Tahun 1990 adalah awal bagiku memasuki 'dunia baru' sebagai pegawai negeri sipil di lingkungan pemerintah kabupaten Aceh Tengah setelah beberapa tahun menjadi pekerja serabutan. Bermodalkan ijazah SMA yang kumiliki, Alhamdulillah aku bisa 'lolos dari lubang jarum' dalam seleksi penerimaan calon pegawai setahun sebelumnya, dan setelah dinyatakan lulus kemudian melengkapai berbagai berkas, akhirnya aku berhak mengantongi SK sebagai calon pegawai negeri sipil.
Entah dengan pertimbangan apa, begitu SK CPNS kuterima, aku langsung ditempatkan pada instansi yang mengurusi pertanian. Dan sejak saat itu mulailah aku berinteraksi dengan lingkungan baru pada Dinas Pertanian dan mulai banyak kenal dengan para penyuluh pertanian yang memang bernaung pada instansi tempat kerja baruku itu. Dari awal, aku memang sudah punya ketertarikan pada bidang penyuluhan pertanian ini, sayangnya dengan ijazah SLTA Umum yang kumiliki, aku tidak bisa masuk menjadi tenaga fungsional penyuluh pertanian, karena untuk menjadi penyuluh pertanian harus memiliki latar belakang pendikikan sekolah kejuruan di bidang pertanian.
Namun itu tidak memupuskan niatku untuk belajar ilmu tentang penyuluhan pertanian, karena aku beranggapan dengan profesi seperti itu akau akan bisa turun ke lapangan berinteraksi dan  membina para petani. Diam-diam aku mulai belajar secara tidak langsung dengan cara 'mendompleng' teman-teman sewaktu mereka melakukan pembinaan ke lapangan. Aku dapat merasakan keasyikan tersendiri saat berada di sawah atau kebun dan berinteraksi dengan para petani dengan segala seluk beluk aktifitas usaha tani mereka.
Satu hal lagi yang membuat aku tertarik dengan profesi penyuluh pertanian adalah ketika melihat teman-teman penyuluh secara periodik dikirim untuk mengikuti berbagai pelatihan teknis maupun pelatihan fungsional ke balai diklat. Saat membantu bagian umum membuatkan surat perintah tugas bagi penyuluh yang akan mengikuti pelatihan, disitu kemudian aku 'bermimpi', kapan aku bisa mendapat kesempatan seperti mereka. Ingin sekali aku memperdalam ilmu tentang pertanian melaui pelatihan seperti teman-teman penyuluh lainnya.
Balai Diklat Pertanian Aceh yang berlokasi di Saree, Aceh Besar yang waktu itu masih bernama Balai Latihan Penyuluh Pertanian (BLPP) adalah salah satu balai pelatihan yang paling sering menggelar pelatihan bagi para penyuluh pertanian. Aku berharap, suatu saat bisa 'menyelip' diantara para penyuluh yang dikirim oleh instansiku untuk mengikuti berbagai pelatihan. Namun harapan itu hanya jadi mimpi sia-sia belaka, karena dalam setiap surat pemanggilan peserta pelatihan, pihak BLPP selalu mencantumkan bahwa calon peserta pelatihan adalah pegawai yang berstatus sebagai penyuluh pertanian. Akhirnya aku harus 'mengubur' dalam-dalam mimpiku untuk bisa menginjakkan kaki di komplek balai pelatihan tersebut.
Tapi ternyata Allah sudah punya rencana berbeda, meski keinginanku untuk bisa 'mencicipi' pelatihan di BLPP Aceh itu tidak pernah kesampaian, namun akhirnya kesempatan untuk mengikuti pelatihan akhirnya datang juga. Balai Diklat Kehutanan Pematang Siantar, Sumatera Utara, menjadi balai diklat pertama yang akhirnya bisa kumasuki, kebetulan ada diklat tentang administrasi yang diselenggarakan disana dan aku direkomendasikan untuk menjadi salah seorang peserta. Itu terjadi tahun 1993, atau tiga tahun sejak aku diangkat menjadi pegawai negeri.
Meski tak sekalipun aku dikirim ke BLPP Aceh, namun akhirnya aku bisa juga menjejakkan kaki di balai pelatihan, bahkan di sebuah balai pelatihan regional yang menaungi 3 provinsi (Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat), namun karena pelatihan yang kuikuti adalah pelatihan adminitrasi, aku masih memendam keinginan untuk bisa ikut dalam pelatihan yang sifatnya teknis pertanian. Dan BLPP Aceh masih terus menjadi 'mimpi' bagiku untuk suatu saat bisa menginjakkan kaki disana.
