Tapi ternyata "Self learning" yang terus aku lakukan sampai dengan saat ini, akhirnya semakin kurasakan manfaatnya ketika aku mulai 'come back' untuk kembali menulis sekitar empat atau lima tahun yang lalu. Aku mulai menemukan kembali keasyikan menulis, apalagi teknologi informasi yang berkembang saat ini, kemudian semakin memudahkanku mengakses berbagai media, termasuk kemudahan untuk mengirim tulisan secara cepat. Terus belajar dan terus menyulis, itulah yang kemudian menjadi aktifitas selingan di sela-sela aktifitas rutinku, sampai akhirnya aku dianggap 'eksis' sebagai penulis artikel pertanian di beberapa media cetak dan media online.
Aktivitas menulis yang semakin intens kujalani inilah yang akhirnya membuat aku banyak kenal dengan relasi dari berbagai kalangan baik di daerah maupun di pusat. Meski secara pribadi, mungkin mereka tidak mengenalku, tapi rata-rata mereka mengenalku lewat tulisan-tulisanku. Lewat aktifitas menulis ini pulalah yang akhirnya aku bisa berkenalan dekat dengan drh. Ahdar, MP yang tidak lain Kepala Balai Diklat Pertanian Aceh, sebuah balai diklat yang sudah puluhan tahun lalu menjadi 'mimpi'ku.
Bermula dari perkenalan melalui media sosial, kemudian berlanjut melalui telepon dan pertemuan langsung saat beliau 'turun' ke daerah, akhirnya aku bisa menjalin pertemanan yang cukup akrab dengan beliau. 'Kasta' jenjang pendidikan yang begitu jauh antara aku dengan beliau, bukanlah kendala bagi pertemanan kami, karena beliau memang tidak pernah mempermasahkan itu, ini yang menyebabkan aku merasa 'enjoy' bersahabat dengan beliau, karena tidak ada batasan formal diantara kami yang sejatinya sangat jauh 'berbeda kasta" ini.
Keinginan lamaku untuk bisa menginjakkan kaki di komplek Balai Diklat Pertanian Aceh yang berada di lintasa utama jalur Banda Aceh -- Medan, tepatnya di daerah Saree, Aceh Besar itu, akhirnya terwujud juga pada tahun 2015 silam. Tapi kehadiranku disini bukan dalam rangka mengikuti sebuah diklat, tapi mendampingi Kepala Bidangku untuk memngikuti rapat teknis tingkat provinsi yang kebetulan diselenggarakan di tempat itu. Momen inilah yang kemudian semakin mempererat keakrbanku dengan pak Ahdar yang sejak tujuh tahun lalu sudah menjadi pimpinan di balai diklat itu.
Akhirnya pertemuan teknis itu tidak lagi menjadi fokusku, karena usai mengikuti acara pembukaan, pak Ahdar langsung 'menarik'ku dari ruang pertemuan, beliau mengajakku ke sebuah kafe yang berada di komplek balai diklat itu. Sambil menikmati kopi Gayo yang menjadi sajian utama di kafe itu, aku mulai terlibat perbincangan dengan kepala balai diklat tersebut. Lebih dari dua jam perbincangan kami mengalir, sampai akhirnya mengarah kepada aktifitas menulisku. Terus terang beliau menyatakan kekagumannya, karena aku yang hanya punya pendidikan formal 'seadanya' bisa menghasilkan 'karya' yang mampu 'menembus' media pertanian berskala nasional, apalagi meskipun sebelumnya belum pernah menginjakkan kaki di balai diklat yang dipimpinnya, tapi beberapa kali aku sudah mengangkat tema tentang balai diklat itu lewat tulisanku di beberapa media, berbekal hasil interview ku dengan beberapa teman yang pernah mengikuti diklat di tempat ini, itu yang membuat beliau begitu terkesan.
Pada akhirnya beliau mengungkapkan keprihatinanya melihat begitu banyaknya penyuluh pertanian yang ada di Aceh ini, namun tidak satupun yang mampu eksis menulis di media. Padahal menurut belaiu, aktifitas menulis sangatlah penting bagi para penyuluh pertanian untuk mengembangkan profesi dan menunjang karir mereka. Menurut analisis beliau, ketidak eksisan penyuluh dalam menulis, salah satunya karena mereka belum pernah mendapatkan pelatihan tentang menulis secara komprejhensif.
