Ada satu pendapat menarik yang menyatakan bahwa Hukum Humaniter Internasional (HHI) ini hanya untuk memanusiakan perang. Dimana sebelumnya, sebelum ada hukum humaniter yang ditandai dengan Konvensi Jenewa (1864) perang tidak memperhatikan sisi kemanusiaan manusia. Korban-korban perang dibiarkan terluka dan tak mendapatkan perawatan. Setelah Konvensi itu disahkan dan ICRC/International Committee of Red Cross (1863) dibentuk, korban dan tawanan orang mendapatkan perlindungan dan pelayanan kemanusiaan.
Apabila kita melihat dari satu sisi, adanya HHI ini memberikan dampak positif dalam perkembangan perang. Namun, di sisi lain HHI ini nyatanya belum menyelesaikan satu permasalahan yang lebih utama. Yaitu menghentikan peperangan itu sendiri. Hukum Humaniter Internasional hanya mampu memanusiakan peperangan dan tidak menghentikannya.
Barangkali, fenomena ini sejalan dengan apa yang pernah disampaikan Thomas Hobbes dalam bukunya De Cive, bahwasanya manusia adalah serigala bagi manusia lain, "homo homini lupus". Menjadi sifat asli manusia yang egois dan mementingkan kepentingannya sendiri.
Adam Smith, mengartikan manusia dengan "homo homini socius", manusia adalah sahabat bagi manusia yang lain. Atau ia juga menyebutkan "homo economicus", manusia adalah makhluk yang tidak pernah merasa puas dan selalu mencari untuk memenuhi kebutuhannya.
Kembali ke HHI, adanya hukum adalah untuk membawa keadilan. Memberikan batasan bagi manusia dari kebebasannya. Namun, apabila kita melihat fenomena saat ini, HHI nampaknya tidak berpengaruh banyak bagi manusia. Konflik yang terjadi di Suriah, Palestina dan Afghanistan tidak bisa mendustakan betapa egoisme dan nafsu manusia begitu besar. Maka, timbulah pertanyaan bagaimanakah eksistensi Hukum Humaniter Internasional? Masih relevankah menghadapi sifat dasar manusia yang demikian?
Satu kisah menarik terjadi pada tahun 630 M di jazirah Arab. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersama sekitar 10.000 ummat Muslim bergerak dari Madinah menuju Mekkah. Pergerakan ini bertujuan untuk membebaskan Mekkah dari kaum Quraisy  yang telah melanggar perjanjian Hudaibiyah 2 tahun yang lalu. Peristiwa ini terkenal dengan sebutan Fathu Mekkah (Pembebasan Mekkah).
Apa yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam ini merupakan salah satu bentuk nilai kemanusiaan yang luar biasa. Dimana politik damai adalah jalan pertama untuk menyelesaikan permasalahan. Fathu Mekkah tidak menumpahkan darah sedikit pun. Namun, dampaknya mampu mengembalikan Mekkah dalam pelukan kekuasaan Islam.
Kesimpulan dari tulisan ini ialah, Hukum Humaniter Internasional sudah seharusnya mengadopsi nilai-nilai Islam tentang perang dan kemanusiaan yang banyak diteladankan dalam kehidupan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan diatur dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Apabila HHI mampu mencapai tingkatan tersebut, pertumpahan darah tidak perlu terjadi dan kedamaian akan tercipta. Allahu a'lam bish-showwab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H