Tanpa terasa citizen media Kompasiana yang mengusung motto "Beyond Blogging" ini sudah menapaki usia 9 tahun, usia yang sudah cukup matang untuk sebuah media rame-rame yang mewadahi ribuan penulis dari berbagai tempat dan berbagai latar belakang profesi dan jenjang pendidikan. Saya juga bersyukur, karena sejak tiga tahun yang lalu, saya bisa bergabung bergabung dengan media yang ternyata dihuni oleh penulis-penulis hebat di negeri ini.
Saya jadi seperti mendapat kesempatan untuk "sekolah" di media warga ini, banyak pelajaran maupun pembelajaran yang bisa saya petik dari para Kompasianer senior seperti Iskandar 'Isjet' Zulkarnaen, Pepih Nugraha, Muhammad Armand, Tubagus Encep, Syukri Muhammad Syukri, Thamrin Sonata, Kevin Legionardo, Tjiptadinata Effendi, dan banyak lagi Kompasianer papan atas lainnya yang tidak bisa saya sebut satu persatu saking banyaknya.
Selain menjadi "sekolah" bagi saya, Kompasiana akhirnya juga menjadi ajang mengasah kemampuan menulis saya. Karena selain di Kompasiana, saya juga coba-coba menulis di beberapa media cetak, khususnya media pertanian dan juga menulis di berbagai media online yang berbasis lokal, regional maupun nasional. Saya akui, saya belum bisa seproduktif Om Tjip atau Toean Muhammad Syukri yang sudah menghasilkan ribuan tulisan. Rapor terakhir saya baru menunjukkan angka statistik 359 tulisan, 149.288 hits, dengan 67 artikel HL dan 262 highlight, tentu belum merupakan angka yang bisa dibanggakan.
Memberi banyak manfaat
Namun rapor yang masih dalam kategori "cukup" ini sudah membuat saya merasa sangat bangga bisa bergabung dengan medianya "orang bisa" (mengutip istilahnya Mas Isjet) ini. Saya juga bersyukur, akhirnya bisa eksis menulis di berbagai media berkat 'pelajaran' yang saya dapatkan di 'sekolah' Kompasiana.Ini yang membuat saya ingin terus eksis menjadi bagian dari para Kompasianer pendahulu saya, karena semakin banyak saya menulis, ternyata semakin banyak pula manfaat yang saya dapatkan, baik bagi diri saya sendiri maupun bagi orang lain.Â
Inilah yang kemudian membuat saya merasa ada kepuasan batin, karena ternyata aktifitas menulis di Kompasiana ternyata sangat relevan dengan pekerjaan utama saya sebagai pegawai negeri sipil yang fokus pada pembinaan petani. Relevansi itu dapat saya lihat dari azas manfaat yang menjadi efek dari aktivitas menulis saya, lebik berdampak kepada petani, penyuluh pertanian dan pembangunan sector pertanian, khususnya di daerah tempat saya mengabdikan diri.
a. Mengangkat potensi pertanian daerah
Manfaat pertama yang kemudian bisa menjadi sumbangsih saya untuk daerah Gayo di mana saya berdomisili dan mengabdikan diri adalah terngakatnya potensi pertanian di daerah kami. Entah itu sebuah kebetulan atau karena itu memang menjadi habitat saya, akhirnya artikel pertanian menjadi fokus utama dari tuilisan-tulisan saya di Kompasiana. Mungkin sampai 70 persen dari total tulisan saya di Kompasiana, adalah tulisan yang terkait dengan pertanian yang selama ini memang menjadi dunia saya.Â
Kenangan indah kemudian terukir berkat sebuah tulisan saya di Kompasiana, saat saya belum genap setahun bergabung di media warga ini. Sebuah catatan kecil tentang kreativitas seorang penyuluh pertanian yang mampu "menyulap" limbah buah-buahan menjadi pupuk organic cair yang saya posting pada bulan Juni 2015 lalu, kemudian dilirik oleh broadcast nasional SCTV untuk dijadikan salah satu tayangan mereka. Dan hanya dalam tempo sekitar empat bulan, postingan saya di Kompasiana tersebut, sudah muncul dalam sebuah tayangan di televisi swasta nasional itu.
Yang membuat saya kemudian merasa bangga adalah tayangan tersebut bukan hanya mengangkat kiprah sang penyuluh pertanian kreatif itu, tapi potensi pertanian di dataran tinggi Gayo yang menjadi background tayangan tersebut juga ikut terangkat. Bahkan bukan hanya untuk sektor pertanian saja dapat dirasakan dampaknya, tapi juga pada sektor pariwisata daerah, karena lokasi syuting yang saya fasilitasi untuk pengambilan gambar, berlatar belakang Danau Laut Tawar yang merupakan salah satu destinasi wisata utama di daerah kami.Â
Manfaat kedua yang dapat saya rasakan dari aktivitas menulis di Kompasiana, adalah dampak ekonomis bagi petani yang kebetulan saya angkat sebagai obyek tulisan saya. Contoh kecil, ketika saya mengangkat sosok seorang penangkar benih cabe di daerah kami, tak lama kemudian sang petani yang menjadi sosok sentral dari tulisan saya itu, kemudian mulai kebanjiran order benih cabe dari berbagai daerah.
