Salah satu kekhasan provinsi Aceh sehingga dulu pernah disebut sebagai Daerah Istimewa Aceh, adalah keistimewaan di bidang adat istiadat atau tradisi.Â
Banyak sekali adat atau tradisi masyarakat Aceh yang tidak ditemui di daerah lain, karena memang hanya berlaku di daerah Aceh. Kalaupun tradisi tersebut dilakukan di luar Aceh, pasti yang melakukannya adalah masyarakat Aceh yang tinggal di perantauan.
Salah satu tradisi yang sampai saat ini masih terus melekat dan dilakukan oleh masyarakat secara turun temurun, adalah kenduri atau dalam bahasa Aceh dikenal dengan Khauri atau Khanduri.Â
Tradisi khauri atau khanduri ini merupakan bentuk kebersamaan masyarakat yang sangat kental, diwujudkan dengan acara makan bersama dalam berbagai momentum.Â
Begitu lekatnya tradisi kenduri ini, sehingga dalam kalender masyarakat Aceh yang mengikut penanggalan hijriah, hampir setiap bulan ada kenduri yang dilakukan oleh masyarakat Aceh.
Di bulan pertama dalam kalender Hijriah atau bulan Muharam, masyarakat Aceh biasa menggelar khanduri Assyura. Kanduri ini merupakan acara syukuran sekaligus tolak bala dengan menyajikan masakan berupa bubur yang dimasak dengan campuran berbagai rempah, sayur dan buah-buahan.Â
Bulan Rabiul Awal sampai dengan bulan Jumadil Akhir, oleh masyarakat Aceh dikenal dengan bulan "Mulot" atau bulan Maulud. Diawali dengan peristiwa kelahiran Nabi Mumammad SAW sampai tiga bulan berikutnya, masyarakat Aceh sudah biasa menggelar "Khauri Mulot".
Khauri mulot merupakan tradisi syukuran atas kelahiran rasul terakhir yang membawa ajaran agama Islam yang notabene merupakan agama mayoritas yang dianut oleh masyarakat Aceh. Khauri mulot dilaksanakan dengan cara berkumpul di masjid, musala atau balai pertemuan, di mana semua anggota mayarakat membawa berbagai jenis menu makanan yang kemudian dinikmati bersama-sama.Â
Khauri mulot juga boleh dibilang sebagai "pesta kuliner Aceh" karena dalam kenduri ini, nyaris semua jenis kuliner mulai dari berbagai jenis kue, daging, ikan dan masakan lainnya terhidang dalam kenduri tersebut.
Di bulan Rajab, masyarakat mengenal khanduri apam, di mana masyarakat membuat berbagai jenis apam dalam jumlah banyak, kemudian dibawa ke lapangan dimana sudah berkumpul banyak orang.Â
Khanduri apam biasanya diawali dengan pengajian dan tausiah untuk memperingati peristiwa Isra miraj Nabi Muhammad SAW dan diakhiri dengan pembagian apam kepada semua yang hadir.Â
Apam juga menjadi "jamuan wajib' bagi para tamu yang datang atau sengaja diundang oleh masyarakat Aceh di bulan tersebut. Bulan berikutnya yaitu bulan Sya'ban, di kalangan masyarakat Aceh dikenal khanduri Bu (kenduri nasi), kenduri ini dilaksanakan tepat pada malam ke 15 bulan Sya'ban atau yang dikenal dengan Nisfu Sya'ban.Â
Masarakat membawa nasi dan berbagai jenis lauk ke masjid atau musala (meunasah) kemudian menyantapnya bersama-sama setelah diawali dengan shalat berjamaan dan do'a bersama.
Di samping kenduri yang sudah ditentukan bulannya, ada juga kenduri yang sifatnya insidentil seperti Khauri Laot yang dilaksanakan untuk memulai aktifitas menangkap ikan di laut, atau Khauri Blang yang dilakukan sebagai tanda dimulainya musim bersawah.Â
Semua jenis kenduri tersebut bertujuan untuk memohon keselamatan dan keberkahan, karena dalam setiap kenduri tersebut selalu dimulai dengan doa bersama yang dipimpin oleh Tengku atau ulama setempat.
