Kalau pebisnis membuka usaha kafe, itu sudah biasa, karena orientasinya memang murni bisnis untuk mencari keuntungan. Semua pernik dan menu kafe tujuannya hanya untuk menarik pengunjung sebanyak-banyaknya, dengan demikian keuntungan akan terus mengalir ke kocek sang pengusaha. Tapi ada yang sangat berbeda, ketika seorang petani kopi tertarik untuk terjun ke bisnis kafe.Â
Adalah Zaini, seorang petani kopi Arabika di dataran tinggi Gayo Aceh Tengah yang telah sukses dengan usaha taninya. Lahan seluas 4 Hektare kebun kopi di desa Merah Mege, Atu Lintang yang terawat dengan baik, menunjukkan bahwa petani ini memang serius dalam menjalankan aktivitas usaha tani.Â
Keseriusannya dalam bertani memang didukung oleh skill yang sangat memadai di bidang budidaya kopi, nyaris semua seluk beluk tentang kopi telah dikuasai oleh pria 53 tahun ini. Tak sekedar menguasai teori, skill yang dimilikinya kemudian dia praktekkan di kebun kopi miliknya, sehingga orang bisa melihat langsung bagaimana bagusnya perawatan tanaman kopi di kebunnya.
Mulailah Zaini berkeliling kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah untuk memberikan edukasi gratis sekaligus menyalurkan sarana produksi budidaya kopi Arabika kepada para petani agar mereka dapat merehabilitasi dan mengelola kebun kopi mereka menjadi lebih baik. Dengan pengelolaan kebun yang baik, tentu saja produksi akan meningkat dan kesejahteraan petani akan terdongkrak.Â
Akibat konflik berkepanjangan yang melanda seluruh wilayah Aceh selama bertahun-tahun, memang banyak kebun kopi rakyat yang menjadi terlantar bahkan rusak dan tidak berproduksi, karena lama ditinggalkan oleh pemiliknya yang merasa terancam keamanan jiwanya. Inilah yang kemudian menjadi fokus pembinaan dan rehabilitasi yang dilakukan oleh IOM di mana Zaini ikut terlibat langsung di dalamnya.
Pengalaman bergabung dengan organisasi internasional ini, kemudian membangkitkan motivasi bagi dirinya bahwa dengan kemampuan yang dimilikinya, dia merasa harus berbuat sesuatu untuk daerahnya. Bersama beberapa teman petani Seide, Zaini kemudian mendirikan Pusat Pelatihan Pertanian Perdesaan Swadaya (P4S), sebuah wadah bergabungnya para penyuluh pertanian swadaya yang secara sukarela dan swadaya ikut membantu para petani di daerah ini untuk meningkatkan kualitas usaha tani mereka.Â
Melalui wadah P4S, lingkup pembinaan yang dilakukan Zaini pun semakin luas cakupannya, bukan hanya fokus pada petani kopi, tapi juga mulai merambah petani seperti hortikultura kentang, kol, cabe, tomat dan sebagainya yang juga menjadi andalan pertanian di daerah ini selain kopi. Eksistensi Zaini dan P4S-nya sangat membantu tugas para penyuluh pertanian di daerah ini, karena memang jumlah penyuluh pertanian pemerintah sangat terbantas.
Selain melakukan pembinaan dari desa ke desa, Zaini kemudian juga mendirikan sebuah padepokan di tengah kebun kopinya yang bisa menampung sekitar 30 sampai 50 orang.Â
Memang sejak namanya dikenal sebagai petani kopi sukses, banyak kalangan mulai dari petani, mahasiswa, peneliti sampai wisatawan asing yang ingin belajar langsung kepadanya, bukan hanya dari dalam daerah, bahkan peminat terbanyak berasal dari luar daerah. Itulah yang kemudian membuat Zaini memutar otak, bagamiana bisa memfasilitasi para pembelajar dari luar daerah yang ingin belajar tentang kopi, karena mereka biasanya menginap sampai beberapa hari di tempat ini.Â
Kalau hanya sekitar 5 sampai 10 orang, masih bisa dia tampung di rumahnya yang lumayan besar, tapi kalau jumlahnya sampai puluhan orang, Zaini sering kebingungan mencarikan pemondokanuntuk mereka. Itu yang kemudian membuat Zaini rela merogoh koceknya untuk membangun sarana pelatihan swadaya ini, ada juga bantuan dari NGO dalam pebangunan tempat pelatihan ini, tapi jumlahnya tidak mencukupi, jadi Zaini harus nombok.Â
Uniknya, meski sudah mengeluarkan biaya besar untuk membangun fasilitas ini, Zaini tidak pernah menentukan tarif kepada siapapun yang ingin belajar padanya, bahkan tidak jarang dia sendiri yang harus menanggung konsumsi para pembelajar itu. Totalitas Zaini dalam mengabdikan diri bagi masyarakat memang tidak setengah-setengah, bukan cuma ilmu yang dia bagikan, tapi hartanya pun terkadang harus dikorbankan.