Salah satu yang menjadi keprihatinan saya saat mulai eksis menulis adalah melihat kenyataan bahwa eksistensi penyuluh pertanian, kurang diakui oleh masyarakat maupun kalangan legislative. Padahal mereka sudah bekerja maksimal melakukan pembinaan dan pendampingan kepada petani sehingga para petani mampu meningkatkan produktivitas hasil pertanian mereka. Para penyuluh itu juga sudah bekerja tanpa mengenal waktu dan terkadang harus berhadapan dengan kendala alam yang sejatinya bisa mengancam keselamatan mereka.
Kondisi topografis dan geografis Kabupaten Aceh Tengah yang berbukit dengan kondisi jalan yang belum semuanya baik, menjadi tantangan tersendiri bagi para penyuluh. Begitu juga dengan jarak antara satu desa dengan desa lainnya yang cukup berjauhan, juga merupakan kendala yang harus ditaklukkan oleh para penyuluh. Namun kerja keras mereka tidak pernah mendapat apresiasi, bahkan dalam berbagai pertemuan resmi, ada beberapa kalangan yang mneyatakan bahwa para penyuluh tidak bekerja.
Usut punya usut, ternyata biang dari asumsi negatif itu adalah karena minimnya publikasi tentang aktivitas mereka. Tidak tereksposnya aktivitas mereka melalui media, membuat sebagian kalangan tidak tau persis apa yang sudah dilakukan oleh para penyuluh. Berawal dari keprihatinan melihat kondisi yang "kurang sehat" itu, kemudian perlahan coba saya angkat satu persatu kiprah para penyuluh pertanian yang bertugas di daerah kami.Â
Sisi inspiratif dan kreativitas penyuluh yang selalu saya tonjolkan dalam tulisan saya, secara perlahan akhirnya mampu memupus anggapan negatif tentang kinerja para penyuluh pertanian. Alhamdulillah, setelah tiga tahun saya eksis mengangkat kiprah mereka melalui Kompasiana, sekarang sudah tidak pernah terdengar lagi ungkapan bebgai kalangan yang mengatakan bahwa penyuluh tidak bekerja. Secara tidak langsung, upaya saya 'menangkal' isu negatif itu, akhirnya berdampak positif bagi para penyuluh, kinerja mereka meningkat dalam menjalankan tugas mereka memberikan penyuluhan kepada petani.
Eksis menulis di Kompasiana, akhirnya membuat saya banyak mengenal dan dikenal banyak orang dari berbagai kalangan. Saya mulai dekat dengan teman-teman media, kenal dengan para pejabat mulai dari tingkat daerah sampai ke pusat, bahkan kenal dengan hampir semua petani dan kelompok tani di daerah kami, karena sambil mencari inspirasi menulis atau meliput kegiatan petani, saya juga memanfaatkan momentum itu untuk melakukan aktivitas kepenyuluhan saya. Tak heran, setiap kali turun ke lapangan, mereka sering menghadiahi saya oleh-oleh berupa hasil pertanian mereka. Dan yang paling merasakan dampak positifnya adalah isteri saya, oleh-oleh dari para petani itu tentu sangat membantu untuk menghemat pengeluarannya.
Namun sayangnya, nyaris belum ada seorang penyuluh pun yang eksis untuk menulis. Minimnya pengetahuan dan pengalaman tentang menulis, menjadi salah satu alasan mengapa mereka tidak menulis, padahal dengan aktif menulis, karis mereka bisa "melesat" ke puncak.
Kepala Balai Diklat Pertanian Aceh yang awalnya mengenal saya dari tulisan-tulisan saya, akhirnya menawarkan job yang sebenarnya melebihi kapasitas saya. Bagaimana tidak, untuk menjadi narasumber atau pemateri di sebuah balai diklat, tentu harus memiliki persayaratan tertentu yang kesemuanya tidak saya miliki. Yang saya punya hanyalah sedikit pengalaman menulis, yang salah satunya saya dapatkan dari Kompasiana. Namun pengalaman menulis itulah yang kemudian menjadi pertimbangan balai diklat itu untuk menggaet saya menjadi salah seorang pemateri diklat.
Itulah sekelumit pengalaman saya tiga tahun bergabung bersama Kompasiana, begitu banyak manfaat yang akhirnya saya rasakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H