Sekitar 30 tahun silam, nama "Oros Kebayaken" atau beras Kebayakan dari dataran tinggi Gayo, Aceh Tengah adalah salah satu produk beras yang sangat dikenal di daerah ini, bahkan sempat menjadi salah satu ikon pertanian di daerah bertopografi perbukitan ini.Â
Popularitas beras Kebayakan, nyaris menyamai ketenaran 'Bareh Solok' (beras Solok) dari Sumatera Barat atau beras Rojolele dan Pandan Wangi dari Jawa Barat dan Jawa Tengah.Â
Rasa dan aroma beras Kebayakan yang khas dengan rasa nasi yang pulen dan aroma wanginya, sempat menjadikan beras ini sebagai beras premium 'first class' yang banyak di'buru' pecinta kuliner maupun ibu-ibu rumah tangga. Ditemani lauk atau sayur apapun, nasi hangat yang berasal dari beras Kebayakan, akan selalu menjadi santapan nikmat.
Wilayah Kebayakan pada waktu itu memang merupakan salah satu sentra produksi beras di Kebayakan, dan petani di daerah ini secara turun temurun terus mengembangkan padi lokal untuk menjaga kelestarian warisan leluhur masyarakat Gayo tersebut.Â
Dari segi produktivitas, padi Kebayakan memang tergolong rendah, hanya sekitar 4 ton per hektar, tapi dari segi harga, beras ini merupakan beras termahal di dataran tinggi Gayo.Â
Beras Kebayakan sendiri sebenarnya bukan nama vaietas, karena yang dikenal sebagai beras Kebayakan selama ini terdiri dari dua varietas lokal yaitu Rom Poteh atau beras putih dengan ciri khas bentuk beras bulat panjang dengan warna jernih mengkilat dan Rom Ilang atau beras merah dengan bentuk sama tapi warnanya putih kemerahan.Â
Entah karena kondisi lahan dan agroklimatnya, padi Kebayakan memang hanya cocok dikembangkan di daerah Kebayakan dan kurang berhasil jika dikembangkan di wilayah lain di kabupaten Aceh Tengah. Khusus untuk Rom Poteh, tahun lalu sudah mendapatkan pengakuan dari Kementerian Pertanian sebagai varietas padi lokal spesifik nasional.
Namun seiring dengan perkembangan wilayah Kabupaten Aceh Tengah, wilayah Kebayakan yang merupakan daerah pinggiran kota, akhirnya ikut terimbas. Lahan-lahan sawah mulai beralih fungsi menjadi bangunan sipil, baik bangunan pemerintah maupun pemukiman penduduk.Â
Hanya dalam tempo kurang lebih tiga puluh tahun, telah terjadi penurunan drastis luas areal sawah di kawasan ini. Jika pada tahun 1990, luas lahan sawah di wilayah Kebayakan masih ada sekitar 900 hektar, kini lahan sawahnya 'menciut' secara signifikan, hanya tinggal 195 hektar saja (sumber Data Statistik Pertanian Kabupaten Aceh Tengah, 2017), itupun sebagian telah beralih fungsi menjadi lahan hortikultura karena ketersediaan air tidak mencukupi.
Padi lokal terancam punahÂ
Semakin menciutnya lahan sawah di wilayah Kebayakan (sekarang menjadi Kecamatan Kebayakan), secara otomatis kemudian dibarengi dengan menurunnya intensitas penanaman padi lokal ini.Â
Kebanyakan petani pemilik lahan memang masih bertahan dengan varietas lokal ini, namun semakin menyempitnya lahan sawah yang ada, berdampak pada penurunan produksi beras Kebayakan. Akibatnya 'Oros Kebayaken' yang dulu sempat megah itu semakin langka di pasaran dan sulit didapatkan. Kalau kondisi demikian dibiarkan, bukan tidak mungkin, nama beras Kebayakan dalam beberapa tahun kedepan hanya akan tinggal menjadi kenangan saja.
Di mata Ayu, nama panggilan penyuluh yang juga Kepala Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Kebayakan ini, padi lokal di wilayah kerjanya ini merupakan salah salah satu kekayaan plasma nutfah yang keberadaannya harus tetap dipertahankan, karena pernah menjadi symbol kejayaan daerah ini.Â
Meski dari segi produktifitas tidak terlalu signifikan untuk mendukung program percepatan swasembada pangan, Â namun keberadaan kekayaan plasma nutfah lokal ini sangat penting dan tidak ternilai harganya.Â
Padi lokal Gayo pada umumnya mepunyai keunggulan rasa, aroma dan performance (tampilan fisik) serta lebih resisten terhadap serangan hama dan penyakit tanaman, namun kelemahannya produktifitasnya relatif rendah, umur panen lumayan panjang (sekitar 7 bulan), Â batang tinggi dan rentan rebah tertiup angin.
