Mohon tunggu...
Fathan Muhammad Taufiq
Fathan Muhammad Taufiq Mohon Tunggu... Administrasi - PNS yang punya hobi menulis

Pengabdi petani di Dataran Tinggi Gayo, peminat bidang Pertanian, Ketahanan Pangan dan Agroklimatologi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Meski Lulusan SMA, Petani Kopi ini Gajinya Setara "Eselon Dua"

29 Januari 2018   10:06 Diperbarui: 29 Januari 2018   13:18 3258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 4. Kebun kopi arabika milik Zaini di Atu Lintang, Aceh Tengah yang terawat dengan baik, salah satu penyebab kerinduan Zaini untuk kembali ke tanah kelahirannya (Doc. FMT)

Dataran tinggi Gayo nyaris identik dengan kopi arabika, karena wilayah tengan provinsi Aceh yang didominasi oleh perbukitan ini memang sudak sejak lama dikenal sebagai salah satu daerah penghasil kopi arabika, bahkan memiliki areal perkebunan kopi rakyat terluas di Indonesia. Begitu juga petani yang mendiami daerah ini, juga identik dengan petani kopi, karena memang sebagian besar petani di dua kabupaten (Aceh Tengah dan Bener Meriah) ini memang menggantungkan hidup mereka dari bertani kopi. 

Komoditi perkebunan ini pulalah yang akhirnya menjadi penyangga perekonomian di daerah ini. Belakangan nama kopi Gayo kian melejit, seiring makin populernya kopi arabika yang bearsal dari daerah ini di mancanegara, baik di kawasan Eropa maupun Amerika, bahkan kini kopi arabika Gayo menjadi kopi termahal di dunia.

Namun meski sektor pertaniannya didominasi oleh komoditi kopi arabika, tidak semua petani di daerah ini memahami seluk beluk tentang budidaya kopi, karena sebagian besar petani memang masing menganut pola konvensional dalam budidaya kopi. Produktivitas rata-rata kopi Gayo memang masih tergolong rendah, baru sekitar 800 kilogram green bean per hektar per tahun. 

Padahal kalau dikelola dan dirawat dengan intensif, produktivitasnya bisa didongkrak sampai 2 ton per hektarnya. Tapi belum banyak petani yang benar-benar melakukan teknis budidaya kopi mereka secara intensif, hanya ada beberapa orang saja yang benar-benar mampu melakukan usaha tani kopi mereka secara intensif.

Sosok Zaini, petani Kopi Gayo yang skillnya diakui diman-mana (Doc. FMT)
Sosok Zaini, petani Kopi Gayo yang skillnya diakui diman-mana (Doc. FMT)
Salah seorang petani yang kemudian dikenal memiliki pengetahuan dan skill yang sangat mumpuni dalam bidang budidaya kopi adalah Zaini. Pria kelahiran Takengon, 7 Maret 1965 ini, sejak menamatkan SMAnya pada tahun 1984 yang lalu, memang langsung 'terjun' sebagai petani kopi. Dia sangat yakin bahwa kopi lah satu-satunya komoditi yang akan bisa mengangkat kesejahteraan bagi keluarganya. 

Sebagai sosok pekerja keras, Zaini ingin total dalam bertani, dia tidak ingin hanya sekedar coba-coba atau latah seperti petani lainnya. Sambil membuka lahan pertaniannya yang berada di desa Merah Mege, Atu Lintang, dia terus meperdalam ilmu dan keterampilannya di bidang perkopian. Inilah yang kemudian membuat kebun kopi miliknya berbeda dengan kebun kopi milik petani lainnya. Kebun kopi seluas hampir 4 hektar itu terawatt dengan sangat baik, dan tentu saja produktivitasnya tinggi dan kualitas kopinyapun sangat baik.

Gambar 2, Zaini sangat paham dengan seluk beluk teknis budidaya kopi arabika (Doc. FMT)
Gambar 2, Zaini sangat paham dengan seluk beluk teknis budidaya kopi arabika (Doc. FMT)
Menjadi 'Guru" bagi petani kopi Gayo.

Inilah yang kemudian membuat kebun kopi milik Zaini menjadi pusat pembelajaran bagi petani baik petani lokal maupun luar daerah. Para peneliti dari berbagai perguruan tinggi juga sering memanfaatkan kebun kopi miliknya ini sebagai obyek penelitian kopi Gayo. Begitu juga turis asing maupun calon buyer dari luar negeri, sering manjadikan kebun kopi yang berada pada ketinggian 1.600 meter di atas permukaan laut ini sebagai obyek kunjungan dan referensi tentang kopi Gayo.