Tahun demi tahun terus berlalu, namun mimpiku tetap jadi mimpi, tidak pernah sekalipun aku bisa menginjakkan kaki di satu-taunya balai pelatihan pertanian di provinsi Aceh itu. Namun belakangan aku justru mendapat kesempatan mengikuti pelatihan yang lebih baik di luar Aceh, seperti di Medan, Jakarta, Bandung, Bogor dan Malang, itu yang kemudian bisa mengobati kekecewaanku tidak pernah dikirim mengikuti pelatihan di BLPP Aceh.
Sebuah kebetulan mungkit, atua memang ini sudah diatur oleh Allah, sejak diangkat menjadi pegawai 27 tahun yang lalu, aku tidak pernah dimutasikan ke tempat lain, ini yang kemudian aku manfaatkan untuk terus belajar tentang ilmu pertanian secara otodidak. Membaca dan mencari berbagai referensi tentang pertanian, menjadi 'wahana' pembelajaran bagiku, selain sering 'mencuri' ilmu dari teman-teman penyuluh saat aku diajak 'turun' ke lapangan. Ini yang membuatku punya sedikit kefasihan di bidang yang kugeluti selama ini, pengalaman ini lah yang kemudian dibelakang hari menjadi inspirasi bagiku untuk menapaki dunia menulis yang kemudian membawaku ke 'dunia' yang lebih luas, bahkan melebihi kapasitasku yang hanya berstatus pegawai 'renul' (pegawai rendah)
Salah satu kelemahanku mungkin, meski kepingin memiliki ilmu tentang pertanian seperti teman-teman penyuluh, namun aku tidak punya keinginan untuk meraihnya melalui jalur pendidikan formal. Kalau teman-teman yang lain seakan 'berlomba' untuk meraih gelar sarjana mereka dengan mengikuti kuliah di perguruan tinggi swasta, aku justru tidak punya keinginan sedikitpun untuk mengikuti langkah teman-temanku itu. Aku lebih tertarik dengan belajar langsung melalui berbagai bahan bacaan maupun praktek langsung di lapangan.Â
Aku jadi semakin asyik 'self learning' ketika kemudian aku mulai aktif menulis. Sebuah kebetulan, sudah ada media pertanian yang diterbitkan oleh Departemen Pertanian (sekarang Kementerian Pertanian) yang setiap edisinya juga dikirim ke instansi tempatku bekerja. Aku mulai coba-coba mengirimkan artikel-artikel singkat atau rilis berita ke media itu, dan Alhamdulillah sebagian besar artikel yang kukirim kemudian dimuat di media itu, Padahal waktu itu aku menulis masih menggunakan mesik ketik manual dan mengirimkan tulisanku melalui jasa pos. Aktifitas menulis itu aku jalani sampai beberapa tahun sebelum akhirnya kau vakum menulis seiring dengan aktivitas rutinku yang semakin bertambah.
Tapi ternyata "Self learning" yang terus aku lakukan sampai dengan saat ini, akhirnya semakin kurasakan manfaatnya ketika aku mulai 'come back' untuk kembali menulis sekitar empat atau lima tahun yang lalu. Aku mulai menemukan kembali keasyikan menulis, apalagi teknologi informasi yang berkembang saat ini, kemudian semakin memudahkanku mengakses berbagai media, termasuk kemudahan untuk mengirim tulisan secara cepat. Terus belajar dan terus menyulis, itulah yang kemudian menjadi aktifitas selingan di sela-sela aktifitas rutinku, sampai akhirnya aku dianggap 'eksis' sebagai penulis artikel pertanian di beberapa media cetak dan media online.
Aktivitas menulis yang semakin intens kujalani inilah yang akhirnya membuat aku banyak kenal dengan relasi dari berbagai kalangan baik di daerah maupun di pusat. Meski secara pribadi, mungkin mereka tidak mengenalku, tapi rata-rata mereka mengenalku lewat tulisan-tulisanku. Lewat aktifitas menulis ini pulalah yang akhirnya aku bisa berkenalan dekat dengan drh. Ahdar, MP yang tidak lain Kepala Balai Diklat Pertanian Aceh, sebuah balai diklat yang sudah puluhan tahun lalu menjadi 'mimpi'ku.
Bermula dari perkenalan melalui media sosial, kemudian berlanjut melalui telepon dan pertemuan langsung saat beliau 'turun' ke daerah, akhirnya aku bisa menjalin pertemanan yang cukup akrab dengan beliau. 'Kasta' jenjang pendidikan yang begitu jauh antara aku dengan beliau, bukanlah kendala bagi pertemanan kami, karena beliau memang tidak pernah mempermasahkan itu, ini yang menyebabkan aku merasa 'enjoy' bersahabat dengan beliau, karena tidak ada batasan formal diantara kami yang sejatinya sangat jauh 'berbeda kasta" ini.
