Sebelumnya, dimanpun tempat, baik di rumah, di kantor, di tempat ngumpul-ngumpul, di kafe, apalagi di lahan pertanian yang menjadi 'kantor kedua'ku sebagai 'pembina dan penyuluh' petani, nyaris tidak pernah rokok lepas dari jepitan tanganku. Bahkan ketika harus mengikuti acara di ruangan hotek ber AC, tempat pertama yang kukejar saat jeda adalah 'smoking area'.
Namun selama ini, aku nyaris tidak pernah menyesali keputusanku, karena sebelaum mengambil keputusan, aku terlebih dahulu mempertimbangkan baik buruknya dan selalu menggunakan fikiran yang jernih. Itulah yang kemudian melatari keputusanku untuk menjatuhkan 'talak tiga' terhadap benda bernama rokok ini.
Ada beberapa prinsip yang menjadi pertimbanganku sebelum memutuskan untuk berhenti total dari merokok. Pertama, aku tidak ingin sampai ada dokter yang memperingatkan atau melarangku merokok.
Kedua, harga rokok yang terus melonjak, menjadi pertimbangan ekonomisku, nggak mungkin lah aku membuang-buang uang dalam nominal besar hanya untuk 'asap'.
Ketiga, saat ini aku sudah memiliki seorang cucu yang masih berumur balita, tentu tidak baik bagi kesehatannya, bercengkerama dengannya sambil merokok, dan harga rokok bisa untuk 'mensubsidi' jajan dan susu bubuknya.
Dan yang terakhir, aku merasa dengan berhenti merokok, kondisi kesehatanku akan lebih baik dan daya tahn tubuhku akan lebih kuat, meski yang terakhir ini bukan pertimbangan utama.
Akhir tahun 2019 adalah waktu yang sudah kupersiapkan untuk 'mengeksekusi' keputusanku. Sampai tanggal 31 Desember 2019 jam 23.00, aku masih sempat menghabiskan tiga bungkus rokok kesukaanku.
Sebelum lonceng pergantian tahun baru 2020 berbunyi, sudah kubulatkan tekad untuk 'menceraikan' rokok dari kehidupanku. Kok bisa? Ya bisa lah, untuk mengeksekusi keputusan ini, aku memakai falsafah puasa wajib, hari ini kita masih leluasa makan minum tapi besooknya kita bisa stop total makan dan minum, dan ternyata falsafah itu terbukti manjur untuk diterapkan.
Teman-teman yang biasa melihatku sebagai perokok aktif yang nyaris seperti 'kereta api', seperti kubuat terkejut dengan keputusan ini. Dalam sebulan dua bulan pertama, sepertinya mereka belum yakin akan keputusanku ini. Inilah yang semakin mebulatkan tekadku untuk 'memutus silaturrahmi' dengan tembakau berbalut kertas sigaret ini.
Sebagai 'penguji keimanan' terhadap keputusanku ini, aku sengaja menyimpan sebungkus rokok di atas pintu masuk rumahku, tapi Alhamdulillah, jangankan untuk membuka dan mengisap isinya, menyentuh dan melihatnya pun aku sudah tidak tertarik lagi.