Masyarakat di perkotaan yang tidak memiliki lahan pekarangan yang cukup luas, sudah lama mengenal budidaya tanaman dalam pot atau polybag besar. Dengan menggunakan pot atau polybag, lahan pekarangan yang sempit pun bisa dimanfaatkan untuk budidaya berbagai tanaman yang bermanfaat setidaknya untuk memenuhi kebutuhan keluarga sendiri. Sistem Tabulampot (Tanam Buah Dalam Pot), bukanlah sesuatu hal yang baru, bahkan sudah merata dilakukan orang hampir di semua lingkungan perkotaan. Dengan teknik pemupukan berimbang, tanaman buah seperti jambu, mangga, durian, jeruk dan sebagainya dapat berbuah meski hanya ditanam dlam pot. Bukan cuma bermanfaat dari hasil buahnya, tanaman buah dalam pot juga bisa menjadi hiasan cantik yang dapat memperindah pekarangan atau halaman rumah.
Wilayah kabupaten Aceh Tengah sebenarnya tidak termasuk wilayah perotaan, karena sebagian wilayahnya masih berupa kawasan perdesaan dengan lahan yang masih cukup luas. Namun pertumbuhan penduduk yang termasuk cepat di daerah ini, juga telah menyebabkan lahan untuk pemukiman menjadi semakin padat. Tidak semua rumah penduduk memiliki halaman atau pekarangan yang luas, sehingga agak sulit untuk memanfaatkan lahan pekarangan sebagai areal budidaya tanaman. Di ebagian besar pemukiman, khususnya yang ada di wilayah perdesaan, rata-rata memang meiliki halaman dan pekarangan yang cukup luas. Namun kebanyakan lahan pekarangan itu telah dimanfaatkan untuk budidaya kopi arabika, sehingga hanya sedikit lahan pekarangan yang tersisa untuk budidaya tanaman lainnya. Kabuaten Aceh Tengah memang dikenal sebagai daerah penghasil kopi arabika terbesar di Aceh, bahkan di Indonesia, sehingga wajar jika sejauh mata memandang, yang terlihat hanyalah hamparan kebun kopi dengan bunga yang memutih bak hamparan salju, atau  sekali waktu terlihat hijau memerah seiring dengan mulai masaknya buah kopi.
Kenalkan Sistem Tajalamkar
Kalau di wilayah perkotaan, orang sudah lama mengenal system budidaya Tabulampot, di daerah berhawa sejuk ini ternyata juga ada kreativitasyang hampir sama dari  ibu-ibu yang tergabung dalam Kelompok Wanita Tani (KWT). Hanya bedanya, kalau Tabulampot adalah budidaya tanaman buah dengan media pot, yang dilakukan oleh para perempuan dari Kampung Pegasing, Aceh Tengah ini rada unik. Mereka tidak menggunakan pot sebagai media tanam, tapi menggunakan karung-karung bekas yang diisi tanah untuk budidaya tanaman. Uniknya, karung-karung bekas kemasan beras yang sudah diisi campuran dan tanah itu disusun berbanjar di sela-sela tanaman kopi yang ada di sekitar perumahan warga. Meski demikian keberadaan karung-karung itu sama sekali tidak mengganggu pertumbuhan tanaman kopi, karena sengaja dibuat agak berjarak dari batang kopi.
Yang dibudidayakan ibu-ibu KWT itu juga bukan tanaman buah, tapi tanaman Jahe Emprir (Jahe lokal). Mereka sengaja meilik komoditi ini karena harga jual jahe di daerah ini lumayan tinggi, satu kilogramnya bisa mencapai 20 – 30 ribu rupiah, tergantung kualitasnya.  Itulah yang membuat para perempuan itu tertarik untuk membudidayakan jehe meskipun hanya menggunakan media karung bekas. Jahe juga merupakan jenis rempah yang banyak digunakan sebagai bumbu masak atau bahan pembuat minuman penghangat tubuh, memang banyak digunakan oleh ibu-ibu disini, bahkan sudah menjadi salah satu kebutuhan penting rumah tangga.
Kenapa tidak menggunakan pot?, mungkin begitu pertanyaannya. Dan jawabannya juga cukup sederhaan, harga pot terlalu mahal dan perawatan tanaman dalam pot juga agak sedikit rumit. Menggunakan karung bekas sebagai wadah tanam, tentu jauh lebih mudah dan murah, dan perawatannyapun jauh lebih sederhana. Karung bekas sangat mudah didapat, karena di setiap rumah pasti ada tersimpan dan kalaupun harus dibeli, harganya jauh lebih murah ketimbang pot. Untuk budidaya tanaman berumbi seperti jahe, media karung bekas juga lebih efektif, karena karung memiliki lubang pori-pori yang cukup, air tidak menngenang ketika disiram, sehingga kelembaban tanah bisa diatur.
Jadilah kreativitas yang dilakukan ibu-ibu kelompok tani wanita ini disebut Tajalamkar alais tanam jahe dalam karung. Masih terdengar asing memang, tapi kreativitas ibu-ibu di Dataran Tinggi Gayo ini ternyata sangat menguntungkan dari segi ekonomi. Pada setiap karung ditanam 2 sampai tiga rumpun jahe dan pada saat panen, ternyata setiap karungnya mampu menghasilkan 2 sampai 3 kilogram jehe. Bayangkan, jika ada seratus karung saja, setiap kali panen, mereka akan menghasilkan 200 – 300 kilogram jahe, kalau mereka jual dengan harga 20 ribu per kilogramnya, mereka bisa meraup hasil 4 sampai 6 juta rupiah. Padahal untuk menanam jahe seratus  pada seratus karung tersebut, tidak butuh lahan luas.  Tanah humus yang subur serta pupuk kandang yang sangat mudah didapatkan di daerah ini, juga sangat membantu budidaya tajalamkar ini, sementara untuk pengendalian hama dan penyakit tanaman juga tidak terlalu sulit, karena tanaman jahe nyaris jarang terserang hama atau penyakit tanaman, asal tetap terjaga kelembaban tanahnya. Dengan menggunakan media karung bekas ini, menyiangi tanaman atau membersihkan gulam pengganggu juga lebih mudah.
Mungkin sistem budidaya Tajalamkar ini bisa menjadi inspirasi untuk ditiru atau dipraktekkan oleh perempuan-perempuan lain yang tinggal di wilayah perkotaan, tanpa harus ada lahan yang luas, ternyata  budidaya jahe dan budidaya apa saja sebenarnya bisa dilakukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H