Namun sebagai seorang penyuluh pertanian, Ayu nyaris tidak memiliki 'power' untuk bisa berperan mempertahankan kekayaan plasma nutfah tersebut, selain hanya menganjurkan kepada petani di wilayah binaannya untuk mempertahankan varietas lokal ini. Meski demikian Ayu tidak lantas berdiam diri, secara swadaya dia mulai melakukan invatarisasi dan identifikasi beberapa jenis padi lokal yang selama ini berkembang di wilayah binaannya.Â
Tak segan dia bertanya kepada para orang tua, tokoh masyarakat maupun pegiat pertanian di wilayah kerjanya untuk mengetahui persis varieats-varietas lokal yang pernah 'berjaya' pada masanya itu. Tidak adanya referensi tentang jenis atau padi lokal di kabupaten Aceh Tengah memang menjadi salah satu kendala bagi Ayu, namun dia tidak berputus asa, dan terus berusaha 'menggali' sendiri dari nara sumbernya. Agak kesulitan memang bagi Ayu ketika harus 'menterjemahkan' nama- nama padi lokal yang rata-rata menggunakan bahasa Gayo tersebut, karena nyaris tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia maupun bahasa latin.
Ikut melestarikan varietas padi lokal..
Bak kata pepatah 'Pucuk dicinta, ulampun tiba', begitu mungkin yang kemudian membuat penyuluh cantik bertubuh 'subur' ini. Disaat kebuntuannya memuncak terkait literasi dan referensi tentang jenis dan varietas padi lokal yang ingin tetap dia pertahankan kelestariannya, ternyata para peneliti dari Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Aceh juga punya keprihatinan yang sama. Seperti mendapat motivasi dan spirit baru, Ayu pun menyambut hangat kedatangan para peneliti dari Unsyiah dan BPTP Aceh tersebut, dan mulailah mereka melakukan pendataan riil di lapangan.
Dari para peneliti di kampus almamaternya itu, Ayu jadi tau bahwa sebenarnya ada sekitar 100 varietas padi lokal di Aceh Tengah, namun kini tinggal kurang dari 25 persen saja yang masih bisa ditelurusi keberadaannya. Â Dan diantara vaietas yang masih bisa ditemui jejaknya adalah Rom Poteh dan Rom Ilang yang dikenal sebagai Rom Kebayaken atau Padi Kebayakan yang selama ini menjadi sumber keprihatinannya, karena kelestariannya mulai terancam.
Penyuluh yang merupakan alumni Fakultas Pertanian Unsyiah kelahiran 28 Agustus 1980 ini kini agak sedikit lega, upayanya untuk ikut melestarikan plasma nutfah lokal asali di daerahnya  kini mulai 'menemukan jalan'nya. Beberapa varietas padi lokal Aceh Tengah yang telah berhasil diidentifikasi, rencananya akan akan dimurnikan di laboratorium BPTP Aceh di Keumala, Pidie dan pada waktunya nanti akan dikembalikan ke daerah asalnya untuk dikembangkan oleh petani.
Jika padi Kebayakan bisa dikembangkan di wilayah lain, Insya Allah kejayaan beras Kebayakan akan kembali terulang. Jika program pelestarian ini berhasil, nama beras Kebayakan kemungkinan akan kembali 'bersinar' bersama beras unggul lokal lainnya dari Aceh seperti beras Tangse, beras Keuamala dan beras Pulo Aceh.
Dari segi aroma dan rasa beras Kebayakan dan beras lokal Aceh lainnya memang tidak kalah dengan beras Ramos, Rojolele maupun Pandan Wangi. Beras Kebayakan adalah 'legenda' pertanian Gayo, dan jika kelestariannya tidak mendapatkan perhatian para pihak, suatu saat kelak bukan tidak mungkin hanya menjadi legenda. Dan Ayuseara Putri Gayosia, SP, MP, penyuluh berdarah asli Gayo ini tidak rela kalao kekayaan plasma nutfah lokal didaerahnya musnah tanpa upaya apapun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H