Mohon tunggu...
Mas Gagah
Mas Gagah Mohon Tunggu... Dosen - (Lelaki Penunggu Subuh)

Anak Buruh Tani "Ngelmu Sampai Mati"

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Lembaga Survei Bekerja untuk Siapa?

2 Juli 2018   17:55 Diperbarui: 2 Juli 2018   19:13 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: https://chirpstory.com/li/396310)

Perhelatan Pilkada serentak tahun ini sudah selesai. Tetapi selesainya ini juga masih menimbulkan berbagai pertanyaan. Dari soalan tentang banyaknya indikasi kecurangan. Kemudian soalan siapa yang sebenarnya menang versi real count juga memunculkan termin siapa kawan dan siapa lawan. 

Pesta demokrasi seakan memecah belah persatuan bangsa Indonesia. Pilkada justru melupakan masalah yang sebenarnya yaitu kemiskinan dan hutang Indonesia yang sulit dilunasi entah sampai kapan. Pilkada selesai atau tidak selesai tetap memberikan pekerjaan rumah bagi seluruh bangsa Indonesia.

Masih ada pekerjaan menunggu yaitu pemilu tahun 2019 mendatang. Nampaknya proses demokrasi Indonesia bukan untuk mencari siapa yang layak mencari pemimpin tetapi siapa yang layak menurut lembaga survei. Jauh-jauh hari telah terjadi propaganda dan pembentukan citra bagi sejumlah calon presiden untuk dimenangkan pada pemilu tahun 2019 mendatang. 

Faktanya, perhelatan pemilihan presiden dan wakil presiden masih akan diadakan pada tahun 2019, tapi perang di media sosial semakin memanas. Tidak ketinggalan adalah perang kepentingan dengan menggunakan lembaga survei. Menurut penulis, lembaga survei terkadang tidak pernah memiliki sikap yang independen. Lembaga survei merupakan kumpulan dari individu yang memiliki kepentingan ideologis dan politis. 

Pada tulisan ini akan kembali menggugat tentang keperpihakan beberapa lembaga survei pada perhelatan Pilkada serentak tahun 2017.  Sebelumnya saya pernah menulis di sini, juga menggugat tentang kinerja lembaga survei dengan judul "Awasi Lembaga Survey Bayaran di Pilgub DKI"( Lihat di kompasiana.com/masgagah2016).

Pada kali ini peranan lembaga survei perlau digugat ulang pragmatisme kepentingan ideologisnya. Maka timbul sebuah pertanyaan, beberapa lembaga survei ini sebenarnya bekerja untuk siapa? Alih-alih jika ditanyakan tentang hal ini, perwakilan lembaga survei mengatakan bahwa mereka bekerja independen untuk kepentingan bangsa dan negara.

Lembaga survei menurut penulis hanya tak ubahanya hanya menjadi perpanjangan bagi pemilik modal politik. Lembaga ini harus menjadi lembaga yang independent, tapi apakah hal ini bisa terjadi? Sulit rasanya di tengah-tengah politik yang kapitalitistik ini lembaga survei bisa menjadi lembaga yang independent. Dengan kata sederhana, lembaga survei ini mencari ceruk uang melalui pemihakan terhadap pasangan calon dari partai tertentu.

Fadli Zon menyindiri para lembaga survei di Pilkada kali ini bahwa dukun malah bisa lebih hebat dari lembaga survei. Detik.com mengutip perkataan Fadli Zon ""Harus dievaluasi keberadaan mereka. Metodologi mereka itu tidak bisa akurat lagi, prediksi mereka jauh" (news.detik.com)

Pada gelaran Pilkada DKI sebelumnya juga lembaga survei gagal mengukur kemenangan telak Anis-Sandi dari lawannya Ahok-Djarot. Padahal banyak lembaga survei dengan sangat yakin bahwa Ahok-Djarot akan menggungguli Anis-Sandi. Faktanya, lembaga survei dipermalukan oleh kekalahan Ahok-Djarot. (merdeka.com)

Pertanyaan pada tulisan ini muncul sebab prediksi beberapa lembaga survei khususnya pada tiga wilayah (Jabar, Jateng, dan Jatim) ternyata gagal total. Misalnya pada pemilihan Jawa Barat, pada awal-awal survei menempatkan Ajat-Syaikhu sebagai pesakitan. Kandidat yang diusung oleh PKS dan Gerindra ini bahkan oleh beberapa lembaga survei dipukul rata bahwa tidak akan mendapatkan angka lebih dari 7%.

Menurut catatan Republika dari beberapa lembaga survei sebelum Pilkada digelar, perolehan Ajat-Syaikhu tidak akan lebih dari 7% atau paling besar adalah 12%. Penantangnya yaitu Rindu (Ridwan Kamil-Ruzhanul Ulum tidak lebih dari 40% (republika.co.id). Angka perolehan suara ini benar-benar membuat beberapa lembaga survei terperangah, kaget, dan menderita tekanan bati. 

Bahkan masyarakat kemudian menanyakan apakah para lembaga survei ini hanya menjadi perpanjangan tangan salah satu pasangan tertentu. Keabsahan metodologi yang digunakan oleh beberapa lembaga survei tersebut perlu dipertanyakan ulang. Jika memang sudah benar metodologi yang digunakan mungkinkah justru digunakan untuk mencari ceruk uang dari pemilik modal dari salah satu partai pengusung paslon.

Pada survei di Jawa Tengah juga demikian menimbulkan berbagai pertanyaan menggelitik. Seakan-akan lembaga survei ini menjadi hakim bahwa kandidat yang diusung oleh PKS dan Gerinda memang tidak layak menjadi pilihan masyarakat Jawa Tengah.

Pada beberapa survei sebelum pilkada dilaksanakan, kandidat yang diusung oleh PKS dan Gerindra kalah jauh angkanya dari elektabilitas petahana yaitu Ganjar Pranowo. Ternyata hitungan-hitungan beberapa lembaga survei ini gagal total. Jika selisih kesalahan tidak lebih dari 5% mungkin tidak menimbulkan pertanyaan menggelitik. Masalahnya selisih angka antara survei dan hasil meleset jauh dari apa yang dihitung sebelumnya.

Dari pantuan beberapa media, angka hitung cepat atau quick count Litbang Kompas untuk Pilkada Jawa Tengah (Jateng) menempatkan pasangan calon (paslon) nomor urut 1, Ganjar Pranowo-Taj Yasin kembali unggul. Dalam quick count yang diadakan pada Rabu (27/6/2018), pukul 15.35 WIB, pasangan tersebut memperoleh 58,31 persen. (tribunnews.com).

Jika ditanya apakah lembaga survei memihak salah satu paslon, lembaga survei tersebut tidak akan pernah mau jujur. Tetapi fakta selisih survei dengan hasil setelah pillkada berlangsung inilah cukup menjadi bukti bahwa lembaga survei hanya memihak salah satu peserta pemilu dan partai pengusungnya.

Survei yang dilakukan beberapa saat sebelum pemilu hanyalah propaganda untuk mengusung salah satu paslon dan menjatuhkan salah satu pasangan paslon.

Dengan kondisi yang telah dijelaskan di atas, bisakah pada perhelatan pemilu tahun 2019 nanti lembaga survei masih dapat dipercaya? Hal ini juga menjadi pekerjaan rumah bagi lembaga survei tersebut. Mereka harus mampu membuktikan bahwa lembaga survei selama ini bekerja secara independen, kalau memang benar begitu. Jangan sampai lembaga survei ini hanyalah sebagai alat politik praktis yang digunakan untuk mencari ceruk uang dalam dalam ranah pollitik praktis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun