Hari-hari ini wilayah sosial kita seakan semua menjadi patologis. Dalam artian wilayah sosial kita seakan-akan dalam istilah jawa disebut dengan bubrah lungkrah ora karu-karuan (hancur lebur). Penyebabnya adalah kita terpecah-pecah karena pilihan politik  tanpa nalar kritis.
Semua orang menyalahkan media sosial tapi tidak menyalahkan sumberdaya manusianya (kita sendiri). media sosial hanyalah sebuah entitas untuk berkomunikasi. Adapun isinya, apakah buruk atau baik adalah tergantung kita sebagai masyarakat Indonesia.
Wilayah sosial kita akhirnya pada hari ini dan hari-hari kedepan menjadi sangat menakutkan. Akhlak sosial ketimuran kita menjadi garang dan berubah menjadi biadab. Setiap hal yang sepele saja akhirnya memunculkan caci maki dan saling menghujat di wilayah daring.
Coba sejenak kita tengok media sosial kita hari ini, isinya tidak lagi ramah seperti saat dulu hanya ada Friendster (media sosial jaman old). Saat baru ada Friendster dulu, kita menggunakannya untuk mencari kenalan. Bahkan saking senangnya bisa menggunakan Friendster dan Mir-C saya berhari-hari di depan internet untuk mencari mencari pacar.
Lalu media sosial sekarang ini isinya hoak, sampah, dan perdebatan politik yang tidak ada manfaatnya. Sekali lagi media sosial kita menjadi wilayah yang sarat dengan patologis sosial. Apakah berhenti di media sosial patologi itu? Tentu tidak, perdebatan politik itu kemudian merembet masuk ke wilayah luring (luar jaringan).
Warung kopi yang sejatinya tempat untuk melepas lelah dan bersenda gurau dengan kawan, malahan menjadi arena kontestasi perdebatan mengenai siapa yang berhak menjadi presiden dan wakil presiden. Begitu juga di pasar-pasar dan warung-warung nasi tempat saya makan, semuanya membicarakan politik.
Kabar baiknya, masyarakat kita sudah ikut menentukan nasib bangsanya dengan aktif sebagai pemilih. Sebagian masyarakat sudah mulai peduli bahwa pemilihan umum di negara kita harus dilaksanakan. Terlepas dari beberapa kelamahan pada tiap lima tahunan pesta demokrasi ini dilaksanakan.
Akan dibawa ke mana arah kebangsaan kita di masa depan? Coba tengok pejabat kita saat ini, hanya mementingkan citra di media tanpa menghasilkan apapun untuk negara ini. Pejabat kita ini jago debat dan berteriak di media (misal televisi), adu mulut sana ini, tapi apa yang telah mereka sumbangkan untuk negara ini.
Bisa jadi kondisi patologis di masyarakat kita ini memang cerminan dari pejabat negaranya. Jika pejabat yang menjadi teladan saja memberikan contoh buruk, mungkin saja masyarakatnya mengikuti pejabatnya. Kondisi kebangsaan kita pokoknya semakin terbelah yang semakin menakutkan.
Apa saja bisa menjadi bahan untuk membela kepentingan politik. Analogi sederhana perdebatan politik kita hari ini misal "Jika ada orang menangis yang disalahkan Jokowi. Tetapi jika ada anak berhasil diredam tangisnya itu hebatnya Jokowi. Jika ada orang hilang yang disalahkan Prabowo. Jika ada orang hilang berhasil ditemukan itulah hebatnya Prabowo".
Semua hal dari makan di warung saja bisa di konstruksi untuk menaikkan citra ke dua tokoh tersebut. Bisa jadi nanti calon presiden buang angin (kentut) saja dikonstruksi di media sosial kemudian dijadikan alat untuk menaikkan pamor.