Kebanyakan petani pemilik lahan memang masih bertahan dengan varietas lokal ini, namun semakin menyempitnya lahan sawah yang ada, berdampak pada penurunan produksi beras Kebayakan. Akibatnya 'Oros Kebayaken' yang dulu sempat megah itu semakin langka di pasaran dan sulit didapatkan. Kalau kondisi demikian dibiarkan, bukan tidak mungkin, nama beras Kebayakan dalam beberapa tahun kedepan hanya akan tinggal menjadi kenangan saja.
Di mata Ayu, nama panggilan penyuluh yang juga Kepala Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Kebayakan ini, padi lokal di wilayah kerjanya ini merupakan salah salah satu kekayaan plasma nutfah yang keberadaannya harus tetap dipertahankan, karena pernah menjadi symbol kejayaan daerah ini.Â
Meski dari segi produktifitas tidak terlalu signifikan untuk mendukung program percepatan swasembada pangan, Â namun keberadaan kekayaan plasma nutfah lokal ini sangat penting dan tidak ternilai harganya.Â
Padi lokal Gayo pada umumnya mepunyai keunggulan rasa, aroma dan performance (tampilan fisik) serta lebih resisten terhadap serangan hama dan penyakit tanaman, namun kelemahannya produktifitasnya relatif rendah, umur panen lumayan panjang (sekitar 7 bulan), Â batang tinggi dan rentan rebah tertiup angin.
Namun sebagai seorang penyuluh pertanian, Ayu nyaris tidak memiliki 'power' untuk bisa berperan mempertahankan kekayaan plasma nutfah tersebut, selain hanya menganjurkan kepada petani di wilayah binaannya untuk mempertahankan varietas lokal ini. Meski demikian Ayu tidak lantas berdiam diri, secara swadaya dia mulai melakukan invatarisasi dan identifikasi beberapa jenis padi lokal yang selama ini berkembang di wilayah binaannya.Â
Tak segan dia bertanya kepada para orang tua, tokoh masyarakat maupun pegiat pertanian di wilayah kerjanya untuk mengetahui persis varieats-varietas lokal yang pernah 'berjaya' pada masanya itu. Tidak adanya referensi tentang jenis atau padi lokal di kabupaten Aceh Tengah memang menjadi salah satu kendala bagi Ayu, namun dia tidak berputus asa, dan terus berusaha 'menggali' sendiri dari nara sumbernya. Agak kesulitan memang bagi Ayu ketika harus 'menterjemahkan' nama- nama padi lokal yang rata-rata menggunakan bahasa Gayo tersebut, karena nyaris tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia maupun bahasa latin.
Ikut melestarikan varietas padi lokal..
Bak kata pepatah 'Pucuk dicinta, ulampun tiba', begitu mungkin yang kemudian membuat penyuluh cantik bertubuh 'subur' ini. Disaat kebuntuannya memuncak terkait literasi dan referensi tentang jenis dan varietas padi lokal yang ingin tetap dia pertahankan kelestariannya, ternyata para peneliti dari Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Aceh juga punya keprihatinan yang sama. Seperti mendapat motivasi dan spirit baru, Ayu pun menyambut hangat kedatangan para peneliti dari Unsyiah dan BPTP Aceh tersebut, dan mulailah mereka melakukan pendataan riil di lapangan.
Dari para peneliti di kampus almamaternya itu, Ayu jadi tau bahwa sebenarnya ada sekitar 100 varietas padi lokal di Aceh Tengah, namun kini tinggal kurang dari 25 persen saja yang masih bisa ditelurusi keberadaannya. Â Dan diantara vaietas yang masih bisa ditemui jejaknya adalah Rom Poteh dan Rom Ilang yang dikenal sebagai Rom Kebayaken atau Padi Kebayakan yang selama ini menjadi sumber keprihatinannya, karena kelestariannya mulai terancam.