Khanduri Boh Kayee
Ada satu lagi kenduri adat masyarakat Aceh yang cukup unik, biasanya kenduri ini dilakukan pasca Idul Fitri atau memasuki bulan Dzulkaidah. Kenduri tersebut dinamai Kanduri Boh Kayee atau kenduri buah-buahan, karena dalam kenduri tersebut yang dihidangkan berupa beragai macam buah-buahan lokal baik dalam bentuk segar maupun dalam bentuk olahan seperti rujak, sate buah dan manisan buah.Â
Dalam tradisi masyarakat Aceh, kenduri ini biasa digelar saat memasuki masa panen buah-buahan, di mana sebagian besar hasil panen mereka, bisa segera mereka pasarkan untuk menambah pendapatan mereka. Wilayah Aceh dengan kondisi agroklimat dan topografi beragam, memang memiliki potensi pengembangan berbagai jenis buah-buahan.Â
Di wilayah tengah atau yang dikenal dengan dataran tinggi Gayo, dihasilkan buah jeruk keprok, alpukat, nanas, markisa, kesemek, terong belanda dan sebagainya. Sementara di wilayah pesisir, terdapat potensi buah rambutan, mangga, manggis, berbagai jenis pisang, durian, sawo, pala, semangka, timun, pepaya dan sebagainya.
Dalam upaya melestarikan kearifan lokal itulah, kemudian Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh mencoba kembali mensosialisasikan khanduri boh kayee ini melalui event budaya Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke VII yang digelar pada tahun 2018 ini.Â
Menurut Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh, A. Hanan, SP, MP, selain sebagai upaya melestarikan tradisi dan kearifan lokal, simulasi khanduri boh kayee ini juga sebagai upaya untuk mempromosikan potensi pengembangan buah-buahan di provinsi Aceh yang diharapkan akan mampu mendongkrak kesejahteraan masyarakat.
"Provinsi Aceh memiliki keragaman potensi pengembangan buah-buahan spesifik yang meiliki nilai ekonomis cukup tinggi, melalui simulasi khanduri boh kayee ini selain sebagai upaya melestarikan budaya Aceh juga sebagai salah satu media untuk mempromosikan potensi pengembangan buah-buahan di Aceh sehingga mampu membuka pangsa pasar produk buah-buhan yang kita hasilkan, dengan demikian kesejahteraan petani buah akan terangkat" ungkap Hanan dalam sambutannya dalam pembukaan acara Khanduri Boh Kayee yang dilaksanakan di stand Distanbun Aceh di arena PKA VII.
Sementara Wakil Ketua Tim Penggeraka PKK Aceh, Dyah Erti Idawati yang membuka piasan tersebut, menyambut gembira upaya Distanbun Aceh untuk ikut melestarikan salah satu budaya Aceh ini.Â
Lebih lanjut Dyah yg merupakan isteri dari Plt Gubernur Aceh, Ir. Nova Iriansyah, MT Ars itu mengungkapkan bahwa Aceh memiliki potensi kuliner dan buah yang luar biasa, untuk itu kuliner Aceh harus terus diperkenalkan dan dipromosikan, bukan saja di dalam negeri tapi sampai ke manca negara.
Dalam piasan khanduri boh kayee di ajang PKA VII ini, Distanbun Aceh menampilkan berbagai buah-buahan asli Aceh seperti Alpukat Gayo, Jeruk Keprok, Apel Gayo, Rambutan, Mangga, Sawo, Manggis, Semangka, Pepaya, Pisang dan berbagai jenis buah-buahan spesifik lainnya. Selain itu berbagai jenis olahan buah seperti manisan pala, pisang sale, rujak Aceh dan sebagainya juga disediakan bagi pengunjung dalam piasan ini.
Turut hadir dalam pembukaan Khanduri Boh Kayee yang merupakan bagian dari Festival Kuliner Aceh ini, Ketua Tim Penggerak PKK Aceh, Darwati A. Gani, Kepala Dinas Pangan, Dr, Ir. Ilyas, MP, Wakil Bupati Aceh Tengah, Firdaus, SKM dan beberapa pejabat di lingkungan Pemerintah Aceh maupun pejabat dari kabupaten atau kota se-Aceh.
Melalui piasan Khanduri Boh Kayee ini, potensi buah-buahan spesifik Aceh akan semakin dikenal oleh khalayak, karena event Pekan Kebudayaan Aceh yang digelar dari tanggal 5 sampai 15 Agustus 2018 ini diperkirakan akan dikunjungi ribuan pengunjung dari dalam maupun luar Aceh bahkan dari beberapa negara tetangga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H