Kecintaan Zaini pada kopi Gayo seperti sudah mendarah daging, selain terus mengajak dan membina petani lainnya untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas kopi mereka, dia juga katif mempromosikan kopi Gayo ke ranah nasional.Â
Mengusung kopi terbaik yang berasal dari kebun miliknya, tahun 2014 lalu, Zaini sukses membawa kopi Gayo menjadi kopi terbaik dalam ajang "International Specialty Coffee Festival" di Denpasar Bali. Di ajang Festival Kopi Nusantara yang di adakan di kawana Gunung Ijen, Bondowoso tahun 2016 lalu, Zaini kembali sukses menggondol Juara Kedua.
Merambah Sumatera Utara
Pasca berakhirnya progam IOM di Aceh, bukan berarti ikatan kontraknya dengan organisasi itu terputus. Pengalihan program IOM ke Conservation International Indonesia (CII), sebuah organisasi di bawah pangan dan pertanian dunia, Food and Agricultural Organization (FAO) dari Aceh ke Sumatera Utara, juga ikut menyeret Zaini untuk ikut serta dalam pembinaan petani kopi di wilayah Sumatera Utara.Â
Beberapa daerah di Sumatera Utara yang sedang getol mengembangkan kooditi kopi Arabika Gayo seperti Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Tapanuli Utara dan Tanah Karo, begitu antusias menyambut kedatangan Zaini di daerah mereka. Skill yang dimiliki Zaini memang sangat mereka butuhkan, karena pola konvensional yang mereka kembangkan sebelumnya, belum mampu mendongkrak produksi dan kualitas kopi Arabika mereka.
Meski kecintaan pada tanah kelahirannya begitu besar, namun Zaini tidak merasa keberatan ketika harus berbagi ilmu tentang kopi kepada saudara-saudaranya di Tanah Batak, karena baginya selama ilmu yang dia bermanfaat, dia tidak akan melihat siapa yang mengadopsi ilmunya itu. Lagipula sebelumnya para petani dari wilayah Sumatera Utara juga sudah banyak yang menyambangi kebunnya di Gayo untuk belajar tentang kpi darinya.
Ketika program CII kemudian berakhir di Sumatera Utara, bukan berarti interaksi Zaini dengan masayarkat di daerah itu terpuutus. Sebuah perusahaan di kabupaten Tanah Karo yang sudah lama memantau aktifitas Zaini, kemudian menariknya untuk menjadi konsultan di perusahaan pengekspor kopi tersebut. Tugas Zaini sebagai konsultan PT Agro Kopi Karo ini nyaris tidak berubah dari aktivitas sebelumnya, yaitu membina para petani kopi, hanya saja sekarang fokus di wilayah kaki Gunung Sinabung di Tanah Karo.Â
Bukan semata karena fasilitas dan gaji tinggi yang ditawarkan oleh perusahaan itu, kecintaan Zaini pada kopi Arabika itulah yang membuatnya terus menunjukkan totalitasnya untuk membina petani kopi dimana saja, karena menurutnya kopi itu universal, bukan milik daerah tertentu. Sejak kehadirannya di Tanah Karo tiga tahun lalu, saat ini sudah terjadi peningkatan signifikan dari kopi Arabika Karo, baik dari segi produktivitas maupun kualitas.
Mendirikan Kafe dengan konsep berbeda
Sebenarnya peluang bagi Zaini untuk bertahan di Tanah Karo dengan fasilitas dan gaji besar, masih sangat terbuka, karena perusahaan yang merekrutnya sebagai konsultan, memberi kesempatan kepadanya untuk bergabung sampai kapanpun. Namun kerinduan untu kembali ke tanah kelahirannya yang selama beberapa tahun terpaksa dia tinggalkan, sudah tidak bisa dibendung lagi.Â
Sebagai putra Gayo asli, dia merasa terpanggil untuk membenahi perkebunan kopi yang selama ini menjadi "nafas" bagi sebagian besar penduduk di daerahnya. Itulah yang kemudian melatar belakangi kepulangannya ke tanah kelahirannya, dia ingin eksistensi kopi Arabika Gayo sebagai kopi terbaik di dunia harus dipertahankan.
