Ada hikmah di setiap jalan yang saya lalui. Agar tidak hilang, cara terbaik adalah merangkainya menjadi sebuah tulisan. Menuliskan kisah hikmah agar menjadi pelajaran buat orang lain. Menulis adalah cara terbaik mengecap rindu yang belum menemukan tempat bernaung.
Hari-hari ini saya melalui jalan Terminal Lebak Bulus-Ciputat. Melangkahkan kaki yang terkadang berat agar studi Master saya cepat selesai.
Pagi kemarin saya mengecap kopi di sudut jalan pinggir terminal Lebak Bulus. Ditemani angkot lalu lalang ditambah dengan debu-debu berterbangan.
Menyesap segelas dengan harga tiga ribu rupiah. Bagi saya menyesap kopi di pinggir jalan terasa nikmat. Tidak perlu harus ke kafe yang harganya mahal. Justru di pinggir jalan itu saya menemukan berbagai hikmah. Bisa bercengkerama dengan orang-orang marginal yang kadang diabaikan oleh negara. Kaum marginal yang hanya bisa berjualan di pinggir jalan sebab regulasi tidak memihak pada kemiskinan mereka.
Untuk menikmati segela kopi, saya tidak perlu pergi ke cafe yang menjual kopi yang harganya ratusan ribu rupiah.
Bagi saya, kopi yah tetap kopi rasanya pasti tetap sama. Kopi yang harganya tiga ribu sudah berasa nikmat banget. Menyesap kopi di pinggir jalan sembari bercanda dengan sesama kaum marginal. Menikmati kopi di pinggir jalan sebuah kenikmatan yang tidak kalah dengan nongkrong di cafe mahal.
Saya mengenlanya, sebut saja ibu penjual kopi di pinggir jalan itu 'ibu Minah'. Wajah tuanya tampak tegar menjalani beban hidup yang sulit.
"Harus-harus hati-hati sama sat pol pp mas". Dia membuka pembicaraan saat saya tanyakan apakah aman berjualan di pinggir jalan. Wajahnya tirus meski lelah tetap semangat berjualan kopi dengan gerobak kecil. Panas menyengat tidak ia pedulikan sepanjang hari itu.
"Sruput sruput hem..", dua bola mata saya langsung melek. Padahal tadinya di dalam bis sulit dibuka. Aroma kopi itu telah masuk dalam hidung. Selain saya beberapa orang juga nampak memesan kopi pada ibu Minah.
Mereka adalah pekerja bangunan, tukang ojek, sopir angkot, sopir taksi, dan orang-orang marginal lain. Orang yang mencoba bertahan hidup di pinggir terminal Lebak Bulus yang kadang kejam. Mereka harus bertahan dengan negara yang menelantarkan mereka.
Sosok ibu Minah contohnya, bagi saya beliau adalah pahlawan. Ibu Minah adalah pahlawan laiknya Sri Mulyani sang Menteri Keuangan Indonesia. Mungkin orang akan lebih mengenal orang-orang semisal Ibu Sri Mulyani.
Orang-orang semacam ibu Minah lebih banyak dianggap sampah negara. Mereka yang berjualan dipinggir jalan itu dianggap tidak taat pada negara. Bahkan tidak segan-segan para sat pol pp menghajar dagangan mereka tanpa ampun.
Ibu Minah menuturkan, "jualan pinggir jalan itu ancamannya adalah sat pol pp....". Begitulah, orang kecil semacam ibu Minah selalu dianggap sampah oleh negara. Padahal, negara tidak sekalipun mau memperhatikan kehidupan mereka.
Mereka didatangi saat berlangsung pemilihan Presiden. Saat itu mereka dirayu kemudian dijanjikan hajat hidupnya, jika sang ca pres terpillih.
Tapi, itu hanya janji saat kampanye pemilu. Setelah itu, nasib ibu Minah serta orang pinggiran lainnya tidak pernah berubah.
Ibu Minah sang penjual kopi di pinggir Terminal Lebak Bulus adalah pahlawan. Kepahlawanannya tidak kalah dengan Ibu Sri Mulyani yang dianggap penyelemat keuangan negara. Orang-orang kecil seperti ibu Minah adalah tulang punggu negara.
Matahari mulai panas, jam di tangan menunjukkan pada angka delapan. Saya sudahi menyesap kopi di lapak kecil Ibu Minah. Melanjutkan langkah, masuk dalam angkot menuju Kampus UIN Ciputat. Bersama cerita heroik penjual kopi bernama ibu Minah.
Sampai kapan ibu Minah bertahan di pinggir Terminal Lebak Bulus, saya tidak tahu jawabnya. Semoga saja negara tidak abai terhadap kehidupan orang-orang kecil semacam Ibu Minah serta wong cilik lainnya. Sebab, orang-orang kecil adalah tulang punggung berdirinya negara ini, mereka adalah pahlawan.
Hari ini Bulan Juli Tahun 2018
Setelah hampir 2,5 lebih saya dari kisah ini saya menyelesaikan magister di UIN Jakarta, sudut terminal lebak bulus sudah berubah total. Tempat ngopi saya sudah hilang digantikan beberapa koridor bus way. Sudut terminal lebak bulus semakin berbenah dengan segala kemegahannya.
Tapi ibu-ibu sang penjual kopi itu sudah tidak ada. Mereka digantikan oleh keangkuhan pembangunan Jakarta. Seorang teman dosen di UIN Ciputat pernah mengatakan "Pembangunan memang selalu meminta tumbal''.
Sudut Lebak Bulus dan semua sudut ibut kota Jakarta terus berbenah dengan pembangunan yang menggila. Tetapi pembangunan itu tidak diperuntukkan bagi orang kecil semisal bu Minah si penjual kopi.
Pembangunan Jakarta hanyalah sebuah perubahan jalan layang-layang dan gedung menjulang. Tetapi hanya terbatas itu, esensinya tidak pernah menyentuk kehidupan rakyat-rakyat kecil dari  penjual kopi, pengamen, hingga tukang ojek.
Wallahu a'lam bis shawab
Di sudut Jalan Jakarta, 05 Juli 2018
***
Tulisan ini pernah ditulis di blog pribadi dan sudah tuliskan ulang dengan sedikit tambahan dan beberapa revisi. Tulisan yang sebenarnya kisah perjalanan saya ketika menempuah kuliah Magister di UIN Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H