Dari perbincangan panjang itu, akhirnya tercetus ide beliau untuk membuat sebuah diklat menulis yang diperuntukkan bagi para penyuluh pertanian yang bertugas di provinsi Aceh. Pelatiah serupa sebenarnya pernah digelar di tingkat Kementerian Pertanian, namun belum ada satupun penyuluh dari Aceh yang berkesempatan mengikuti pelatihan tersebut dengan berbagai sebab, salah satunya kendala biaya. Itulah sebabnya beliau punya keinginan kuat untuk mengagendakan pelatihan menulis bagi penyuluh ini dib alai diklat yang beliau pimpin. Karena dengan diadakan di daerah sendiri, peluang bagi para penyuluh untuk mengikuti diklat tersebut menjadi lebih besar.
Tanpa dinyana, beliau langsung memintaku untuk menjadi nara sumber atau pemateri, kalau rencana itu bisa terealisasi nantinya. Agak jengah juga aku mendapat tawaran mengejutkan seperti itu, karena kau tau bahwa untuk menjadi nara sumber pada balai diklat berskala provinsi tentu bukanlah hal yang mudah, butuh persyaratan teknis dan administrasi tertentu yang semuanya tidak aku punyai. Jadinya aku hanya menanggapi tawaran belaiau itu sebagai sebuah candaan saja, sekedar bentuk apresiasi beliau terhadap apa yang telah aku lakukan selama ini.
Tapi ternyata pak Ahdar tidak sedang bercanda, beliau serius dengan tawarannya itu, dan itu dibuktikan setahun kemudian sejak perbincangan di kafe itu. Menjelang akhir tahun 2016 lalu, Balai Diklat Pertanian Aceh menggelar Bimbingan Teknis (Bimtek) Penyusunan Angka Kredit Bagi Penyuluh Pertanian. Dalam Bimtek yang diikuti peserta dari seluruh Aceh itu, beliau menyisipkan materi tentang teknis menulis bagi penyuluh, dan memang, aktifitas menulis merupakan bagian penting dalam penyusunyan angka kredit bagi penyuluh yang note bene merupakan syarat utama untuk peningkatan jenjang kepangkatan mereka sebagai pegawai fungsional.
Dan seperti tawarannya yang awalnya kuanggap sebagai sebuah candaan itu, ternyata benar-benar beliau realisasikan. Melalui surat resmi, beliau meminta kesediaanku untuk menjadi nara sumber mengampu materi penulisan karya ilmiah bagi penyuluh. Tentu saja itu membuat aku sedikit kelabakan, bagaiman mungkin seorang lulusan SMA harus tampil sebagai nara sumber bimtek yang diikuti peserta yang rata-rata berpendikan sarjana S-1 bahkan seagian sudah bergelar S-2. Tapi dengan niat untuk berbagi pengalaman, bukan untuk mengajari atau menggurui, akhirnya 'tantangan' perdana itu bisa aku lewati dengan mulus. Alhamdulillah, beberapa peserta bimtek kemudian mulai bisa muncul tulisannya di media, meskipun belum bisa dibilang eksis, karena baru sekali dua kali saja tulisannya bisa 'naik' ke media.
Tapi itu sudah cukup bagi pak Ahdar untuk menganggapku berhasil dalam 'ujian pertama'ku. Kembali kami terlibat perbincangan usai aku menyampaikan materi selama seharian penuh. Dalam 'obrolan malam' itu, beliau kembali menawarkan 'job' untuk menjadi pemateri di balai diklat yang belaiu pimpin itu, bukan sekedar dalam bimtek tapi dalam bentuk diklat khusus, karena beliau sudah mengagendakan diklat tersebut untuk tahun 2017. Meski sudah 'lulus' pada tantangan pertama, tetap saja aku merasa berat mendapatkan tawaran tersebut, tapi kali ini aku tidak mampu lagi untuk menolak.