian dimanfaatkan sebagai kendaraan politik.

"Istilah wasathiyah kini sedang jadi primadona. Di mana-mana, di seminar-seminar, diskusi, sarasehan atau pertemuan-pertemuan lain-baik nasional maupun internasional, yang membahas terorisme, radikalisme, dan istilah-istilah lain tentang kelompok garis keras, wasathiyah dikupas tuntas dari berbagai sisi. Wasathiyah seolah telah menjadi obat mujarab untuk berbagai penyakit yang meresahkan masyarakat internasional." (republika.co.id)

Dengan termin di atas, dapat dikaitkan dengan pelaksanaan pesta demokrasi Indonesia saat ini. Politik Wasathiyah adalah berpolitik menggunakan cara-cara yang damai, tidak radikal, dan tidak menebar teror ke masyarakat. Politik Wasathiyah harus ada untuk menyelamatkan sosial kebangsaan yang beberapa waktu terakhir terpecah belah, saling caci maki, dan saling persekusi.

Kabar baiknya, beberapa hari yang lalu telah kedua pasangan capres telah berikrar/berjanji berpolitik secara damai. Mereka telah telah sepakat agar pemilihan umum akan datang dilaksanakan secara damai. Meskipun hal itu akan sulit terjadi. Pasalnya setiap dalam setiap kontestasi politik, pemenangannya kadang menghalalkan segala cara.

Maka, politik yang harus dihadirkan adalah politik jalan tengah (wasathiyah). Politik ini tidak radikal dan tidak ekstrim kanan maupun kiri. Politik Washatiyah merupakan seni untuk merebut suara rakyat dengan cara-cara yang damai.

Dahulu pada masa Orde Lama, pernah dikenal dengan pemilu yang Luber Jurdil. Pada titik Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia, serta Jujur dan adil ditambah lagi washatiyah inilah politik harus diperankan. Maka, pada perhelatan demokrasi saat ini, politik washatiyah merupakan keharusan agar tercipta keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Bencana Palu dan Donggala, Harus Netral dari Politik

Jika dikaitkan dengan bencana di Palu dan Donggala, politik washatiyah adalah berpolitik secara netral. Para politikus dilarang memanfaatkan derita masyarakat yang terkena bencana sebagai tunggakan politik. Sebab sering kali dan mudah ditemukan, di tengah bencana menjadi lahan subur tumbuhnya politik praktis

Salah satu contoh adalah menggunakan anggaran negara untuk membantu masyarakat yang terkena bencana. Tetapi, bantuan diberikan stempel nama pribadi. Sang tokoh politik menjual nama politiknya dengan uang rakyat.

Tidak hanya uang negara, banyak bantuan sosial yang kemudian diberikan stempel pribadi. Seolah-seolah bantuan tersebut adalah murni dari sang tokoh calon presiden. Padahal, uang bantuan untuk korban bencana, secara keseluruhan biasanya berasal dari sumbangan sosial masyarakat.

Tidak hanya dengan uang. Capres juga menggunakan pencitraan untuk menarik simpati korban gempa. Dia datang ke tempat-tempat bencana. Di sana, tokoh tersebut seolah-oleh dekat dengan masyarakat. Tim telah menyiapkan bala bantuan kreator media. Hasil liputan yang telah disetting ini kemudian disebarkan oleh buzzer.

Hasilnya, sang tokoh calon presiden dikonstruksi citranya sebagai orang yang sangat peduli dengan korban gempa. Di sinilah kepentingan politik praktik secara tidak langsung hadir. Kampanye politik yang justru menggunakan citra derita korban bencana alam.

Masyarakat Palu dan Donggala Butuh Bantuan

Jadi, masyarakat yang terkena bencana, tidak membutuhkan citra politik. Yang mereka butuhkan adalah bantuan secara materi dan dukungan psikologis. Di tengah bencana, tentu mereka butuh sandang, pangan, dan papan.

Pemerintah, tokoh politik, masyarakat, serta seluruh elemen bangsa harus bekerja sama. Memberikan bantuan apa saja yang dapat diberikan. Agar saudara-saudara kita di Sulawesi dapat direlokasi dan dievakuasi. Kebutuhan sandang, pangan, dan papan segera terpenuhi.

Kepentingan politik praktis yang penuh citra palsu, harus dihindari. Semua calon presiden harus menggunakan politik washatiyah. Jika, ramai-ramai tagar (#) 2019 ganti presiden maupun tagar (#) 2019 tetap dua periode saja dilarang. Seharusnya kampanye di tengah-tengah bencana bumi Sulawesi ini harus dilarang juga.

Semoga para politikus dan seluruh rakyat Indonesia memiliki sikap politik wasathiyah.

Salam Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun