SEBUAH PERJALANAN, KRISIS LINGKUNGAN YANG TAK BERKESUDAHAN
"Setelah semua yang kulihat, keadaan menjadi cukup jelas bahwa kita tidak lagi hidup di Taman Eden yang murni. Kita ada di panel kedua. Bosch menyebutnya, "Umat Manusia Sebelum Banjir". Dan yang paling membuatku terbayang adalah panel terakhir. Panel dengan langit yang hitam. Sebuah planet yang kita hancurkan karena tindakan kita bersama. Pertanyaannya adalah, bisakah kita mengubah arah sebelum terlambat? -- Leonardo DiCaprio
Film ini menceritakan tentang perjalanan Leonardo DiCaprio -- seorang aktor Hollywood -- yang dipercaya menjadi United Nations Messenger for Peace (Duta Perdamaian PBB).Â
Perjalanan tersebut mengisahkan tentang Perubahan Iklim (Climate Change) yang terus dan sedang berlangsung di dunia hingga saat ini.Â
Film yang dirilis pada tahun 2016 ini merupakan jenis film dokumenter, oleh karenanya latar film yang diambil merupakan peristiwa nyata yang langsung terjadi saat itu dan di tempat itu.
Film ini diawali dengan sebuah lukisan bernama "Taman dari Kesenangan Dunia/The Garden of Earthly Delights" karya Hieronymus Bosch, seorang seniman berkebangsaan Belanda.Â
Lukisan tersebut menggambarkan keadaan Bumi yang saat ini menghadapi krisis perubahan iklim (climate change)Â dan pemanasan global (global warming). Selanjutnya, film ini menceritakan secara nyata krisis yang terus berlangsung tersebut.
Meskipun film ini menjelaskan suatu permasalahan yang pelik, namun ia disajikan dengan sangat apik. Dimulai dari masa kecil Leo yang resah terhadap kerusakan alam, hingga dikorelasikan dengan realita yang ada di bumi saat ini, dimana bahan bakar fosil (batu bara, minyak bumi, gas alam, dll) yang menjadi komoditas utama dunia telah menyebabkan kerusakan lingkungan serta menghancurkan habitat flora dan fauna.
Perjalanan Leo dimulai dari Canadian Tar Sands di Alberta, suatu kawasan di Kanada yang dulunya merupakan hutan boreal yang sangat luas. Namun, saat ini telah menjadi tambang minyak daratan terparah di dunia.Â
Lalu, perjalanan berlanjut ke Baffin Islands dan Greenland, menyaksikan secara langsung bagaimana pulau es itu mencair dan bagaimana ratusan kubik gunung es Greenland meleleh menjadi air terjun yang jatuh ke laut.
Film ini juga mengungkap bahwa ada sekelompok kepentingan yang kontra terhadap isu pemanasan global ini. Mereka merasa terancam dengan adanya isu tersebut, sehingga mereka menyebarkan informasi bahwa isu tersebut adalah suatu kebohongan.Â
Oleh karenanya, tak bisa dipungkiri bahwa tantangan ilmuwan dan aktivis lingkungan ialah berhadapan dengan kekuatan kepentingan tersebut, mereka adalah perusahaan pemegang saham bahan bakar fosil.Â
Mereka layaknya raksasa yang telah mengendalikan semua sektor (politik, sains, dan media) untuk menjaga kekayaan mereka tanpa memperdulikan kerusakan yang ditimbulkan.
Perjalanan mereka berlanjut ke negara-negara dengan populasi terbesar, seperti China, India, Indonesia dan Amerika Serikat. Populasi yang tinggi menyebabkan kebutuhan energi juga tinggi.Â
Lebih jauh lagi, setiap negara juga memiliki permasalahan lokal yang berkaitan dengan isu energi, iklim dan lingkungan. Diantaranya para petani di India kehilangan ladangnya karena terendam akibat curah hujan yang meningkat.Â
Permukaan laut naik dan menghancurkan rumah-rumah warga di Kiribati, Palau, dan Kepulauan Oceania lainnya. Ribuan terumbu karang tenggelam dan akhirnya mati, hingga ekosistem laut pun rusak. Padahal, terumbu karang mampu menyerap 1/3 CO2 dan mengurangi efek rumah kaca.Â
Hutan hujan tropis pun semakin berkurang akibat pembakaran dan deforestasi untuk membuka lahan kelapa sawit di Sumatera, Indonesia dan peternakan sapi di Amazon, Brazil. Akibatnya, banyak spesies flora dan fauna kehilangan habitatnya.
Ada satu momentum yang menjadi ketakutan bagi ilmuwan, yaitu ketika alam menemukan titik baliknya dan mempercepat proses pemanasan global. Diantara momentum tersebut ialah warna es Greenland berubah menjadi hitam.Â
Ketika itu, ia tidak lagi menjadi pendingin Bumi, namun menjadi pemanas karena warna gelapnya yang menyerap panas matahari. Sehingga, pemanasan global menjadi lebih cepat terjadi. Kemudian, gas metana yang terperangkap di dalam lapisan es tebal akan keluar ketika lapisan es tersebut meleleh. Akibatnya, emisi karbon semakin bertambah dan suhu Bumi akan semakin meningkat.
Pada 30 menit terakhir film ini, ia menunjukkan potensi-potensi positif dan optimisme untuk menghadapi perubahan iklim. Seperti Gigafactory rancangan Elon Musk (CEO SPACEX dan TESLA), serta Carbon Tax (Pajak Karbon) yang dikemukakan oleh Gregory Mankiw (Politikus AS dan Guru Besar Ekonomi, Harvard University).Â
Konferensi Internasional membahas isu lingkungan dan perubahan iklim beberapa kali terlaksana dengan baik, seperti Rio de Janeiro Earth Summit tahun 1992 dan Paris Agreement tahun 2015.Â
Harapan positif tersebut terus hidup ditengah dampak buruk dari krisis iklim yang merembet pada aspek sosial masyarakat, seperti migrasi penduduk, ledakan populasi, kelangkaan sumber air bersih, pangan, kemiskinan, dan sebagainya.
Negara-negara di dunia sudah mulai mengembangkan dan memanfaatkan energi terbarukan. Seperti Jerman telah memproduksi 30% energi surya yang beberapa dihasilkan oleh suatu perumahan khusus.Â
Denmark telah menerapkan 100% energi terbarukan untuk memenuhi seluruh kebutuhan energi nasionalnya. Italia, Belanda dan Spanyol terus mengembangkan energi terbarukan dari angin dan air. Termasuk juga Swedia yang berkomitmen untuk beralih dari energi fosil menuju energi terbarukan yang ramah lingkungan.
Maka, satu pertanyaan tersisa untuk menutup film ini. Apakah kita sudah cukup cepat bertindak untuk menghadapi krisis ini? Atau kita melakukannya terlalu pelan? Apakah pemanasan global dan perubahan iklim terjadi sesuai prediksi? Atau bahkan lebih cepat lagi? Jawabannya ada ditangan kita semua. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H