Keberhasilan Zaini dalam membudidayakan kopi arabika secara intensif ini yang kemudian menarik perhatian NGO CII (Conservatioan International Indonesia) untuk menjadikan kebun milik Zaini sebagai pilot project pelatihan dan pemberdayaan petani. CII juga melihat pengetahuan dan skill yang dimiliki oleh Zaini memang layak untuk ditiru dan dijadikan contoh bagi petani yang waktu itu menjadi peserta kegiatan pemberdayaan petani yang difasilitasi oleh NGO tersebut.

Tak hanya petani lokal saja yang kemudian berduyun mendatangi tempat ini untuk belajar tentang teknik budidaya kopi yang baik, para petani dari provinsi tatangga yaitu Sumatera Utara juga banyak yang berdatangan untuk belajar intens tentang budidaya kopi arabika. Tanpa pamrih, Zaini pun melayani siapapun yang datang untuk belajar kepadanya, karena dalam benaknya, dia menginginkan semua petani mampu melakukan budidaya kopi seperti yang telah dilakukannya, sehingga kesejahteraan mereka bisa terangkat.

Menyadari bahwa ilmu dan skillnya dibutuhkan orang lain, Zaini kemudian membentuk Forum Pusat Pelatihan Pertanian Perdesaan Swadaya (P4S) di daerahnya, di mana dia kemudian ditunjuk sebagai ketuanya. Melalui wadah P4S inilah, kemudian Zaini secara swadaya dan sukarela memberikan pelatihan kepada para petani kopi secara gratis. 

Tak hanya bagi petani di daerahnya, kepada petani yang datang dari luar daerah pun, dia juga memberikan pelayanan pelatihan gratis. Baginya hasil perkebunan kopinya sudah lebih dari cukup untuk mendanai kegiatan sosialnya ini, dan pengabdiannya ini dia anggap sebagai bentuk rasa syukurnya atas nikmat Tuhan yang telah diberikan kepadanya. Dalam posisi ini, Zaini benar-benar sudah menjadi seorang 'guru', bukan saja bagi para petani kopi di daerahnya, tapi bagi siapa saja yang ingin belajar darinya.

Namun sayangnya, kerja sukarela yang telah dilakukan oleh Zaini, nyaris tidak mendapatkan respon dari pemerintah daerah setempat. Fasilitas pelatihan berupa bangunan semi permanen berukuran 10 x 40 meter yang berdiri di lahan kebun kopi miliknya itu pun bukan berasal dari bantuan pemerintah daerah, tapi berkat donasi dari CII ditambah dengan swadaya dari kocek pribadinya. Ini yang kemudian membuat Zaini seperti menyimpan sebuah kekecewaan, namun itu tidak mempengaruhi semangat pengabdiannya kepada petani kopi di daerahnya, dia terus menggeluti aksi sosilanya tanpa mengenal pamrih.

Seringnya para petani dari luar daerah, khususnya dari Sumatera Utara, membuat nama Zaini mulai dikenal oleh berbagai kalangan di provinsi tetangganya itu. Begitu juga dengan aktivitasnya mempromosikan kopi Gayo ke berbagai daerah di Indonesia, membuat namanya banyak dikenal oleh berbagai kalangan. 

Dia pernah membawa nama harum Kopi Gayo dalam Festival Kopi Spesialti Dunia di Denpasar Bali, beberapa kali mengikut sertakan kopi Gayo dalam Festival Kopi Nusantara, semuanya dia lakukan secara swadaya, karena dia seperti berpantang untuk 'meminta-minta' kepada pemerintah daerah yang selama ini dia tau sangat minim apresiasi terhadap yang dia lakukan untuk daerahnya.

Terlanjur dikenal sebagai pakar budidaya kopi yang memiliki skill yang sangat memadai, akhirnya Zaini sering diundang ke berbagai daerah untuk memberikan pelatihan kepada petani kopi. Difasilitasi oleh NGO yang mendukung aktifitasnya selama ini, Zaini pun mulai melanglang nusantara dari satu daerah ke daerah lainnya. Ini yang kemudian membuat nama Zaini sekain dikenal oleh banyak kalangan. Belakangan, organisasi pangan dan pertanian dunia FAO (Food and Agricultural Organisation) secara khusus mengontraknya untuk membantu program pemberdayaan petani kopi di wlayah Sumatera Utara.

