Pemasaran hasil pertanian, khususnya produk hortikultura seperti sayur-sayuran dan buah-buahan, masih sering menjadi kendala klasik bagi para petani. Masih relatif rendahnya bargaining position petani dalam mata rantai pemasaran hasil pertanian dan penguasaan akses pasar yang masih terbatas, sering menjadi musabab kesulitan petani dalam memasarkan produk yang mereka hasilkan.
Tidak mengherankan jika kemudian sering terjadi fluktuasi harga yang sangat tajam pada produk hortikultura seperti cabai, tomat, kol, bawang merah dan beberapa produk yang daya simpannya rendah. Pada waktu tertentu harganya bisa melambung, tapi pada saat yang lain harganya 'terjun bebas'. Kasus pembuangan cabai oleh para petani di Jawa Tengah gegara anjlknya harga cabai beberapa waktu yang lalu, adalah contoh kasus ketidak berdayaan petani dalam penentuan produk pertanian yang mereka hasilkan.
Sebenarnya kendala ini bisa diatasi jika pihak-pihak terkait mampu bersinergi secara baik dan punya keseriusan untuk membantu petani. Seperti kita ketahui, bahwa rantai pemasaran produk pertanian melibatkan banyak pihak, mulai dari petani sebagai pelaku utama, pedagang sebagai pelaku usaha, instansi pemerintah seperti Dinas Pertanian, Dinas Perdagangan, Dinas Koperasi sampai kalangan swasta atau pelaku usaha skala besar.
Kalau saja instansi pemerintah yang terkait mampu 'menjembatani' hubungan kerjasama antara pelaku utama dengan pelaku usaha, 'gap' yang terlalu besar antara petani dengan pedagang akan bisa diperkecil. Kemudahan akses pasar dan jaminan stabilitas harga adalah hal mutlak yang tidak bisa ditawar jika kita ingin melihat petani kita sejahtera.
Sinergi para pihak untuk membantu mengatasi masalah pemasaran produk pertanian, sejatinya jika instansi lintas sektoral mau dan mampu bergandeng tangan untuk mencari sekaligus memberi solusi. Sebagai contoh, ketika instansi pertanian telah memiliki data luas tanam komoditi hortikultura, tentu sudah ada prediksi bahwa 2 -- 3 bulan kedepan aka nada produksi komoditi tersebut dalam jumlah atau besaran tetentu.
Nah pada saat itu instansi pertanian kemudian memberikan data tersebut kepada instansi perdagangan dan koperasi sekaligus meminta bantuan untuk mencarikan pangsa pasar produk yang akan dihasilkan tersebut.
Pihak Instansi perdagangan atau koperasi yang telah meiliki data riil, kemudian bisa membuka jaringan pasar atau menjalin kerjasama dengan pihak swasta di bidang perdagangan yang memang menjadi domain mereka, sehingga pada saat petani memasuki masa panen, 'lubang' pemasaran sudah terbuka.
Bantu pemasaran, Distanbun Aceh gelar Pasar Tani.
Namun realita di langan menunjukkan bahwa tidak mudah membangun sinergi lintas sektoral, karena selain masing-masing istansi masih mempertahankan ego sektoral, ketersediaan data yang akurat dan valid juga sering menjadi kendala.
Harus diakui, masih banyak instansi yang hanya memiliki data manual yang keakuratan dan validitasnya masih diragukan, padahal kalau setiap instansi terkait sudah memiliki data digital yang bisa diakses secara online, tentu akan lebih mempermudah sinergi antar instansi tersebut. Itulah yang kemudian menjadi titik lemah, belum efektifnya sinergi lintas sektoral dalam membantu pemasaran produk pertanian.
Menyadari 'titik lemah' tersebut, Dinas Pertanian dan Perkebuanan Aceh yang punya 'otoritas' dalam pembinaan petani di provinsi yang berada di ujung barat Indonesia ini, mulai membuat terobosan cerdas untuk membatu memberikan solusi kepada petani.