Agak kecawa memang, karena pemerintah daerah setempat seperti tidak merespon kehadirannya kembali di Tanoh Gayo, tapi itu tidak membuatnya frustasi, toh sebelumnya dia membina petani kopi di daerah ini lebih dengan swadayanya sendiri dan nyaris tanpa bantuan pemerintah. Pernah mengunjungi berbagai daerah dengan ikon komoditi pertanian andaraln mereka, Zaini merasa prihatin, "negeri" Â penghasil kopi terbesar dan terbaik seperti Gayo, tidak meiliki ikon kopi di pusat kotanya.Â
Zaini mulai berfikir untuk menciptakan ikon berupa tugu atau monumen kopi yang bisa dikenang dan memberi kesan bagi para pengunjung yang pernah mengunjungi daerah ini. Tapi sebagai masyarakat biasa yang tidak punya akses pada kebijakan publik, akhirnya Zaini hanya bisa menyimpan ide briliannya itu di benaknya.
Inilah yang kemudian mengilhami Zaini untuk ikut terjun ke bisnis kafe, bukan semata karena latah atau mengejar keuntungan, tapi dia ingin merealisasikan ide-idenya lewat kafe, karena saat ini nongkrong di kafe seolah sudah menjadi tren, jadi menurutnya kafe juga bisa jadi media sosialisasi yang efektif tentang kopi Gayo.Â
Memanfaatkan lahan seluas sekitar 0,5 hektar miliknya yang berlokasi di desa kelahirannya, Belang Gele, sekitar 3 kilometer dari pusat kota Takengon, Zaini mulai merealisasikan idenya. Dia berprinsip, kafe yang akan dia bangun harus berbeda dengan kafe-kafe yang sudah ada dan harus punya nilai plus.
Beberapa saung yang dia sebut sebagai Jamur Gayo (jamur dalam bahasa Gayo berarti Saung, Gubuk atau Pondok), semuanya menggunakan bahan yang berasal dari tanaman kopi. Batang-batang kopi tua yang tidak produktif lagi, dia sulap menjadi pagar dan dinding pondok kopinya. Tanpa sentuhan cat atau vernis, semuanya jadi terlihat sangat alami.Â
Ditambah view berupa pemandangan alam khas desa di daerah pegunungan, tempat ini menjadi lokasi yang sangat nyaman untuk bercengkerama dengan keluarga. Suasana tenang dan nyaman karena jauh dari keramaian, juga menjadikan tempat ini ideal sebagi tempat meeting atau bertemu dengan relasi. Aneka tanaman bunga warna warni yang mengelilingi saung-saung di kafe ini, membuat suasana nyaman dan damai bagi pengunjung.
Aneka jus seperti Alpukat, Jeruk, Wortel, Nanas dan Terong Belanda, juga menjadi sajian khas kafe ini. Meski menunya hampir sama dengan kafe-kafe lainnya, tapi menikmati kuliner khas Gayo dengan pemandangan alam terbuka yang sejuk dan segar, adalah kenikmatan langka dan "mahal", ini salah satu keunggulan kafe ini.
Gagasan itu kemudian dia wujudkan dengan menyelipkan wahana edukasi bertajuk "Klinik Kopi Gayo" di kafenya. Sebuah saung khusus disediakan bagi pengunjung yang ingin "sambil menyelam minum air", atau sambil menikmati refreshing di alam terbuka bebas polusi, sekaligus juga bisa menimba ilmu dan pengalaman dari sang pemilik kafe yang skill tentang perkopiannya tidak diragukan lagi.Â
Untuk konten edukasi ini, Zaini meyediakannya secara gratis, artinya berapapun waktu konsultasi tentang kopi gayo dengannya, tidak akan dipungut bayaran, selain dari harga minuman dan makanan yang sudah dinikmati. Tak hanya menyediakan fasilitas konsultasi individu, kafe ini juga menyediakan fasilitas untuk pelatihan bagi petani dan kelompok tani yang ingin belajar intensif tentang budidaya kopi Gayo. Ini yang membuat kafe ini benar-benar berbeda., kafe bernuansa edukasi, dan mungkin sangat jarang bisa kita temui di mana pun.
Ingin menikmati nuansa berbeda dengan pemandangan alam yang asri bebas dari pencemaran lingkungan sekaligus menimba ilmu tentang kopi Gayo, Zaini dengan setia akan menunggu di Kafe Belang Gele, kafe alam dengan nuansa edukasi, bukan kafe biasa.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H