Keinginan lamaku untuk bisa menginjakkan kaki di komplek Balai Diklat Pertanian Aceh yang berada di lintasa utama jalur Banda Aceh -- Medan, tepatnya di daerah Saree, Aceh Besar itu, akhirnya terwujud juga pada tahun 2015 silam. Tapi kehadiranku disini bukan dalam rangka mengikuti sebuah diklat, tapi mendampingi Kepala Bidangku untuk memngikuti rapat teknis tingkat provinsi yang kebetulan diselenggarakan di tempat itu. Momen inilah yang kemudian semakin mempererat keakrbanku dengan pak Ahdar yang sejak tujuh tahun lalu sudah menjadi pimpinan di balai diklat itu.
Akhirnya pertemuan teknis itu tidak lagi menjadi fokusku, karena usai mengikuti acara pembukaan, pak Ahdar langsung 'menarik'ku dari ruang pertemuan, beliau mengajakku ke sebuah kafe yang berada di komplek balai diklat itu. Sambil menikmati kopi Gayo yang menjadi sajian utama di kafe itu, aku mulai terlibat perbincangan dengan kepala balai diklat tersebut. Lebih dari dua jam perbincangan kami mengalir, sampai akhirnya mengarah kepada aktifitas menulisku. Terus terang beliau menyatakan kekagumannya, karena aku yang hanya punya pendidikan formal 'seadanya' bisa menghasilkan 'karya' yang mampu 'menembus' media pertanian berskala nasional, apalagi meskipun sebelumnya belum pernah menginjakkan kaki di balai diklat yang dipimpinnya, tapi beberapa kali aku sudah mengangkat tema tentang balai diklat itu lewat tulisanku di beberapa media, berbekal hasil interview ku dengan beberapa teman yang pernah mengikuti diklat di tempat ini, itu yang membuat beliau begitu terkesan.
Pada akhirnya beliau mengungkapkan keprihatinanya melihat begitu banyaknya penyuluh pertanian yang ada di Aceh ini, namun tidak satupun yang mampu eksis menulis di media. Padahal menurut belaiu, aktifitas menulis sangatlah penting bagi para penyuluh pertanian untuk mengembangkan profesi dan menunjang karir mereka. Menurut analisis beliau, ketidak eksisan penyuluh dalam menulis, salah satunya karena mereka belum pernah mendapatkan pelatihan tentang menulis secara komprejhensif.
Dari perbincangan panjang itu, akhirnya tercetus ide beliau untuk membuat sebuah diklat menulis yang diperuntukkan bagi para penyuluh pertanian yang bertugas di provinsi Aceh. Pelatiah serupa sebenarnya pernah digelar di tingkat Kementerian Pertanian, namun belum ada satupun penyuluh dari Aceh yang berkesempatan mengikuti pelatihan tersebut dengan berbagai sebab, salah satunya kendala biaya. Itulah sebabnya beliau punya keinginan kuat untuk mengagendakan pelatihan menulis bagi penyuluh ini dib alai diklat yang beliau pimpin. Karena dengan diadakan di daerah sendiri, peluang bagi para penyuluh untuk mengikuti diklat tersebut menjadi lebih besar.
Tanpa dinyana, beliau langsung memintaku untuk menjadi nara sumber atau pemateri, kalau rencana itu bisa terealisasi nantinya. Agak jengah juga aku mendapat tawaran mengejutkan seperti itu, karena kau tau bahwa untuk menjadi nara sumber pada balai diklat berskala provinsi tentu bukanlah hal yang mudah, butuh persyaratan teknis dan administrasi tertentu yang semuanya tidak aku punyai. Jadinya aku hanya menanggapi tawaran belaiau itu sebagai sebuah candaan saja, sekedar bentuk apresiasi beliau terhadap apa yang telah aku lakukan selama ini.
Tapi ternyata pak Ahdar tidak sedang bercanda, beliau serius dengan tawarannya itu, dan itu dibuktikan setahun kemudian sejak perbincangan di kafe itu. Menjelang akhir tahun 2016 lalu, Balai Diklat Pertanian Aceh menggelar Bimbingan Teknis (Bimtek) Penyusunan Angka Kredit Bagi Penyuluh Pertanian. Dalam Bimtek yang diikuti peserta dari seluruh Aceh itu, beliau menyisipkan materi tentang teknis menulis bagi penyuluh, dan memang, aktifitas menulis merupakan bagian penting dalam penyusunyan angka kredit bagi penyuluh yang note bene merupakan syarat utama untuk peningkatan jenjang kepangkatan mereka sebagai pegawai fungsional.
Dan seperti tawarannya yang awalnya kuanggap sebagai sebuah candaan itu, ternyata benar-benar beliau realisasikan. Melalui surat resmi, beliau meminta kesediaanku untuk menjadi nara sumber mengampu materi penulisan karya ilmiah bagi penyuluh. Tentu saja itu membuat aku sedikit kelabakan, bagaiman mungkin seorang lulusan SMA harus tampil sebagai nara sumber bimtek yang diikuti peserta yang rata-rata berpendikan sarjana S-1 bahkan seagian sudah bergelar S-2. Tapi dengan niat untuk berbagi pengalaman, bukan untuk mengajari atau menggurui, akhirnya 'tantangan' perdana itu bisa aku lewati dengan mulus. Alhamdulillah, beberapa peserta bimtek kemudian mulai bisa muncul tulisannya di media, meskipun belum bisa dibilang eksis, karena baru sekali dua kali saja tulisannya bisa 'naik' ke media.
Tapi itu sudah cukup bagi pak Ahdar untuk menganggapku berhasil dalam 'ujian pertama'ku. Kembali kami terlibat perbincangan usai aku menyampaikan materi selama seharian penuh. Dalam 'obrolan malam' itu, beliau kembali menawarkan 'job' untuk menjadi pemateri di balai diklat yang belaiu pimpin itu, bukan sekedar dalam bimtek tapi dalam bentuk diklat khusus, karena beliau sudah mengagendakan diklat tersebut untuk tahun 2017. Meski sudah 'lulus' pada tantangan pertama, tetap saja aku merasa berat mendapatkan tawaran tersebut, tapi kali ini aku tidak mampu lagi untuk menolak.
Tahun 2017 ini, tawaran itu akhirnya beliau wujudkan, dalam 'frame' Diklat Peningkatan Kompetensi Penyuluh bagi para penyuluh pertanian se provinsi Aceh ini, malah aku diberi 'porsi' dua materi sekaligus dan diberikan alokasi waktu 12 jam pelajaran atau nyaris satu setengah hari full. Ini tentu tidak lagi ajang 'uji coba', tapi bagiku sudah kuanggap sebagai ajang 'uji kredibilitas'.Â
Itulah sebabnya aku berusaha menyiapkan materi sebaik mungkin, selain supaya beliau tidak kecewa dengan kepercayaan yang sudah beliau berikan padaku, aku juga sudah mulai mengarahkan aktifitasku ini dengan orientasi manfaat. Artinya keberadaanku di balai diklat ini, harus memiliki dampak manfaat bagi peserta diklat. Meski 'modal'nya masih tetap sama yaitu pengalaman menulis di berbagai media, namun aku berupaya apa yang kusampaikan nantinya benar-benar memenuhi persayaratan teknis kurikulum balai diklat tingkat provinsi.
Alhamdulillah, sampai dengan angkatan ke empat yang berakhir pada tanggal 17 Oktober 2017 ini, aku masih diberi kepercayaan untuk mengampu materi diklat itu, sesuatu yang tidak pernah terayangkan atau termimpikan sebelumnya. Sejah 3 bulan terakhir ini saja, total sudah empat kali aku bolak balik ke balai diklat ini untuk bertemu dengan puluhan peserta yang berbeda.Â
Alhamdulillah, dengan niat hanya untuk sharing pengalaman dan sedikitpun tidak terlintas untuk mengajari atau menggurui, akhirnya aku dapat melaewatinya dengan mulus, nyaris tanpa kendapa berarti. Antusias peserta terhadap materi yang kusampaikan juga dapat kurasakan, bukan saja sebatas di kelas, tapi juga pasca pelaksanaan diklat.Â
Banyak diantara peserta yang memang punya keinginan kuat untuk bisa menulis, akhirnya melanjtkan konsultasi melaui email, telepon maupun WA, ini yang membuatku merasakan sebuah kebahagiaan dan kepuasan batin, karena sedikit banyak apa yang sudah kulakukan bisa memberi manfaat bagi orang lain. Kesan yang kudapat di kelas juga sering membuatku terharu, setiap usai aku menyampaikan materi yang terkadang harus melewati jadwal waktu yang telah ditetapkan panitia, mereka juga antusias mengajakku untuk foto bersama.
Semua itu tak lepas dari kebesaran Allah yang telah mengatur semuanya, dan rasa syukur pulanya yang sangat pantas selalu kupanjatkan keharibaanNya. Campur tangan Allah jualah yang akhirnya membuat kenyataan yang kualami ternyata jauh lebih indah dari mimpiku. Dan yang tidak dapat dinafikan tentunya, kemauan belajar secara terus menerus dan berusaha untuk terus melahirkan karya, sekecil apapun, itu yang akan membuat kenyataan yang kita dapatkan justru jauh lebih indah dari mimpi-mimpi kita. Â Alhamdulillah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H