Dilirik pengusaha kopi di Tanah Karo

Sekitar enam bulan dijalaninya berkeliling berbagai daerah di sumatera utara dibawah 'bendera' FAO, kemampuan Zaini mulai dilirik oleh pelaku usaha pertanian di Sumatera Utara. Banyak pihak yang kemudian ingin menjalin kerjasama dengannya, tawaran demi tawaran dari berbagai pihak pun mulai berdatangan, seolah 'berebut' untuk menarik Zaini menjadi konsultan di perusahaan mereka.

Begitu selesai menjalankan kotraknya dengan FAO, sebuah perusahaan agribisnis, PT Agro Kopi Karo langsung 'menyandera'nya. Perusahaan yang bergerak dalam bidang perdagangan kopi dari hulu ke hilir ini, langsung "mengikat" Zaini untuk menjadi konsultan kopi di perushaan tersebut. Perusahaan yang berpusat di kabupaten Tanah Karo, Sumatera Utara itu memang memiliki ribuan petani binaan yang tersebar di seantero kabupaten Tanah Karo. 

Peningkatan kualitas kopi arabika mulai dari hulu yaitu di tingkat petani, memang menjadi salah satu fokus dari perusahaan ini. Dan untuk membina petani kopi di daerah ini, dibutuhkan seorang yang meiliki pengetahuan dan skill memadai di bidang teknis budidaya kopi. Melihat 'sepak terjang' Zaini selama ini, manajemen perusahaan itu menganggap bahwa merekrut Zaini sebagai konsultan bagi petani petani binaan mereka adalah langkah yang sangat tepat, karena kapasitas Zaini sudah tidak diragukan lagi.

Merasa diberikan kepercayaan penuh, Zaininpun mulai menunjukkan totalitasnya, dia tidak ingin mengecewakan pihak yang telah merekrut dan memberi apresiasi yang cukup besar kepadanya. Tanpa sungkan lagi, Zaini pun mulai 'blusukan' dari satu daerah ke daerah lainya untuk memberikan bimbingan dan pembelajaran kepada para petani yang sebagian besar berada di kaki Gunung Sinabung itu. Yang kemudian membuat dia semakin bersemangat, adalah karena para petani di Tanah Karo itu begitu antusias menerima pembelajaran dari Zaini.

Tak sekedar membina petani, Zaini pun mulai menyiapkan kader-kader lokal yang memiliki potensi untuk membantunya dalam melakukan pembinaan kepada petani di daerah itu. Dia menyadari, dengan cakupan wilayah yang sangat luas, tidak mungkin dia 'bermain' sendiri, itulah sebabnya, secara spesifik dia kemudian membina kader-kader budidaya kopi, baginya tidak ada ruginya berbagi ilmu dan skill kepada orang lain. Menjelang dua tahun keberdaannya di Tanah Karo, dia sudah berhasil membina sekitar seratus orang kader yang sudah bisa dia andalkan untuk membantu bahkan sesekali menggantikan posisinya.

Gambar 3. Totalitas Zaini membina petani kopi arabika di Tanah Karo (Doc. FMT)
Gambar 3. Totalitas Zaini membina petani kopi arabika di Tanah Karo (Doc. FMT)
Gajinya setara pejabat eselon dua

Sebagai konsultan pada sebuah perusahan besar, tentu saja skill yang dimiliki oleh Zaini 'dihargai' cukup mahal. Meski scara formal hanya mengantongi ijazah setingkat SMA, namun karena ilmu dan skill yang dimilikinya termasuk langka, maka tak heran jika imbalan yang diterimanya juga lumayan 'fantastis'. 

Ketika penulis mencoba bertanya tentang 'gaji'nya sebagai konsultan, Zaini secara berseloroh mengatakan kalau penghasilannya selama berada di Tanah Karo tidak kalah dengan pendapatan pajabat eselon dua di daerahnya. Malu-malu, dia menyebut angka 16 - 20 juta per bulan, cukup fantastis bukan? Tak hanya gaji yang dia peroleh, perusahaan juga sudah menyediakan fasilitas tempat tinggal baginya sehingga dia dapat menjalankan aktifitasnya dengan nyaman.

Tapi bukan fasilitas atau gaji besar itu yang membuat Zaini merasa 'betah' berada di perantauan, animo dan antusias petani serta dampak nyata dari apa yang sudah dia lakukannya, itu yang membuat kepuasan batinnya. Hanya dalam tempo kurang lebih dua tahun, sudah terjadi peningkatan prodktivitas kopi arabika Karo yang cukup signifikan. 

