Kopi arabika bagi masyarakat yang tinggal di Dataran Tinggi Gayo, Aceh, sudah merupakan 'nyawa' dan 'nafas' yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Dalam empat dasa warsa terakhir, komoditi perkebunan ini nyaris sudah menjadi tulang punggung perekonomian masyarakat Gayo. Semua sendi perekonomian masyarakat Gayo sangat tergantung pada komoditi ini.
Kebun kopi rakyat, seolah sudah menjadi ikon dan jati diri masyarakat Gayo, rasanya belum sempurna bagi warga Gayo kalau belum memiliki kebun kopi. Itulah sebabnya, di Tanoh Gayo, bukan hanya petani murni saja yang berkebun kopi, tapi juga dari profesi lain seperti Pegawai Negeri Sipil atau ASN, Anggota TNI dan Polri, karyawan swasta sampai pedagang, juga 'berprofesi ganda' sebagai petani kopi.
Seperti yang dijalani oleh seorang perwira Polri di jajaran Polres Aceh Tengah, Komisaris Polisi (Kompol) Ridwansyah ini. Bhayangkara yang saat ini mengemban tugas sebagai Kepala Bagian Sumber Daya (Kabag Sumda) di lingkungan Polres 107 Aceh Tengah ini, dalam lima tahun terakhir, mulai fokus dalam usaha tani kopi arabika.
Fokus pada pengembangan Kopi Organik.
Berbeda dengan petani kopi lainnya yang mengandalkan budidaya kopi secara konvensional, Kompol Ridwansyah memilih untuk mengembangkan kopi arabika organik. Pilihannya ini juga berdasarkan pengalamannya sebagai anggota Polri selama puluhan tahun, dalam pengamatannya, pola konvesional yang selama ini dijalankan petani kopi di Gayo tindak mampu menghasilkan produksi secara optimal. Akbatnya, masyarakat cenderung menambah luas areal kebun mereka dengan cara menebang dan merusak hutan. Dalam pemikirannya, untuk mencapai hasil optimal, bukan dengan cara membuka lahan baru, tapi melakukan usaha tani secara intensif.
Diatas lahan seluas 0,25 hektar yang dibelinya sekitar sepuluh tahun yang lalu, Kompol Ridwansyah mulai mencoba memanfaatkan 'secuil' lahan sempit (untuk ukuran budidaya kopi) itu untuk mengembangkan budidaya kopi arabika organik. Pilihannya ini juga berdasarkan pertimbangan bahwa penggunaan pupuk dan material kimia lainnya, hanya akan memberikan kesuburan sesaat, dan dalam jangka panjang justru akan merusak struktur dan kesuburan tanah.
Pernah gagal dan hampir putus asa.
Sebagai anggota Polri yang 'awam' terhadap budidaya kopi, Ridwansyah cenderung nekat ketika memulai bertani kopi di lahan bekas sawah itu. Tekstur tanah liat dengan serapan air rendah, tentu bukan kondisi yang diinginkan oleh tanaman kopi, tapi tanpa ragu dia terus menanami lahan miliknya dengan bibit kopi arabika tersebut. Dalam pemilihan bibit, dia sudah cukup selektif, yaitu dengan membeli bibit-bibit dengan kualitas bagus.
Tapi sebagus apapun bibik, kalau ditanam di lahan yang tidak sesuai, tentu saja tidak akan tumbuh dengan baik. Awalnya, Ridwansyah langsung menanam bibit kopi itu tanpa perlakuan apapun, hanya membuat lubang tanam dan langsung menanam bibit disana.
Karena memang bibitnya bagus, ditambah dengan pemberian pupuk kimia, pertumbuhan awalnya juga bagus, tapi sang perwira polisi ini mulai kecewa ketika tanaman kopinya menjelang berumur satu tahun. Tiba-tiba daun kopi menguning lalu mengering dan kemudian batangnya pun ikun mengering dan mati. Kondisi ini nyaris membuat Ridwansyah putus asa, dia merasa kecewa berat, tanaman yang dia rawat selama setahun ternaya hancur tidak berebekas.
Dalam renungannya, akhirnya Ridwansyah mulai meyadari kelemahannya, dia mananam kopi nyaris tanpa 'ilmu', pantas saja tanamannya gagal. Dari situlah dia kemudian mulai belajar budidaya kopi dari teman-teman dan petani kopi yang sudah berhasil. Beruntung dia ketemu dengan orang yang tepat, dalam pencariannya, dia akhirnya bertemu dengan Zaini, seorang petani kopi sukses yang juga Ketua P4S (Pusat Pelatihan Pertanian Perdesaan Swadaya) di daerah berhawa sejuk ini.