Pada akhirnya kita mendapatkan kenyataan bahwa statemen-statemen pejabat publik yang awalnya terkesan meremehkan virus corona, berbalik menjadi bumerang yang kemudian berdampak pada seluruh masyarakat Indonesia.Â
Meski dari aspek klimatologi, iklim Indonesia tidak kondusif bagi tumbuh kembangnya virus corona, namun kebijakan yang terkesan sebagai pembiaran ditambah perilaku tidak disiplin dari masyarakat, akhirnya jadi penyebab terjadinya sebaran virus ini di negara kita.
Berdasar penilitan medis, penularan Covid-19 ini sangat cepat dan lebih mudah menyebar dari manusia ke manusia. Artinya, menyebarnya virus ini sampai ke Indonesia, lebih karena kebijakan yang tidak antisipatif tehadap mobilisasi orang dari luar negeri, sehingga terjadi kontak fisik antara warga asing yang tersuspect covid dengan warga negara Indonesia.Â
Sampai saat ini, belum ada obat yang terbukti efektif dalam mengatasi Covid-19 dan kecepatan menyebar virus ini juga akibat perilaku warga yang abai terhadap pola penyebaran virus ini.Â
Dalam kondisi ini, seolah kita sedang berperang melawan makhluk halus (mikro) tidak tampak oleh kasat mata, tapi korban korban terus berjatuhan..
Untuk mencegah penyebaran penyakit ini, pemerintah telah mengambil kebijakan dan langkah pembatasan sosial seperti menjaga jarak sosial (sosial distance) menghindari kontak fisik (physical distance) atau membatasi interaksi sosial, tetap tinggal di rumah (stay home).
Kebijakan belajar, bekerja, dan beribadah di rumah, dan sekarang tengah menyiapkan karantina wilayah (local lockdown) atau membatasi perpindahan orang melalui Pembatasan Sosial Berskala Besar seperti yang sudah diterapkan di DKI Jakarta.
Penerapan kebijakan seperti itu, kemudian berkonsekwensi terhadap menurunnya perekonomian masyarakat akaibat aktifitas dibatasi dan makin sulitnya memperoleh akses pangan akibat pembatasan mobilitas orang dan barang.Â
Dalam situasi chaos akibat kebijakan pemerintah, tentu saja menjadi kewajiban pemerintah untuk menanggung dampak yang diterima oleh masyarakat.Â
Masalahnya adalah bagaimana pemerintah bisa menjamin ketersedian pangan rumah tangga selama masa karantina wilayah, terutama untuk rumah tangga miskin, karena kita juga tahu, kemampuan finansial pemerintah saat ini juga lemah.
Tentu saja ini bukan pada sekadar mengamankan pangan pada tataran nasional yang meliputi ketersediaan yang cukup untuk masa tertentu dan keterjangkauan harga. Tapi juga harus dipikirkan bagaimana rumah tangga miskin yang jumlahnya mencapai 9,22% (BPS, September 2019) atau sekitar 25 juta jiwa ini?
Kebijakan realokasi APBN dan APBD untuk penanganan covid memang sudah dilakukan, namun apakan kebijakan itu sudah mampu memperkuat ketahanan pangan keluarga miskin? Tentu masih perlu kajian dan analisis mendalam.Â
Mestinya pergeseran anggaran pemerintah secara prioritas harus mampu memperkuat ketahanan pangan rumah tangga miskin ini agar jutaan jiwa dapat memenuhi kebutuhan pokoknya (bahan makanan 73,75 % dan non-pangan 26,25 %, standar untuk memenuhi kebutuhan pokok).
Kita punya pengalaman pada masa Orde Lama dan Orde Baru bahwa krisis politik yang berujung konflik sosial, terjadi didahului krisis ekonomi, dan krisis ekonomi didahului dengan krisis pangan.Â
Tentu kita semua berharap hal ini jangan lagi terulang, karena biaya politik sangatlah mahal. Belajar dari pengalaman tersebut, kita akan sadar bahwa ketahanan pangan suatu negara sangat penting karena terkait dengan dimensi ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.Â
Tanpa ketahanan pangan yang kuat, maka ketahanan negara juga akan rapuh dan mudah diintervensi oleh pihak luar. Dan ketahanan pangan negara terbangun dari ketahanan pangan rumah tangga.
Sepertinya kita juga perlu belajar dari pengalaman Uni Soviet, sebuah negara yang dulunya menjadi negara adidaya, tapi akhirnya bubar tahun 1992 bukan karena perang, tetapi karena glasnost dan perestroika.Â
Kebijakan keterbukaan yang diterapkan oleh presiden Mikail Gorbachev ini sebenarnya bagus, namun kemudian gagal akibat krisis pangan yang melanda negara tersebut.Â
Serangan hama pada lahan pertanian yang begitu masif, membuat cadangan pangan negara ini lumpuh karena Uni Sovyet tidak memiliki sistem mitigasi yang baik.Â
Antrean pangan menjadi pemandangan biasa poada waktu itu, karena stok pangan nasional mereka sangat terbatas. Akibatnya timbul krisis ekonomi yang berujung pada krisis politik yang berdampaok pada bubarnya negara persekutuan Uni Sovyet.
Tentu kita tidak ingin gegara virus corona ini, kemudian terjadi krisis pangan negara kita. Jangan sampai karena lemah dalam ketahanan pangan, akhirnya negara kita terjerumus pada krisi ekonomi dan krisis politik yang bukan tidak mungkin berakibat kehancuran negara.
Sebenarnya pemerintah sudah meiliki kosep ketahanan pangan nasional sejak tahun 2012 yang lalu dengan terbitnya  Undang Undang Nomor 18 Tahun 2012tentang Pangan.Â
Undang-undang tersebut secara rinci sebenarnya sudah mengatur sistem pangan nasional agar ketahanan pangan kita aman dari sisi ketersedian dengan mengutamakan produksi dalam negeri , dari aspek distribusi dan pola konsumsi yang dapat memenuhi kebutuhan dasar manusia.
Membangun ketahanan pangan berbasis keluarga adalah fondasi dasar dari sistem ketahanan pangan nasional, karena jika semua keluarga sudah mampu memneuhi kebutuhan pangan dasar baik melalui kegiatan produktif di bidang pertanian maupun aktifitas ekonomi lainnya yang bisa meningkatkan daya beli atau akses pangan, berarti intervensi pemerintah dapat dikurangi dan sitem ketahanan pangan nasional akan kokoh.Â
Mengaktifkan rumah tangga petani sebagai produsen pangan melalui berbagai stimulan, akan bisa memperkuat ketahanan pangan keluarga, Sementara penguatan ekonomi masyarakat melaui sektor non pertanian, juga akan memperkuat akses pangan masyarakat, sementara pembangunan infra struktur diarahkan untuk kelancaran distribusi pangan.
Tapi sayangnya program ini belum sepenuhnya berhasil, masih relatif tingginya angka rumah tangga miskin menjadi tolok ukur belum optimalnya pembangunan ketahanan pangan ini.
Masih lemahnya daya tawar petani, juga menjadi kendala penguatan ketahanan pangan, ditambah lagi dengan kebijakan impor produk pangan yang membuat berbagai program peningkatan produksi pertanian seperti sia-sia.
Padahal kalau kebutuhan pangan tercukupi oleh produksi dalam negeri, tentu bukan hal sulit untuk mensubsidi 9,22 persen rumah tangga miskin ini.
Meningkatkan partisipasi masyarakat untuk membangun cadangan pangan melalui kegitan produktif di bidang pertanian, mungkin bisa menjadi salah satu solusi, karena kita tidak tau kapan wabah ini akan berakhir.
Dengan peran aktif masyarakat menjadi produsen pangan, tentu saja ketahanan pangan masyarakat akan kuat dan progma pembatasan sosial dapat dilakukan secara penuh sehingga mata rantai penyebaran covid-19 bisa diputus.
Yang harus dipahami, bahwa pangan bukan hanya beras, tapi juga termasuk palawija, umbi-umbian dan hortikultura, termasuk juga peternakan dan perikanan.
Jika cadangan pangan tersedia, maka isolasi wilayah tidak akan menjadi masalah, karena ketidak patuhan masyarakat terhadap pembatasan sosial, boleh jadi karena faktor ekonomi dan pemenuhan kebutuhan pangan dasar.
Agaknya kita perlu belajar kembali tentang konsep ketahanan pangan Nabi Yusuf AS dimana pemerintah atau negara membangun cadangan pangan yang kuat, sehingga ketika menghadapi krisis pangan, masyarakat tepa dapat memenuhi kebutuhan pangan mereka.Â
Caranya? Pemerintah pusat dan daerah menggerakkan seluruh masyarakat untuk memanfaatkan seluruh lahan yang tersedia, termasuk lahan-lahan terlantar dan tanah negara untuk menanam komoditi pangan, pemerintah menyediakan bibit dan mungkin pupuk, sementara masyarakat bergerak swadaya untuk mengolah lahan.Â
Sebagian hasil produksi untuk kebutuhan konsumsi masyarakat sendiri, sebagian lagi dibeli oleh pemerintah (dengan dana tanggap darurat) untuk dibagikan kepada masyarakat kurang mampu, dan sisanya bisa dijual ke pasar untuk menambah pendapatan masyarakat.
Begitu juga dengan potensi peternakan dan perikanan, dapat digerakkan dengan partisipasi masyarakat dengan sedikit bantuan stimulan dari pemerintah.
Tentu untuk bisa bergerak, harus ada yang menggerakkannya, dan ini menjadi tugas aparatur pemerintah khususnya instansi teknis terkait, dan juga peran para aktivis, tokoh masyarakat dan tokoh adat.Â
Jika para pimpinan daerah punya daya inisiatif dan kreativitas dan didukung dengan skill para pejabat teknisnya, tentu bukan hal sulit untuk menggerakkan itu semua. Jika pemerintah sudah bergeerak, para aktivis dan tokoh juga akan bergerak, dan terwujutlah gerakan ketahanan pangan masyarakat.
Jika itu semua dapat dilakukan, tentu akan lebih mudah mengajak masyarakat melakukan pembatasan sosial sehingga dapat memutus rantai penyebaran covid dan wabah ini segera berlalu. Â
Dan inilah pentingnya memperkuat ketahanan pangan dlam menghadapi pandemi virus corona ini, karena sampai dengan saat ini belum ada obat penyembuh untuk kasus ini. Hanya melalui tidakan prefentif dan self defense melalui pembatasan sosial, penyebaran covid dapat dicegah.
Semoga tulisan sederhana ini bisa menggugah para pihak untuk bergerak dan menggerakkan, ikhtiar adalah kewajiban kita. Dan tentunya  kita tidak boleh lupa  emamnjatkan do'a kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala, semoga musibah di negeri ini segera berakhir.
Pun begitu, usaha kita tentu tidak boleh kurang, karena sesuai dengan firman Allah  dalam surah Arra'du ayat 11 "Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sampai kaum itu berusaha merubah nasib mereka sendiri".
Jangan lalai, jangan abai, hanya dengan ketahanan pangan yang kuat, kita akan mampu melewati ujian berat ini dengan mulus, semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H