Kalau dulu kopi hanya dianggap sebagai tanaman selingan, kini sudah menjadi komoditi utama yang menjadi salah satu andalan ekonomi warga Karo. Budidaya kopi di Tanah Karo yang dulunya 'asal-asalan', kini juga telah berubah menjadi budidaya intensif, dan semua itu berkat campur tangan Zaini yang dengan tekun dan sabar membina mereka. Itu pulalah yang menyebabkan PT Agro Kopi Karo mati-matian terus mempertahankan keberadaan Zaini di Tanah Karo.

Namun meski fokus membina petani di Kaki Gunung Sinabung, Zaini juga diberikan kebebasan untuk melakukan aktifitas serupa di daerah lain. Itulah sebabnya, sekarang Zaini sering 'lompat pagar' memenuhi permintaan untuk ikut membina petani kopi di daerah Simalungun, Humbalang Hasundutan (Humbahas), bahkan sampai ke Tapanuli Selatan. Dikenalnya Zaini yang memiliki skill di bidang perkopian, membuat banyak daerah yang 'berebut' ingin menimba ilmu darinya.

Menjelang berakhir 'masa kontrak'nya di Tanah Karo, sepertinya Zaini tidak serta merta bisa segera kembali ke tanah asalnya, sudah banyak tawaran dari berbagai daerah dan perushaan di Sumatera Utara yang ingin merekrutnya, bahkan dengan iming-iming gaji yang jauh lebih besar. Disitu dia mulai menyadari betapa mahlnya sebuah ilmu dan skill, meski di daerahnya sendiri kurang dihargai, ternyata di daerah lain justru dia sangat dicari dan dibutuhkan.

Tetap rindukan Gayo

Sebagai petani yang lahir dan dibesarkan di tanah Gayo, Zaini tetap merindukan tanah kelahirannya itu. Meski selama ini dia telah mendapatkan semua yang dia inginkan, namun sebagai putra Gayo, dia tetap menyimpan keinginan besar untuk memajukan daerahnya sesuai dengan skill yang dimilikinya. 

Bak pepatah 'Hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri', itulah yang selalu terpatri dalam benaknya. Meski di daerah lain dia telah mendapatkan gaji dan fasilitas menggiurkan, namun kemajuan pertanian di daerahnya tetap menjadi impian utamanya. Meskipun terkadang ada keraguan dalam dirinya, mengingat selama ini nyaris tidak ada perhatian dari pemerintah di daerahnya, namun itu tidak memupus semangatnya untuk memajukan dan mensejahterakan petani di daerahnya.

Sebenarnya, sebelum dia melanglangbuana ke provinsi tetangga, sudah banyak kiprah yang dia lakukan untuk daerahnya. Banyak petani kopi Gayo yang dulu pernah dibinanya baik secara individu maupun melalui wadah P4S yang kiti sudah berhasil dengan usaha tani kopi mereka. Namun melihat, produktivitas kopi arabika di daerahnya yang dari waktu ke waktu hanya 'segitu-segitu' saja, timbul keinginan kuat baginya untuk segera kembali ke Gayo untuk ikut berperan aktif membina petani kopi di tanah kelahirannya. 

Di samping itu kebun kopi miliknya seluas 4 hektar yang berada di Desa Merah Mege, Atu Lintang, Aceh Tengah yang telah lama ditinggalkannya itu, sering membuat kerinduannya untuk kembali ke Tanah Gayo semakin menggebu.

Gambar 4. Kebun kopi arabika milik Zaini di Atu Lintang, Aceh Tengah yang terawat dengan baik, salah satu penyebab kerinduan Zaini untuk kembali ke tanah kelahirannya (Doc. FMT)
Gambar 4. Kebun kopi arabika milik Zaini di Atu Lintang, Aceh Tengah yang terawat dengan baik, salah satu penyebab kerinduan Zaini untuk kembali ke tanah kelahirannya (Doc. FMT)
Memang untuk sementara dia harus memamendam 'mimpi'nya itu, karena kiprahnya di Sumatera Utara belum usai, dia ingin menyelesaikan tanggung jawab yang diembannya dengan baik sebelum kembali ke tanah 'Tembuni"nya. Itulah sosok Zaini, meski skillnya 'dihargai' begitu tinggi di luar daerah, namun jiwa pengabdiannya untuk tanah kelahirannya tidak pernah pupus, meski dia tau, di daerah asalnya, dia tidak mendapat apresiasi sebagaimana mestinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun