Dataran tinggi Gayo nyaris identik dengan kopi arabika, karena wilayah tengan provinsi Aceh yang didominasi oleh perbukitan ini memang sudak sejak lama dikenal sebagai salah satu daerah penghasil kopi arabika, bahkan memiliki areal perkebunan kopi rakyat terluas di Indonesia. Begitu juga petani yang mendiami daerah ini, juga identik dengan petani kopi, karena memang sebagian besar petani di dua kabupaten (Aceh Tengah dan Bener Meriah) ini memang menggantungkan hidup mereka dari bertani kopi.Â
Komoditi perkebunan ini pulalah yang akhirnya menjadi penyangga perekonomian di daerah ini. Belakangan nama kopi Gayo kian melejit, seiring makin populernya kopi arabika yang bearsal dari daerah ini di mancanegara, baik di kawasan Eropa maupun Amerika, bahkan kini kopi arabika Gayo menjadi kopi termahal di dunia.
Namun meski sektor pertaniannya didominasi oleh komoditi kopi arabika, tidak semua petani di daerah ini memahami seluk beluk tentang budidaya kopi, karena sebagian besar petani memang masing menganut pola konvensional dalam budidaya kopi. Produktivitas rata-rata kopi Gayo memang masih tergolong rendah, baru sekitar 800 kilogram green bean per hektar per tahun.Â
Padahal kalau dikelola dan dirawat dengan intensif, produktivitasnya bisa didongkrak sampai 2 ton per hektarnya. Tapi belum banyak petani yang benar-benar melakukan teknis budidaya kopi mereka secara intensif, hanya ada beberapa orang saja yang benar-benar mampu melakukan usaha tani kopi mereka secara intensif.
Sebagai sosok pekerja keras, Zaini ingin total dalam bertani, dia tidak ingin hanya sekedar coba-coba atau latah seperti petani lainnya. Sambil membuka lahan pertaniannya yang berada di desa Merah Mege, Atu Lintang, dia terus meperdalam ilmu dan keterampilannya di bidang perkopian. Inilah yang kemudian membuat kebun kopi miliknya berbeda dengan kebun kopi milik petani lainnya. Kebun kopi seluas hampir 4 hektar itu terawatt dengan sangat baik, dan tentu saja produktivitasnya tinggi dan kualitas kopinyapun sangat baik.
Inilah yang kemudian membuat kebun kopi milik Zaini menjadi pusat pembelajaran bagi petani baik petani lokal maupun luar daerah. Para peneliti dari berbagai perguruan tinggi juga sering memanfaatkan kebun kopi miliknya ini sebagai obyek penelitian kopi Gayo. Begitu juga turis asing maupun calon buyer dari luar negeri, sering manjadikan kebun kopi yang berada pada ketinggian 1.600 meter di atas permukaan laut ini sebagai obyek kunjungan dan referensi tentang kopi Gayo.
Keberhasilan Zaini dalam membudidayakan kopi arabika secara intensif ini yang kemudian menarik perhatian NGO CII (Conservatioan International Indonesia) untuk menjadikan kebun milik Zaini sebagai pilot project pelatihan dan pemberdayaan petani. CII juga melihat pengetahuan dan skill yang dimiliki oleh Zaini memang layak untuk ditiru dan dijadikan contoh bagi petani yang waktu itu menjadi peserta kegiatan pemberdayaan petani yang difasilitasi oleh NGO tersebut.
Tak hanya petani lokal saja yang kemudian berduyun mendatangi tempat ini untuk belajar tentang teknik budidaya kopi yang baik, para petani dari provinsi tatangga yaitu Sumatera Utara juga banyak yang berdatangan untuk belajar intens tentang budidaya kopi arabika. Tanpa pamrih, Zaini pun melayani siapapun yang datang untuk belajar kepadanya, karena dalam benaknya, dia menginginkan semua petani mampu melakukan budidaya kopi seperti yang telah dilakukannya, sehingga kesejahteraan mereka bisa terangkat.
Menyadari bahwa ilmu dan skillnya dibutuhkan orang lain, Zaini kemudian membentuk Forum Pusat Pelatihan Pertanian Perdesaan Swadaya (P4S) di daerahnya, di mana dia kemudian ditunjuk sebagai ketuanya. Melalui wadah P4S inilah, kemudian Zaini secara swadaya dan sukarela memberikan pelatihan kepada para petani kopi secara gratis.Â