Sebagai contoh, petani kentang, cabe dan bawang merah, yang meperkirakan bulan September dan Oktober adalah waktu terbaik untuk menanam komoditi tersebut, namun pada awal pertumbuhannya, justru ketersediaan air kurang memadai karena curah hujan relatif rendah, patani terpaksa melngeluarga biaya dan tenaga ekstra untuk melakukan penyiraman tanaman. Kondisi berbalik 18 derajat pada saat tanaman mulai berbuah pada bulan Nopember dan Desember 2017 ini, curah hujan yang tinggi menyebabkan tanaman menjadi rentan terhadap serangan hama dan penyakit tanaman terutama penyakit lemas dan busuk batang (Fusarium). Lagi-lagi petani harus mengeluarkan biaya untuk penanggulangan hama dan penyakit tanaman tersebut yang tentu saja membua biaya produksi menjadi lebih tinggi.
Dalam kondisi demikian, petani terpaksa menggunakan pestisida kimia dalam dosis lebih untuk menyelamatkan tanaman mereka. Tentu dalam jangka panjang ini sangat tidak baik bagi kelestarian lingkungan, karena penggunaan pestisida kimia dalam dosis yang berlebihan, akan mematikan organism dalam tanah yang berfungsi untuk menjaga daya dukung lahan dan tingkat kesuburan tanah. Penggunaan pestisida juga dapat berdampak pada pencemaran lingkungan baik lingkungan darat maupun perairan di sekitar lahan pertanian.
Tingginya curah hujan juga berpeluang terjadinya gagal panen, dan produk hortikultura menjadi langka di pasaran dan harganya naik. Dalam beberapa hari terkahir, dimana hujan terus mengguyur daerah ini, harga beberapa komoditi hortikultura mengalami kenaikan signifikan di pasar-pasar tradisional. Harga cabe melonjak dari 30 ribu menjadi 60 ribu, tomat dari 3 ribu menjadi 6 -- 8 ribu, bawang merah dari 10 ribu menjadi 20 -- 25 ribu dan kentang dari 8 ribu menjadi 12 ribu per kilogramnya.
Namun naiknya harga beberapa komoditi hortikultura ini tidak serta merta diinikmati petani, karean hanya sebagian kecil saja yang mampu menyelamatkan tanaman mereka pada saat cuaca ekstrim seperti saat ini. Sementara sebagian besar lainnya, hanya mampu berharap panen mereka tidak gagal dan biaya produksi ya g sudah mereka keluarkan bisa tertutupi dari hasil panen mereka.
Kalaupun mereka kemudian bisa menyelamatkan hasil panen, mereka juga masih akan mengalami kendala pemasaran produk yang mereka hasilkan. Karena produk hortikultura juga merupakan hasil pertanian yang daya simpannya relative rendah atau tidak bisa disimpan lama. Dalam kondisi curah hujan tinggi yang otomatis menyebabkan kelembaban udara juga tinggi, masalah penyimpanan hasil panen produk hortikultura juga menjadi kendala bagi petani. Sementara gangguan alam pada jalur distribusi juga menghambat pemasaran hasil pertanian ini keluar daerah, karena pangsa pasar lokal hanya mampu menyerap kurang dari 205 total produksi hortikultura yang dihasilkan petani di Gayo ini.
Hampir sama dengan petani kopi, petani hortikultura di dataran tinggi Gayo juga sangat merasakan dampak dari perubahan iklim global ini yang bermuara pada kerugian ekonomis bagi petani.
BUDIDAYA PERIKANAN KERAMBA APUNG
Dalam minggu terkahir ini, petani ikan dengan sistim keramba di seputaran Danau Laut Tawar juga dikejutkan dengan matinya ratusan ribu bahkan jutaan ekor ikan air tawar yang mereka budidayakan dalam keramba apung, secara tiba-tiba.
Kalau menilik kejadian serupa yang pernah  terjadi di Waduk Kedung Ombo, Wonogiri Jawa Tengah, maupun Waduk Jati Luhur di Jawa Barat, kemungkinan besar kematian ikan secara mendadak ini juga akibat berubahan cuaca secara ekstrim yang terjadi belakangan ini. Curah hujan tinggi yang terjadi nyaris sepanjang hari menyebabkan turunnya suhu permukaan scara drastis, bahkan dalam beberapa hari terkahir tercatat suhu terndah mencapai 12 derajat Celcius.
Namun penurunan suhu permukaan tidak diikuti penurunan suhu dalam air, justru pada saat tersebut suhu dalam air dalam skala luas (seperti danau, waduk dll) mengalami peningkatan. Perbedaan suhu permukan dan dalam air yang cukup signifikatn inilah yang kemudian menjadi fenomena yang dikenal dengan nama 'arus panas'. Akibat arus panas tersebut, material padat berupa lumpur yang kemungkinan tercampur dengan sisa-sisa pakan ikan yang telah berubah strukturnya sehingga bersifat racun, kemudian muncul ke permukaan air. Selain dapat menyebabkan keracunan pada ikan, bercampurnya air dengan material padat yang berasal dari dasar perairan luas tersebut, menyebabkan berkrangnya sirkulasi oksogen dalam air. Inilah yang kemudian duetangarai oleh seorang pakar perikanan Gayo, Iwan Hasri, S Pi, M Si sebagai penyebab utama kematian medadak ikan-ikan dalam keramba tersebut.
Untuk skala kecil, dapat dilakukan penyelamatan dengan mengevakuasi ikan-ikan ke tempat lain, seperti kolam ikan yang sirkulasi oksigennya cukup, namun untuk skala besar, sangat sulit dilakukan upaya tersebut karena kejadian tersebut secara tiba-tiba dan dalam waktu sangat singkat. Dan itulah fenomena yang terjadi di keramba-keramba yang terpasang di perairan Danau Laut Tawar tersebut beberapa hari yang lalu. Ini merupakan kejadian pertama di daerah ini, karena sebelumnya belum pernah terjadi, sehingga petani keramba tidak sempat melakukan upaya penyelamatan.