Mohon tunggu...
Mas Gagah
Mas Gagah Mohon Tunggu... Dosen - (Lelaki Penunggu Subuh)

Anak Buruh Tani "Ngelmu Sampai Mati"

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Budaya Kita Hanya Sebatas "Copy Paste", Kemudian Minus Literasi

23 September 2018   19:12 Diperbarui: 26 September 2018   01:04 2184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.plukme.com

Wajah Hoax Media Sosial Kita

Wajah media sosial kita hari ini penuh dengan adegan hoax dan kampanye tidak jelas. Maka saya menyebutnya kampanye digital hoax dalam media sosial. Terlalu banyaknya hoaxs yang beredar di media sosial membuat kita menjadi malas untuk tabayyun. Apa saja yang kita terima di media sosial diterima begitu saja tanpa ada nalar kritis.

Beberapa hari ini dan beberapa waktu yang berlalu, wajah media sosial di hp saya bersileweran tulisan-tulisan yang mendukung dua pihak capres yaitu Prabowo maupun Jokowi. Tidak tanggung-tanggung tulisan di whatsupp misalnya menjunjung capres bak dewa.

Anehnya, tulisan itu hanya anonim. Setelah saya cek lagi, tidak ada sumber penulis yang jelas. Bahkan seorang kawan menyebarkan tulisan panjang di whatsupp ini hanya diberi kata "copas" di akhir tulisan. Membaca tulisan seperti itu, saya menarik nafas panjang.

Sangat sulit untuk menghentikan hoax di wajah media sosial, jika budaya kita tidak berbenah. Sebab, budaya copas inilah yang akan menghamabat kemajuan sumber daya manusia Indonesia. Budaya copas dan minus literasi menjadi hantu menakutkan di masyarakat kita saat ini.

Masyarakat kita yang minus literasi jadi mudah termakan oleh berita bohong. Apa lagi saat pesta demorasi hampir memecah kebangsaan kita saat ini. Begitu mudah kita temui kampanye hoax di media sosial. Kita kemudian menjadi mudah terpacing emosi, mudah marah, dan caci maki sesama anak bangsa.

Masyarakat Kita Minus Literasi

Kemampuan membaca masyarakat Indonesia saat ini dapat dikatakan sangat memprihatinkan. Jika merujuk pada studi Most Littered Nation In the World yang digarap oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 , Indonesia faktanya berada di peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. (https://edukasi.kompas.com)

Tentu ada banyak faktor yang menyebabkan masyarakat kita menjadi malas membaca. Ada dua faktor paling tidak yang memengaruhi yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah dari malasnya masyarakat kita. Faktor eksternal adalah pendidikan kita memang tidak memberikan mata pelajaran membaca.

Yang paling penting juga adalah pemerintah belum memberikan fasilitas yang memadai agar masyarakat kita gemar membaca. Kondisi ini tentu membuat bangsa kita menjadi mundur dalam pembangunan sumberdaya manusia dan pembangunan ilmu pengetahuan teknologi.

Kembali menyoal seringnya budaya 'copy paste' tadi. Salah satu cara yang terbaik untuk menghentikannya adalah meningkatkan budaya literasi. Masyarakat kita harus mencintai membaca dengan benar.  Tentu tidak hanya membaca melalui media sosial, yang paling pokok adalah membaca buku-buku.

Sudah terbukti, buku-buku telah melintasi berbagai peradaban bangsa. Bahkan buku jauh lebih dulu ada sebelum internet ada. Meskipun ada media sosial, buku masih menjadi kegemaran banyak orang di seluruh dunia. Para pewaris ilmu pengetahuan menuliskan sejarahnya bukan dengan media sosial tetapi dengan buku-buku yang dituliskan dengan bulu burung.

Jangan Jadi Sarjana Google, Jadilah Sarjana Buku

Negara kita harus meluluskan sarjana buku bukan sarjana google. Kenapa sarjana google? Sebab sering ditemui karya tulis mahasiswa baik tingkat S1, S2, dan S3 berasal dari budaya copy paste. Dengan kondisi seperti ini menjadikan para sarjana kita mejadi tidak mengerti apa-apa jika dihadapkan pada permasalahan sosial, budaya, politik, ekonomi, dll.

Saya sendiri sebagai seorang pengajar merasa prihatin. Sering kali memberikan tugas makalah pada mahasiswa. Apa yang terjadi, sebagian mahasiswa hanya membuat makalah hasil plagiat dari internet. Lebih parah lagi, yang contek adalah semua makalah dari pendahuluan sampai daftar pustaka.

Pada tingkat universitas inilah, mahasiswa harus digodog agar menjadi sarjana buku. Harus ada aturan ketat dari kampus bagi yang hanya menulis dari copy paste harus kena sanksi. Sejak awal kuliah mahasiswa harus menuliskan jurnal bukan dari paste dari internet, tetapi hasil berpikir dari buku rujukan pertama.

Dengan kondisi ini, mahasiswa membuat argumen dari buku, maka akan dihasilkan ilmu pengetahuan yang orisinil. Ada ide-ide terbaru ilmu pengetahuan yang lahir dari para sarjana kita. Dengan membaca buku itulah, mahasiswa akan berpikir dengan kritis.

Semoga bangsa kita meninggalkan budaya 'copy paste' dan menjadi 'masyarakat literasi'.

Salam Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun